LOKA / LOCA? -- PART 2 "DRAMA TENGAH MALAM" (bagian akhir)
“I object to violence because when it appears
to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent.”
― Mahatma Gandhi
― Mahatma Gandhi
Maafkan saya sebelum anda
membaca cerita bagian lanjutan ini. Keterbatasan memori telah mengurangi
kelengkapan cerita ini. Akan kukorek – korek gumpalan jaringan dalam batok
kepala ini supaya cerita yang tersaji tidak melenceng jauh. Dan maafkan saya
meminta maaf di awal, saya tahu itu tidak perlu. Yang paling penting di sini
bukanlah detilnya, namun saripati.
Dan kau mempercayai apa yang
terjadi, pada kekacauan, dan mereka mengelabuimu seperti trik sulap. Membuatmu tak
mengerti apa yang terjadi, karena kamu bodoh....
Kami angkatan XXVIII.
Hari kedua.
Kenapa asrama menjadi gaduh seperti kebun
binatang di waktu ospek begini? Apakah sejatinya esensi dari ospek itu sendiri?
Adakah dia hanya sebuah permainan? Sebuah paradigma yang telah digunakan
bertahun – tahun: balas dendam?
Apa hak kita menentukan standard konyol semacam
itu? kegiatan – kegiatan begini patut dipertanyakan esensitasnya. Menyebut anak
– anak baru lemah. Letoy. Songong. Slonong boy. Kenapa pula manusia sangat
menyukai drama? Manusia mencintai konflik.
Di momen itu, kakak – kakak kelas menjadi
kesetanan. Suara lantang kelakian menggema di setiap sudut asrama, menggetarkan
air dalam kolam, dan terpaksa ikan – ikan emas harus diungsikan ke tempat yang
lebih aman. Benar – benar membuat mimpi buruk.
Ada satu kala, aku bermimpi, angkatan kami
gantian yang mengospek mereka. Mengospek kakak tingkat. Inikah awal pakem balas
dendam dalam ospek? Kupikir iya.
Aku dan Ali Sadikin sama – sama menyadari
kebarutahuan kami. Di suatu waktu setelah masa ospek usai, kami berbincang. “Baru
tau aku ada kata – kata macam, Songong, Slonong Boy, Letoy dll.” Apakah songong
merupakan singkatan dari sombong bengong? Atau 9NG?
Hari kedua.
Angkatan kami mendapat anggota baru. Rahmad
Fauzi asal Majalengka. Anak mekanik cadangan yang terpanggil mendadak untuk
mengisi kekosongan. Angkatan kami jadi berjumlah genap. 24.
Kesetanan. Itulah kata yang tepat. Kepalaku rasanya
mau pecah dengan suara bising bel berkepanjangan, suara megaphone, suara
bantingan galon dan linggis yang dipukul – pukulkan ke aspal. Kami dibangunkan
sebelum waktu subuh, dikumpulkan di depan asrama.
KUMPULKAN NYAWA!! Begitu istilahnya. Tangan ke
atas meremas – remas, posisi nomor sembilan, push up, jalan jongkok. Pastilah,
aku yakin, arwah yang menghuni tubuh ini memprotes habis – habisan, akhirnya
dia mempengaruhi alam bawah sadar itu sendiri. Yang kerapkali mendatangkan
mimpi buruk.
Bodohnya. Kami seperti anak sapi penurut. Kami seperti
topeng monyet.
Tak ada bantahan. Nurut saja. Otot – ototku
tegang, bibirku pecah – pecah. Hari kedua, di pagi hari setelah shalat subuh,
sarapan. Ah, sarapan, kami sarapan di satu tempat, di ruang tamu. Menghadap kakak
tingkat yang bertugas menemani. Membawa kursi lipat dari kamar masing – masing dan
menatanya sesuai kamar. Makanan sarapan disediakan di rantang bulat. Minumnya
air teh hangat. Kami sarapan diberi waktu. Sepuluh menit paling lama. Entahlah,
rasanya seperti lima menit. Aku baru sanggup makan setengah isi rantang.
