INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY


-oOo-

“So it’s true, when all is said and done, grief is the price we pay for love.”
E.A. Bucchianeri, Brushstrokes of a Gadfly

Alkisah di suatu jaman terdapat negeri yang memiliki dua kerajaan besar. Satu adalah kerajaan manusia dan satu lagi kerajaan makhluk-makhluk ajaib beserta peri bersayap. Adalah Kerajaan Buminaga, dipimpin oleh seorang Raja gagah perkasa bernama Raja Abudhabi. Ia adalah pemimpin bertangan besi yang telah menduduki takhta selama tiga puluh dua tahun. Raja Abudhabi senang memakai pakaian berwarnakan kuning dan berlambangkan pohon beringin hijau. Ia memimpin dengan kejam tanpa ampun. Siapa saja yang berani menentangnya dipastikan akan buntung kepalanya. Segala yang ia ingini, akan tercapai. Satu hal yang sampai saat ini belum ia dapatkan adalah: sepasang sayap. Raja Abudhabi mendamba sepasang sayap untuk mengantarkannya menuju kahyangan, ke tempat tujuh bidadari pelangi bermandikan bintang-bintang.

Karena keinginannya itulah, Kerajaan Pringwood, kerajaannya makhluk-makhluk ajaib dan bangsa peri, menutup akses menuju kerajaan hutan tersebut. Batang-batang pohon berdiri seperti benteng kokoh, dipersenjatai duri-duri sepanjang dan setajam pedang panjang. Belum lagi akar-akar merambat yang bergerak seperti layaknya ular piton raksasa, siap membelit siapa saja sampai hancur remuk. Kerajaan Pringwood dipimpin seorang Raja Peri bersayap putih bernama Malekith, ia mengetahui sebuah ramalan dari seorang Oracle di negeri seberang, bahwa akan adanya sepasang sayap yang mampu mengantarkan seseorang menuju langit lapis ke tujuh. Bahwa tanda-tanda pemilik sayap itu adalah memiliki dua jenis kelamin. Raja Peri sungguh takut, karena rupanya anaknya yang kesekian, lahir dengan tanda itu.


Kabar itu pun sampai di telinga Raja Abudhabi, ia memerintahkan diadakannya sayembara untuk menerobos rintangan hutan Pringwood demi mendapatkan anak terakhir Malekith dan berniat mengiris sayapnya. Siapa yang berhasil mendapatkan sayap itu akan menduduki takhta Buminaga.

Sepanjang tahun dan tahun berganti. Tak ada satupun ksatria gagah berani yang berhasil menembus barikade pohon berduri pedang. Banyak dari mereka yang tewas mengenaskan dan sisanya kembali dengan badan tak utuh.

Raja Malekith bisa sedikit bernapas lega. Ia bisa menjaga anak bungsunya yang ia namai Shemaleficent sampai tumbuh remaja. Meski begitu, rasa takut itu tak pernah bisa hilang. Malekith menyaksikan Shemaleficent tumbuh sebagai seorang anak yang penuh rasa ingin tahu dan berjiwa petualang. Dan yang paling ia khawatirkan adalah putra sulungnya, Maleraf, putranya itu sangat tak menyukai Shemaleficent. Berkali-kali ia berusaha mencelakai adiknya. Ia berkata, “ia aneh, dan ia adalah aib bagi kerajaan Pringwood. Makhkluk berkelamin ganda adalah aib. Dan harus disingkirkan.”

Malekith marah besar dengan putranya itu. Saking marahnya sampai jantungnya berhenti berdetak. Hal yang sangat ia takutkan seumur hidup, ia tak bisa melindungi Shemaleficent lagi. Dan akhirnya Maleraf naik takhta. Titah pertamanya adalah mengasingkan Shemaleficent.

Sayang sungguh disayang, Maleraf tak tahu apa akibat perbuatannya.

Malekith tak sempat mengabarkan ramalan itu.

Shemaleficent dibuang ke hutan yang tak memiliki perlindungan sihir, dihuni oleh makhluk-makhluk ajaib dari kalangan kelam. Tahun-tahun pertama ia kesulitan beradaptasi, namun ketika ia tumbuh dewasa, ia malah menjadi pemimpin hutan kelam. Memiliki kekuatan sihir gelap yang menakjubkan. Ia mampu terbang memumbung tinggi menembus awan dan menyentuh bulan. Dengan kekuatan seperti itu ia berniat untuk menyerang kakak yang telah membuangnya. Tapi, rencana itu terurungkan. Karena ini....

Seiring waktu saat Shemaleficent tumbuh, ia mendapati seorang dari kalangan Manusia masuk ke dalam hutan itu.

“Hei, kau anak manusia. Kenapa bisa masuk kemari?” tanya Shemaleficent.

“Aku adalah seorang penyusup lihai. Aku pergi ke manapun aku mau. Dan aku selalu menemukan celah.” Kata si bocah lelaki.

“Seharusnya kau tak boleh di sini.”

“Kenapa?”

“Ini bukanlah negeri yang ramah untuk manusia.”

“Tapi kau ramah padaku. Ya kan? Kau ramah?”

“Hmm, tentu aku ramah. Aku sedang mencari teman bermain yang wujudnya sedikit mirip denganku. Aku mulai bosan bermain bersama Boggie, Boggart, Mudboy, Woodguy, Stonemen, Brownies, dan mereka semua.”

“Kalau begitu kita bisa berteman. Aku akan menyamar menjadi peri. Bukankah ada peri yang tak memiliki sayap?”

“Ya. Ada. Akan kubantu kau dengan sihirku. Supaya mereka tak mengendusmu sebagai manusia.”

“Baiklah. Itu ide bagus.”

Akhirnya mereka menjadi sahabat baik. Berdua bermain dan bertumbuh dewasa, berdampingan memimpin kalangan kelam. Si bocah lelaki memperkenalkan diri sebagai Isildur. Isildur melihat Shemaleficent sebagai peri perempuan yang seksi. Berbuah dada besar dan berpinggul bahenol. Seperti layaknya para lelaki, Isildur bernafsu terhadapnya. Demikian halnya dengan Shemaleficent, ia menganggap Isildur sebagai manusia lelaki yang gagah. Dan ia menyukainya. Mereka pun jatuh cinta.

Suatu waktu seekor gagak  yang bisa berbicara membisiki Isildur mengenai jati diri Shemaleficent. “Hei, kamu tidak tahu bahwa Shemaleficent itu adalah banci?”

“Hah? Banci? Maksudmu?”

“Dia itu memiliki kelamin ganda.”

“What the fuck!”

“Jangan kaget begitu. Memangnya kamu tidak tahu? Kalian kan berpacaran sudah lama, kalian belum berbuat?”

“Hanya sejauh berciuman.”

“Maka, buktikanlah ucapanku. Ajaklah ia bercinta malam ini. Dan lihat sendiri.”

Sepanjang hari ia memikirkan itu. Perutnya terasa teraduk-aduk. Apakah itu benar? Tak ada cara lain, ia harus membuktikannya.

Di bawah bulan purnama bulat utuh. Di tebing tinggi dekat air terjun, Isildur mengutarakan niatnya. “Shemaleficent, kita sudah berpacaran lama. Aku mau lebih dari itu.”

Shemaleficent merona merah pipinya, ia terkikik. “Isildur, aku pun menginginkan demikian, selama ini aku menunggumu mengutarakannya dahulu.”

“Oh.” Mengesampingkan adanya batang di antara paha Shemaleficent, Isildur mencium bibirnya. Panas, penuh hasrat, dengan lidah, menjilat langit-langit, tarik menarik.

Isildur membiarkan Shemaleficent menghisap miliknya. Nikmat. Lalu gilirannya tiba. Ia membuka pakaian daun Shemaleficent. Terpaparlah dua benda bulat menggantung di dada Shemaleficent, bulat sempurna, indah, menyenangkan mata yang memandang. Ia lupa perkataan si gagak, Isildur melahap dua puting dan meremas payudara Shemaleficent. Kemudian turun, ia menggelitiki pusar Shemaleficent dengan lidahnya. Kekasihnya menikmatinya, mengepak-ngepakkan sayap tak karuan, sampai kedua terbawa terbang beberapa meter di atas tanah.