Sangat disayangkan. Makanan itu menjadi sisa. Keberkahannya
hilang sudah.
(saat aku menulis ini, semalam aku bermimpi
tentang tempat itu lagi. Aku kembali menjadi siswa. Dan tahukah, rasanya sangat
amat tidak nyaman)
Jantung berdebar dan tempurung lutut seperti mau
copot, isi perut teraduk – aduk. Begitulah rasanya jika kau di bawah tekanan,
di bawah suara bentakan. Tahukah, manusia cenderung panik jika mendengar suara
keras. Suara itu langsung menyerang sensor takut di dalam otak. Itulah kenapa
film – film horor seringkali mengejutkan dengan suara – suara tinggi.
Setelah senam, calon siswa angkatan 28 ini
diberi kesempatan untuk menyalami kepala diklat dan seluruh instruktur. Kepala diklat,
(pendapat pribadiku, sosoknya mirip Prabowo dari Gerindra. (maaf bicara parpol))
mengucapkan kata – kata sambutan dan lelucon kepada kami. Seperti mentertawai
derita kami. Beliau berkata padaku dengan ramah, “kenapa pucat sekali?”
Aku tidak bercermin. Karena tadi pagi kami tidak
pula mandi. Hanya air wudhu yang mengenai tubuh ini. Katanya wajahku pucat,
bibirku pecah – pecah, sudah seperti gelandangan tak makan tiga hari. Aku menjawab,
“iya pak, sudah memang seperti ini.”
“oh begitu..”
Kegiatan semakin berat dari hari sebelumnya. Setelah
senam bersama, kami dilatih baris – berbaris oleh security pabrik. Sebelum itu
kami duduk melingkar, saling mengenal satu sama lain dalam acara pijat memutar,
kepala diklat menyuruh kami buang air kecil/besar dulu. Ahh, sudah dua hari
tidak buang air besar. Perut ini rasanya begah. Tapi jeleknya, kakak tingkat
jadi sebal, ini jadi poin yang memuncakkan kemarahan mereka suatu hari. Entah kenapa
aku tidak tahu. Buang air adalah hak setiap manusia. Kenapa harus dilarang?
Pelatih baris – berbaris itu orangnya tampak galak.
Dari dulu aku selalu keder dalam hal baris – berbaris. Tapi ada baiknya dalam
kegiatan ini, esensinya betulan ada. Belajar baris – berbaris. Aku baru mulai
paham. Ali Sadikin dan Nico Nugraha berganti menjadi komando. Di kegiatan ini
aku mendapat ilmu. Aku jadi agak rileks dan tidak terlalu terintimidasi. Kakak –
kakak tingkat mendadak berubah lebih ramah. Membawa ember berisi air minum, dan
boleh tiga kali minum. Saat – saat istirahat, satu per satu kami disuruh maju
memperkenalkan diri dan menunjukkan keahlian kami. Aku menunjukkan sulap koin. Lalu
berlima, nyanyi, lagu dari band Kuburan, Lupa – lupa ingat.
SAYA MAU MATI KAK!! Itulah password sebelum
minum, semakin kau kencang meneriakkannya, semakin banyak air yang kau teguk. Itu
bukanlah doa, semoga saja. Artinya adalah kami hampir mati karena kehausan.
Saat sudah agak siang, sekitar jam sepuluh
lebih, matahari kian naik, semakin terik. Imam Syahrial dan Ahmad Fuadi (bukan
penulis Negeri 5 Menara loh) jatuh pingsan. Mereka dibawa ke lobi diklat. Diberi
pertolongan yang hmmm, aku sendiri tidak tahu kejelasannya. Baju mereka
dilonggarkan, dibaluri minyak kayu putih. Menelentangkan mereka di atas lantai
marmar (begitu Jefri menyebut lantai marmer). Dan difoto ternyata.