Lalu tak sadar Isildur merogoh masuk ke dalam celana Shemaleficent. Jakunnya tertelan. Rasanya sama persis seperti ia menggenggam miliknya sendiri. Ia menghentikan kegiatan bibir dan lidahnya. “Bawa aku turun.”

“Ada apa Isildur?”

Isildur memalingkan mukanya.

“Ada apa Isildur?” ia mengguncang tubuh Isildur yang telah telanjang bulat. Ia menyosor ke puting Isildur, menghisapnya lagi. Tapi Isildur mendorongnya.

“Aku tak bisa. Maaf.” Isildur mulai berpakaian lagi.

“Kenapa? Apa karena ini?” Shemaleficent membuka celananya, menampakkan batang kelamin yang lebih besar daripada milik Isildur.

Isildur tak menjawab, ia telah mengenakan pakaiannya lengkap. Lalu berpaling, berjalan meninggalkan Shemaleficent. “Maafkan aku, aku harus pergi.”

“Ternyata kau sama saja! Seperti kakakku! Yang menganggapku aib bagi dunia!” Shemaleficent jatuh ke tanah, menangis tersedu. Ia adalah pemimpin para kaum kelam yang kerap dicap jahat, kini, ia begitu lemah seperti siput tanah yang diinjak sepatu bot.

Luka karena cinta, begitu dahsyat sakitnya.

“Bagaimana, betul kan kataku?” si gagak hitam mendarat di pundak Isildur.

“Kau benar.”

Si gagak berkoak, tertawa, “kini pergilah ke negeri manusia, ke tempat asalmu.”

“Hah, kau tahu aku manusia?”

“Tentu saja tahu. Bodoh.”

“Ada apa di sana?”

“Sebuah sayembara. Hadiahnya adalah takhta kerajaan.” Kemudian si gagak hitam membisikinya.

Pergilah Isildur ke kerajaan Buminaga. Ia mendengar di kedai-kedai minum tentang para ksatria yang mencoba menerobos masuk hutan Pringwood. Tak satu pun yang berhasil. Mereka yang selamat dan gagal pada akhirnya mati di ujung pedang algojo Raja Abudhabi yang tak puas. Seperti apa yang dibisiki gagak, Isildur memiliki keuntungan. Ia tahu jalan masuk lain menuju Pringwood. Itu akan mempermudah jalannya menjadi Raja dan menguasai semua kekayaan negeri Buminaga. Impiannya sejak kecil!

Ia menghadap Raja Abudhabi dan menawarkan diri untuk mengikuti sayembara.

“Pilihannya adalah berhasil atau gagal lalu mati.”

“Akan hamba terima, Yang Mulia.”

“Baiklah. Kurestui niatmu. Kupersenjatai engkau.”

Isildur melengkapi diri dengan bermacam pisau yang bisa disembunyikan di lipatan celana dan bot, lalu sebotol ramuan tidur. Ia kembali ke Pringwood dengan gairah yang berbeda. Pertama-tama yang harus ia lakukan adalah...

“Shemaleficent... di mana kau?” teriaknya setelah sampai di hutan kelam. “Maafkan aku, kali terakhir aku meninggalkanmu. Aku kembali untukmu, kini aku sadar dan ingin bersamamu. Selalu. Aku akan menerimamu apa adanya.”

“Aku di sini.” Shemaleficent melayang di udara, turun perlahan. “Betulkah kau menyesal telah meninggalkanku waktu itu?”

“Ya, betul. Aku menyesal. Aku sadar kini, cinta tak mengenal jenis kelamin.”

“Baiklah. Kumaafkan kau. Namun kau harus menuntaskan apa yang dahulu tertunda.”

“Dengan senang hati, kekasihku.”

Kebetulan sekali. Kali ini purnama benderang seperti waktu itu. Mereka bercumbu. Lebih panas daripada yang terakhir.

“Shemaleficent, maukah kau melakukan ini dengan lebih nikmat?”

“Bagaimana caranya?”