Belakangan kemudian, aku tahu bahwasanya Imam
berpura – pura. Dia punya keahlian yaitu berpura – pura pingsan dan mimisan,
dia sendiri mengakui dirinya bisa membuat darah keluar dari hidungnya. Wah licik
juga anak pendiam ini.
Sementara aku dan yang lain harus rela kepala
plontos ini terbakar sinar matahari, kulit kepala kami terasa mendidih. Otakku
bergetar, menimbulkan resonansi pada pandangan mataku. Aku rasanya mau pusing. Isi
kepalaku rasanya seperti kesemutan. Panas menyengat.
Setelah itu selesai, masih saja kami diplonco
sebelum makan siang. Sama seperti hari sebelumnya. Dan mereka mencatat sikap –
sikap kami saat menjalani kegiatan baris – berbaris.
SONGONG!
ENAK YA DIKASIH KESEMPATAN BUAT KE TOILET!
KAMI DULU SATU MINGGU HARUS NAHAN!
Keterlaluan.
Posisi nomor sembilan sambil paha kami dibebani
benda yang disebut Anzeng Goma. Sebuah cakram besi yang beratnya lima kilo
lebih. Kakiku sampai bergetar, saat benda itu jatuh, push up menyusul.
Makan siang. Turunkan nasi. Materi di ruangan
sambil mencatat semua yang dikatakan, punggung dilarang menyentuh sandaran
kursi, ujung kaki lurus satu sama lain. Lelah, letih, keder, ngantuk....
Intensitas inisiasi ini (baca: ospek) semakin
berat dan beragam. Kakak – kakak tingkat semakin kreatif dalam menyiksa anak
baru. Sore – sore setelah latihan senam. Ada acara pengecekan lidah, apakah
kami merokok atau tidak. Berdiri satu kaki, kaki satunya ditekuk, tangan
menjewer telinga sendiri, lidah terjulur. Pose itu masuk dalam jurus seribu
satu. Katanya.
Lalu kaki dibuka lebar – lebar, satu tangan
menjewer telinga, satu tangan menunjuk aspal, membentuk poros, lalu kami
berputar sampai mampus. Jurus seribu satu.
Dunia serasa berputar. Apakah ini seperti
vertigo? Barisan kami kacau balau, saling menabrak dan rubuh.
Push up sekuat tenaga. Kakak – kakak tingkat
meneriakkan kata – kata motivasi yang kedengarannya malah semakin menyiksa. Terus
saja aku memaksa diri, aku merasa sedikit ada kemajuan, aku memacu dua tangan
ini mengangkat tubuhku. “i can do it.” Aku melakukan itu, terus melakukan itu
tanpa tahu tujuan sebenarnya. Seperti kataku, kami semua menurut saja. Kami semua
lupa, bahwasanya, sejatinya kami punya pilihan. Tapi pilihan yang tersaji, yang
sebagian besar untuk menolak diperlakukan seperti ini, terdengar sangat
berbahaya. Jadi, nurut saja.
Masa depan mengiming – imingi kita gaji besar
kerja di pabrik sebagai teknisi mesin. Hanya itu motivasi yang tersedia. Sebetulnya.
Sore menjelang maghrib itu semakin kisruh. Kakak
– kakak tingkat seperti kesetanan. Seperti Jefri, Repto, dan Aji. Mereka yang
paling vokal. Aku terkena tendangan sepatu berujung baja Repto. Jefri memakiku
karena aku melihat matanya. “Apa kamu lihat – lihat? Gak suka? Protes? Mau ngelawan?
Ayo sini berantem sama saya!!”
Beringas anarkis. Begitulah adanya senioritas
ketika dihadapkan ke acara ospek, seringai serigala menertawai para murid baru
yang akan menderita di bawah kekerasan verbal mereka.
Di malam itu Rahmad Fauzi baru datang. Kasihan anak
itu, baru datang dan menaruh tas ke kamar 3B langsung diplonco habis – habisan.
Satu hari setengah dia tidak mengikuti ospek ini. Dimulai dari perkenalan,
ketika salah mengucapkan kalimat perkenalan ia dicacimaki. Semua harus ditulis
di buku. Gila. Saat Fauzi diseret keluar, semua pun ikut keluar. Mulai lagi
penyiksaan fisik. Push up, posisi nomor sembilan, tangan ke atas, angkat besi,
dibebani anzeng goma. Ada satu kakak bernama Aldino yang membawa golok. Denting
golok dengan aspal mengancam kami yang sedang susah payah mengangkat badan dari
tanah. Push up setengah. Yaitu menahan badan dalam keadaan tangan menekuk. Beberapa
senti dari tanah. Golok itu disapukan di sela tubuh kami.
Kemudian aktifitas menjijikkan yang membuat aku
trauma dengan pisang seumur hidup. Kami dibariskan memanjang di depan asrama,
duduk berselonjor. Dua pisang dipotong dengan tangan oleh Sandi dan Fauzi,
disuapkan ke semua anak, dikunyah tanpa boleh ditelan. Selama lima menit kami
kunyah lalu dimuntahkan kembali ke mangkuk yang dibawa dua anak itu. Kunyahan
pisang bercampur air liur 24 anak jadi satu di dua mangkuk itu. Dari tiap
ujung, Sandi dan Fauzi menyuapi dengan tangan kotor mereka jus mulut pisang itu
ke mulut tiap anak. Ada yang mual – mual sampai mau muntah. Aku dengan tega dan
tercampur rasa jijik sejadi – jadinya menelan suapan itu.
Lalu kami diteteskan cairan hitam pahit. Entah apa
itu. Entah jamu apa itu, membuat salah satu temanku sakit perut esok harinya,
ah ya, Fuadi, sampai dia berak di celana.
Sejujurnya, apa makna dari aktifitas itu? untuk
menjaga kekompakkan angkatankah? Apa itu Korsa?
Sebelum malam berakhir, kami diberi permainan
yang disebut dengan ‘Ramah Tamah’ dalam tanda kutip. Permainannya seperti ini:
kami diberi kertas yang bertuliskan nama kakak tingkat, lalu disuruh mencari
kakak tingkat itu. Banyak kakak tingkat yang berbohong, bersembunyi, memutar –
mutar perkataan, ada juga yang langsung kena. Aku mendapat nama Muljaya. Aku menanyai
satu per satu kakak tingkat yang kutemui yang belum dihampiri anak lain. Kak Puji
memberi petunjuk padaku. Kak Muljaya memiliki ciri sebagai berikut, menurut kak
Puji: orangnya kecil, pendek, kurus ceking, jelek, mukanya kayak monyet. Walhasil
aku tidak berhasil menemukan siapa itu kak Muljaya, dikarenakan dia
bersembunyi, tidak keluar dari kandangnya. Aku pun dihukum. Bayangkan sendiri
hukuman apa yang kudapat.
Sebelum tidur aku menghapalkan panca prasetya.
Hari ketiga tidak jauh beda dengan hari kedua. Lebih
banyak lagi jurus seribu satu. Anehnya malam – malam yang seharusnya diadakan
meeting malam seperti biasa, ditiadakan. Kami diperkenankan tidur mulai dari
jam sembilan. Ya bersyukur juga karena itu.
Mata baru terpejam nyenyak dan suasana senyap.
TEEEEEEETTTT!!!!!
TEEEEETTTTEETTTTTTTEEETTTT!!!!
BANGUN!!!!!!
BANGUN!!!!!
Suara pintu digedor – gedor membabi buta. Semua anak
terkaget. Ada apa? Kami belum lama tidur. Semua anak diperintah keluar asrama. Tunggang
langgang kami memakai sepatu.
Asrama berubah lagi menjadi kebun binatang.
Baris di depan asrama lagi. Tahulah ada apa. Keringat
berbulir sebesar jagung.