“Dengan meminum ini.” Isildur mengeluarkan botol minuman. “Aku dapat dari manusia. Ini sangat nikmat dan mampu menggandakan sensasi kenikmatan yang akan kita jalani.”

“Betulkah?”

Isildur mengangguk. Tak ia duga, ternyata semudah ini, Shemaleficent menenggak isi botol itu. Isildur pura-pura menyesap. Lalu mereka berciuman kembali. Membuka pakaian masing-masing. Isildur menyempatkan meremas dan menghisap puting payudara Shemaleficent, karena meskipun ia berkelamin ganda, payudaranya indah sekali.

Sebelum sempat Shemaleficent meloroti celana Isildur, ia terjatuh tidur pulas tak terbangunkan. Isildur menjalankan rencananya.

 

*******

Ketika Shemaleficent membuka mata perlahan dan dunia menyapanya dengan buram, kepala pening. Ia mendapati Isildur tak lagi bersamanya. Dan parahnya lagi, sayapnya hilang!

Di subuh yang baru merekah itu. terdengarlah teriakan amarah amat dahsyat dari Shemaleficent. Menggemparkan penghuni hutan kelam sampai gerbang kerajaan Pringwood.

Ada alasan kenapa Pringwood dijaga ketat oleh benteng-benteng pohon berduri. Kini ia tahu.

 

******

 

Beberapa bulan dan tahun berselang. Shemaleficent menyembuhkan diri dan membiasakan diri tanpa sayap. Seekor gagak hitam mendatanginya. “Isildur kini telah menjadi Raja baru Buminaga. Sayapmu telah dikenakan Raja sebelumnya untuk terbang menuju kahyangan.”

Dendam membara membakar dari dalam diri Shemaleficent. Ia bangkit dengan tangan mengepal dan berapi hijau. Kekuatan sihirnya menjalar ke seluruh tubuhnya, membalutinya dengan warna hitam dan merah. Di hadapan penghuni hutan kelam ia menobatkan dirinya yang baru, “Shemaleficent telah lama mati. Kini yang berdiri di hadapan kalian adalah Furificent!” ledakan warna hijau hangat memenuhi hutan kelam. Penghuni Hutan Kelam semakin tunduk kepadanya.

“Hidup Furificent! Semoga dendamnya terbalaskan!”

Furificent menyihir si gagak menjadi kuda hitam bersayap. Kepalanya tetap memiliki paruh. Mereka terbang merobek langit dan menembus perintang yang menutupi akses dunia manusia dan sebaliknya.

Ketika ia sampai di kerajaan Buminaga. Kebetulan sekali sedang ada perayaan hari lahir putri Raja. Membalas dendam dengan melukai orangnya langsung adalah cara kuno. Ia harus merasakan rasa sakit yang lebih parah. Pintu balairung menjeblak terbuka didobrak oleh gagak yang berubah menjadi gorila berparuh. Semua tamu yang hadir terdiam takut. Raja Isildur terkesiap.

“Penjaga!” ia berseru.

Dengan mudah Furificent menghalau semua penjaga. Menyihir mereka menjadi kodok-kodok musim hujan. “Well. Well. Raja Isildur.”

“Mau apa kau kemari?”

“Oh, aku hanya ingin melihat bayimu. Oh, lucu sekali. Sayang sekali jika ia memiliki nasib yang tak menguntungkan, bukan?”

“Apa yang mau kau lakukan terhadap putriku, Shemaleficent?”

“AKU BUKAN SHEMALEFICENT!” suaranya teriringi hembusan angin kencang yang menyingkap gaun-gaun para nyonya. Mahkota Raja Isildur pun sampai tertiup terbang. “Aku adalah kini Furificent. Aku datang mengharap balas. Menyakitimu lebih parah.”

“Kumohon jangan sakiti putriku.”