Suara kelontangan besi – besi menghantam aspal. Kecipak
air juga terdengar. Malam itu sungguh mengerikan. Malam yang tak pernah
kulupakan. Aku terkelabui. Aku pikir sungguh terjadi. Setelah otot – otot ini
tegang sampai tak kuat lagi diangkat, kami dikumpulkan. Kakak tingkat memberi
pengumuman yang membuat semuanya tercengang, namaku disebut sebagai calon siswa
yang tidak lolos ospek!
Aku. Tidak. Lulus. Inisiasi!
Air mataku langsung berderai. Tampak juga teman –
teman yang lain menitikkan air mata. Aku dengan lugu dan naifnya mengucapkan
salam perpisahan. “jika ini memang keputusan kepala diklat saya terima. Selamat
tinggal teman – teman. Semoga kalian semua sukses.” Dua puluh tiga anak
memelukku. Pedih. Sungguh pedih. Sebelum
meninggalkan mereka aku meminta ijin, “kak bolehkah saya minum?”
Di depan teman – temanku yang dirundung pilu dan
kehausan itu aku minum. Sungguh, air itu terasa manis.
Satu kakak bernama Riki Suhaemi membawakan
tasku. Lalu mengantarku ke masjid, untuk dicarikan taksi untuk pulang. Aku mau
pulang ke mana? Aku tidak tahu.
Di masjid aku ganti baju dan mandi. Merasakan kesegaran
air. Tiga hari sudah aku tidak mandi. Nyaman sekali rasanya setelah mandi.
Lucunya, aku diajak kembali ke asrama oleh Riki.
Dia memberitahu padaku bahwa aku dibohongi, aku tidak keluar kok. “selamat ya,
kamu jadi anak LLK kok.”
Apa? Jadi aku dibohongi? Tapi aku tidak langsung
percaya.
Aku diasingkan ke ruang atas di belakang asrama.
Di atas sana kak Ria Verianto mendatangiku, memberiku sebotol minuman yang
ketika diminum ya tuhan, sungguh segar dan manis. Aku diberi kertas kosong
untuk menuliskan barang – barang apa yang masih tertinggal di asrama atau
dipegang oleh kakak yang lain. Aku tulis, handphone, buku programming, dan
uang. Aku serahkan ke kak Ria. Lalu aku ditinggal dan diperbolehkan tidur. Hari
itu hari kamis.
Blessing
in disguise
Aku tertidur nyenyak di lantai ruangan kirchoff
itu. Dingin AC membuatku terbangun, samar – samar aku dengar suara kegaduhan. Aku
mengintip dari jendela namun tak terlihat. Teman – temanku pasti diplonco lagi
di malam yang sudah larut ini.
Blessing
in disguise
Paginya aku diperbolehkan cuci muka dan sholat
subuh dan dibawakan sarapan dalam rantang. Airku diisikan ulang. Aku sempat
bertanya statusku sebenarnya, tapi kak Ria membisu.
Itu membuatku gusar.
Seharian itu aku sering tidur. Enak sekali
sungguh. Setelah tiga hari penuh aktifitas berat karena diplonco, aku tidur
nyenyak, walau dengan durasi sedikit. Sholat jumat aku dikawal oleh Abdul Ma’arid,
menempati saf yang berada jauh dari teman – teman yang lain. Tak ada yang
melihatku. Mereka bilang pak kepala diklat mau bicara nanti sore, jadi aku tak
boleh pulang dulu. Tapi kata kak Riki aku lolos. Membingungkan. Atau memang aku
yang bodoh?
Saat teman – teman yang lain diantar menuju
kantin, baru aku diajak kembali ke ruangan kirchoff. Makan siang dalam rantang.
Selama di ruangan itu, makanan dalam rantang itu aku santap habis.
Sampai sore tak ada kepastian, aku tidur –
tiduran lagi, sesekali mengintip dari tirai. Masih ada kegaduhan di luar sana.