“Aku tak akan menyakitinya. Aku hanya akan sedikit mengutuknya.” Lalu suasana menjadi hijau kegelapan. Awan-awan dan cahaya redup kehijauan memenuhi balairung. Para tamu berlarian hendak kabur. “DEMI NAMA DEWA DEWI PERI LANGIT DAN PENGHUNI KAHYANGAN. SEORANG PRIA HARUS MENERIMA BALASAN DARI APA YANG IA PERBUAT. AKU FURIFICENT, MENGUTUK PUTRI RAJA ISILDUR UNTUK TAK BISA TIDUR SAMPAI KE USIANYA YANG KEENAM BELAS. IA AKAN MENJALANI HIDUP DENGAN SUSAH PAYAH. JARUM DAN DARAH YANG AKAN MENGANTARKANNYA KEPADA TIDUR BERKEPANJANGAN. TAK AKAN ADA SIHIR DI DUNIA YANG MAMPU MENGEMBALIKANNYA. HANYA CINTA SEJATI YANG MAMPU.”

Ledakan cahaya hijau mengusaikan pengucapan kutukan itu. Dengan tawa puas, Furificent meninggalkan balairung, menaiki gagak hitam yang berubah menjadi kuda terbang lagi.

“Kumohon Furificent! Tarik kembali kutukanmu!” Raja Isildur meraung sambil menggendong putrinya yang jelita.

 

*******

 

Seperti apa yang telah dikutukkan, tak ada tabib sakti mandraguna dari pelosok negeri mana pun yang mampu mengangkat kutukan itu. Putri Aurora tak bisa tidur. Selama tahun-tahun pertama ia menghirup napas kehidupan, tak sedetikpun ia memejamkan mata tertidur. Setiap malam menjelang, tangisan lelah memenuhi langit-langit istana. Putri Aurora menjerit. Matanya sampai merah.

Raja dan Ratu bersedih hati. Terus berusaha mencari cara untuk mengangkat kutukan itu. Sampai sang Ratu, ibunda Putri Aurora pun meninggal karena tertusuk angin malam. Demi putrinya ia rela terjaga sepanjang waktu, menimangnya untuk membuatnya tenang.

Raja Isildur murka. Ia memerintahkan para prajurit untuk menembus hutan Pringwood. Untuk menemukan Furificent dan memaksanya mengangkat kembali kutukan itu.

“Yang Mulia, yang hamba takutkan adalah perilaku putri Aurora kelak. Tidur adalah pengistirahatan otak dan jiwa. Apabila mana seorang tak bisa tidur barang tiga hari, niscaya ia akan sering berhalusinasi dan penuh delusi. Yang akan menyebabkan kegilaan menyerang. Sudah lima tahun berjalan, Putri Aurora belum merasakan tidur barang semenit. Hamba telah melakukan jutaan cara. Namun tak bisa.” Seorang tabib terkemuka menjelaskan.

Raja Isildur pun bisa melihat kenyataan itu. Ia teramat sayang kepada putri semata wayangnya. Ia begitu cantik jelita. Serupa bidadari pelangi yang sering turun ke bumi untuk mandi di air terjun warna. Yang tertinggal kainnya karena dicuri lelaki hidung belang.

Putri Aurora tidak tumbuh normal. Matanya sedikit juling. Urat-urat kemerahan seperti kilat menjalar memenuhi bola matanya. Kulitnya semakin pucar kian hari. Pembuluh-pembuluh darahnya membiru. Para dayang telah membedakinya setebal mungkin untuk menutupi itu ketika ada kunjungan dari negeri lain ke kerajaan Buminaga.

Dan saat sang Putri bicara, bukanlah kata-kata elok yang terucap. Melainkan kata-kata kotor. Teriakan. Umpatan. Raja Isildur sedih karena itu. Tak jarang ia mengurung Aurora di kamar selagi ada tamu berkunjung. Ia beralasan Putri Aurora sedang sakit.

“Di kalangan para tabib, gangguan tidur semacam ini disebut sebagai Insomnia, Yang Mulia. Pada manusia normal, insomnia adalah hal yang lumrah. Tapi menjadi bahaya ketika insomnia ini menyerang berkelanjutan. Bisa-bisa mengakibatkan kematian. Aku heran, sungguh heran, sudah delapan tahun lamanya Putri Aurora masih hidup.”

Akibat ucapan itu, sang tabib kehilangan kepalanya.