Sore itu adalah klimaks dari serentetan acara
tak bermakna ini. Aku diberi pakaian seragam LLK, entah milik siapa, tak ada
label namanya. Aku turun. Di ruang tamu sudah ada kak Jefri dan yang lain duduk
menghalangiku. Mereka di belakang pintu utama asrama, di atas kursi biru, aku
duduk di kursi ruang tamu tepat di belakang mereka. Aku kikuk, kakak yang
bernama Wawan bilang, “Ya udah loe hadepin aja sono.”
Ada keramaian di depan asrama. Jendela kaca
asrama ditutup dengan koran. Aku tak bisa menebak ada apa gerangan yang
terjadi. Mungkin aku bodoh.
Pintu dibuka. Semua temanku kaget. Tak menyangka.
Seutas pita menghalangiku dengan mereka. Sandi, dengan pakaian yang konyol
menggunting pita. Sampai saat itu pula aku masih bingung dengan statusku,
apakah aku benar lolos? Apakah aku memang bodoh?
Semua teman menyalamiku. Tak jelas mereka
gembira betulan apa tidak. Aku tidak yakin.
Acara ospek telah selesai, diakhiri dengan acara
basah – basahan. Setelah diumumkan secara resmi oleh kepala diklat bahwa ospek
telah usai dan kami semua secara resmi menjadi siswa LLK-BS, satu satu anak
diceburkan ke kolam. Kolam itu bukan kolam ikan, melainkan galian tanah yang
digunakan untuk montir mobil. Sedalam dua meter. Rasanya aku mau tenggelam, aku
tak bisa berenang. Air memenuhi lubang dalam wajahku. Saat keluar aku terbatuk.
Itulah. Akhir dari awal penderitaan yang lebih
lanjut di depan mata kita.
Setelah acara itu, instruktur mengumumkan
pembagian grup dan kamar. Aku di grup 1B bersama Sandi, Yusup, Nico, Ansari dan
Deni. Aku sekamar dengan Adi, Bambang dan Fauzi di kamar 3B, berseberangan
dengan kakak paling galak, Jefri Erlando.
Begitulah. Semua itu terjadi dengan penuh
keringat. Saat itu aku masih tak mempertanyakan apa pun. Sampai saat ini
barulah, aku tak berpikir ospek semacam itu ada maknanya. Para senior yang
berlagak galak, drama tengah malam, makan jus mulut pisang, ceburan air dan
macam – macam. Satu yang bisa membuatku berterima kasih, dengan kegiatan push
up tubuhku sekarang sudah ada bentuk. Tidak kurus ceking seperti dulu. Paling tidak
ada yang bisa dibanggakan.
Ini baru pembukaan. Paling tidak aku bisa
bersyukur, ospeknya tidak separah di institusi – institusi yang sempat
diberitakan bahwa ada murid yang sampai meninggal. Untung, di sini masih ada
nilai kemanusiaan. Walaupun begitu ada pula hal yang perlu dikaji ulang dan
dipertanyakan. Apa pentingnya kekerasan verbal?
Ada hal baik di diklat ini. Tidak sedikit juga
hal buruk. Keberhasilan bisa diraih di sini. Tergantung individu. Apakah mentalmu
bisa terkoyak oleh kekerasan verbal? Bisakah kau belajar di bawah tekanan? Dan seberapa
jauh rasa keingintahuanmu? Jika kau berada di lingkungan yang begitu terasa
tembok pemisah antara junior dan senior.
Part 3
: KARANTINA menyusul segera.
mantap mas ceritanya, jadi ada gambaran, ditunggu secepatnya part 3 karantina...
BalasHapusSalam dari calon LLK ANGKATAN 33
Setelah diklat ospek 3 harian , resmi jadi siswa llk , kegiatan apa saja yg dilakukan setelah itu ? Bisa dibuat postingan mengenai hal itu jika berkenan
BalasHapus