Selain kelakuan Putri Aurora yang semakin menjadi di umur ke sepuluh. Ia pun sangat bebal. Guru-guru yang mengajarnya telah kehabisan cara dan kesabaran. Salah satu dari mereka wajahnya rusak gara-gara Putri Aurora menusuknya dengan pensil. Kertas yang digunakan menulis ia makan. Buku ia robek-robek.

“Ya Dewa Dewi kahyangan. Ini putriku apa putri setan?” Raja Isildur menghadap di altar.

Di luar tembok istana, para prajurit masih berusaha menembus barikade sulur raksasa pohon dan benteng berduri. Bahkan mereka bertempur dengan manusia-manusia pohon. Naga pohon. Serangga daun. manusia lumpur. Akhirnya mereka terpukul mundur.

“Manusia bodoh!” Furificent keluar dari sarang. Sekali hentakan tangan, para prajurit itu terpental ratusan meter.

“Kami gagal Yang Mulia.” Komandan pasukan melapor. Menyesali diri.

Raja Isildur hampir tak kuasa menahan marah kalau saja ia tidak ingat bahwa pasukannya kian hari kian sedikit. Maka ia putuskan untuk mundur dan tak lagi berusaha menembus hutan Pringwood.

Kerabat, Tuan dan Nyonya besar, dewan-dewan kerajaan tak tahan lagi tinggal di istana. Putri Aurora selalu berkeliaran di tengah malam. Ia berteriak-teriak dan menyanyikan lagu-lagu cabul. Ia mengacak-acak isi dapur, membuat para koki kewalahan. Ia pernah menceburkan sepatu kotor yang digunakannya untuk menginjak tahi anjing ke panci besar sup kentang.

Dewan kerajaan meminta Raja Isildur untuk mengasingkan Putri Aurora, supaya tidak membuat malu kerajaan Buminaga. Mau tak mau, karena tak ada pilihan lain, dan ada kerajaan yang harus ia urus. Raja Isildur mengasingkan Putri Aurora ke suatu pondok dekat tebing. Di sana ada tiga dayang yang siap menemani.

Baru setengah hari Aurora tinggal di sana, tiga dayang itu sudah tak kuat dan minta diganti. Raja Isildur menjadi pusing bukan kepalang menghadapi persoalan ini. Setidaknya ada ratusan dayang yang telah bolak-balik menajaganya. Kelakuan Putri Aurora semakin gila. Ia berjalan di tengah malam sendirian, menyusuri bibir tebing sampai membuat merinding setengah mati para dayang. Dikerahkanlah para penjaga istana untuk menjaga wilayah sekitar pondok itu. Pada suatu hari, ketika pondok sepi, Putri Aurora melarikan diri menuju kebun. Seekor gagak terbang melintas.

“Kakau kakau kakau!” Putri Aurora memanggil-manggil.

Si gagak hitam mendarat di ranting pohon. “Kau pasti Aurora.”

“Dari mana kau tahu Gagak hitam jelek?”

“Kau adalah putri yang tak bisa tidur itu, kan?”

“Apaan itu tidur?”

“Tidur adalah sesuatu yang nikmat. Bila kau merasakannya, kau akan merasa damai. Tenang. Nyaman.”

“Apakah tidur sesuatu yang menyenangkan?”

“Tentu.” Jawab si gagak.

“Bagaimana caranya supaya aku tidur?”

“Kau harus menunggu sampai umurmu enam belas.”

“Aku tidak mau menunggu! Aku mau sekarang, sialan!”

“Kalau begitu, kau tak akan pernah tidur. Kau harus menunggu. Ketika saatnya tiba, aku akan datang lagi.”

Putri Aurora mengambil batu besar dan melemparkannya ke arah gagak.

Dari kejauhan, Furificent mengawasi dengan mata jauhnya. “Apa yang telah kuperbuat? Aku telah menghancurkan masa kanak-kanak seorang putri.” Lalu ia teringat tentang dirinya sendiri.

Malam-malam buta Putri Aurora berteriak-teriak. “TIDURR!! TIDURR!!!” dayang-dayang sampai terbangun. Ia melemparkan perabotan pondok ke sana kemari sampai pecah.

“Ya ampun!” dayang-dayang mengeluh.

Furificent melihat itu semua dan merasa iba kepada para dayang, terutama kepada Putri Aurora. Separah apapun kebenciannya kepada Raja Isildur, seharusnya ia tak melampiaskannya kepada anak tak berdosa. Adalah ayahnya yang berdosa, bukan anaknya.

“Ini salah.” Furificent berkata pada dirinya sendiri. “Anak itu bisa jadi gila. Seharusnya ia memiliki masa kecil yang indah.”

Lalu ia berusaha berada lebih dekat tanpa menampakkan diri. Ia menaruh bunga-bunga lavender dan sedap malam di jendela kamar Putri Aurora. Tapi apa yang terjadi, putri memakan bunga-bunga itu.

Dari luar jendela, Furificent melapalkan mantra tidur yang ekstrim. Alhasil, semua penjaga, para dayang, hewan-hewan kecil, bahkan tetumbuhan jatuh tertidur selama berhari-hari.

“Ini salah.”

Pada umurnya yang keempat belas, Putri Aurora berubah seperti mayat hidup. Mengerikan. Ia tak lagi elok seperti putri. Rambutnya awut-awutan. Ia tak mau mandi. Tak mau ganti pakaian. Maunya makan seenaknya, bahkan batu berusaha ia kunyah. Ia berubah menjadi kehijauan. Seperti Ogre.

“Cepatlah umur enam belas.” Furificent berharap.

Pada ulang tahun kelima belas, Raja Isildur menengok pondok Aurora. Tapi putrinya malah melemparinya dengan kotoran burung. “TIDURR! TIDURR! SIALAN!” umpatnya.

Tibalah tahun keenam belas hidup sang putri. Gagak hitam mendatanginya.

“Putri Aurora! Pergilah ke istana, dan temukan jarum pintal yang berkarat di gudang bekas. Sentuhlah dan biarkan darahmu mengalir. Maka kau akan merasakan tidur yang selama ini kau dambakan. Semoga dirimu menjadi tenang dan kembali jelita.”

“Peduli amat! Gak mau! Sialan kamu gagak jelek!” ia melempar vas bunga ke arah gagak.

“Jarimu akan bengkak jika sebelum matahari terbenam kamu belum menusukkan jarimu ke jarum pintal itu.”

Ternyata benar. Jarinya bengkak ketika jam tiga sore tiba. Ia mengigiti jarinya itu tapi tak kunjung robek dan berdarah. “Gagak! Gagak!” ia memanggil.

“Kau mau pergi ke istana?” tanya gagak.

“Ya, sialan!”

Si gagak berubah menjadi kuda terbang. Disihir dari kejauhan oleh Furificent. “Ayo naik ke punggungku, kuantarkan kau.”

Terbanglah mereka. Sepanjang jalan Putri Aurora berteriak memaki-maki. Kepalanya pusing dan rasanya mau meledak. Angin kencang menerpa matanya, sampai memerah dan kering.

Sesampainya di istana, gagak menuntunnya menyelinap masuk ke gudang. “itu dia jarumnya. Kini aku akan pergi.”

Selagi gagak terbang pergi, Putri Aurora mendekati jarum pintal itu. Jarum itu telah tumpul dan bengkok, karat memenuhi alat pintal itu. Membabi buta ia menusukkan jarinya ke jarum itu.

Plop! Zlurrrrr...! cairan kekuningan bocor dari ujung jarinya yang bengkak. Mengalir selanjutnya cairan kehijauan. Perlahan-lahan ia berjalan menuju pintu. Berjalan tertatih-tatih, kepala pening tujuh keliling. Seluruh dunia berputar mengelilinginya. Kulitnya berangsur-angsur memutih. Menjadi normal. Seperti gadis pada umumnya. Kembali jelita. Putri Aurora akhirnya bisa merasakan tidur.

Raja Isildur diberi tahu oleh penjaga bahwa Putri Aurora telah kembali normal dan tidur nyenyak.

“Tapi itu adalah bagian dari kutukan. Kali ini putriku akan tidur selamanya.” Raja Isildur merutuk. “Biadab sekali Furificent.”

Ia gendong Putri Aurora menuju kamarnya. Ia menyuruh dayang untuk merias Aurora. “Carikan ke seluruh penjuru negeri dan sampai negeri seberang. Carikan para pangeran dan ksatria tampan. Carikan cinta sejatinya!” perintahnya.

Bertahun-tahun berselang. Telah ratusan ribu pangeran dan ksatria datang untuk mencium kening sang putri, namun Aurora tak kunjung membuka mata.

“Mungkin ia harus menunggu sampai enam belas tahun lagi, pada usianya yang ketiga puluh dua, ia akan membuka mata.” Kata seorang dewan.

“Kutukannya tidak seperti itu. Putriku akan tidur selamanya, dan tak akan bangun sampai adanya cinta sejati.” Kata Raja Isildur.

Furificent merasa tak enak hati. Ia pun menunggu sambil berharap adanya pangeran tampan cinta sejati Putri Aurora. Tapi, bagaimana bisa tercipta cinta sejati jika keduanya tak pernah bertatap muka dan menjalani hari-hari?

Maka, pada tahun ke enam belas putri tertidur, Furificent masuk ke istana dan berdiri di samping tempat tidur Putri Aurora.

Sang Raja Isildur masuk. “Apa yang kau lakukan? Tak cukupkah kutukanmu itu?”

Furificent tak menjawab. Ia menahan dendam kesumat yang tersimpan sejak dahulu.

“Begitu tegakah kau membiarkan anak tak berdosa menanggung dosaku kepadamu? Ambillah saja nyawaku bila itu mampu menebus kesalahanku padamu. Tolong cabut kutukanmu. Kumohon.” Raja Isildur sampai berlutut.

“Bukan begini caranya. Tak ada sihir manapun di muka bumi yang mampu mengangkat kutukan ini, hanya cinta sejati yang bisa.”

“Kumohon tolong. Aku tahu apa yang kulakukan padamu dahulu adalah dosa yang sangat tak bisa dimaafkan. Aku berhutang padamu juta jutaan minta maaf. Ambillah saja nyawaku.”

“Tidak bisa Isildur, nyawamu bukanlah penebus kutukan ini. Hanya cinta sejati.”

“Aku dulu mencintaimu. Sungguh.”

“Tapi kau malah mencampakkanku karena aku memiliki penis.”

“Karena, Furificent, manusia biasa sepertiku, pria sepertiku, mendambakan wanita normal. Kau adalah peri cantik. Namun aku terkejut ketika aku tahu dirimu bukanlah wanita seutuhnya. Kau campuran.”

“Aku bisa menjadi perempuan, Isildur!”

“Tapi tetap saja kelaminmu ganda.”

Furificent geram. “Itu tak lagi masalah. Aku tak peduli lagi. Aku sakit karena kau menipuku. Kau melukaiku secara fisik. Kau iris sayapku karena kau ingin menjadi raja. Kau tak tahu apa yang telah kau perbuat. Dewa dewi kahyangan akan menghukum kita semua karena manusia biasa bisa memiliki sayap untuk terbang ke kahyangan.”

“Bukan begitu cerita sesungguhnya, Furificent. Aku tak jadi memberikan sayapmu kepada Raja Abudhabi, aku memberinya yang palsu. Sayap yang kau buatkan untukkulah yang kuberikan padanya. Hanya mampu menyentuh awan sebelum ia jatuh tercebur di lautan dan mati. Aku masih menyimpan sayapmu. Jika kuberikan sayapmu, apakah kau akan memaafkanku?”

“Berikan sayapku! Mengenai memaafkanmu atau tidak, aku tak bisa menentukan. Pengkhianatan sulit untuk dimaafkan.”

Raja Isildur keluar dari kamar lalu kembali sambil menggotong peti kaca. Sepasang sayap hitam mengepak di dalamnya. Furificent melancarkan sinar hijau seperti petir menghancurkan peti kaca itu. sayap-sayapnya melesat menyatu dengan punggungnya. Sinar dan asap kehijauan melilit proses penyatuan itu. Furificent berubah menawan.

Raja Isildur jatuh berlutut. “Sungguh indah. Sungguh.”

“Isildur, apa yang kulakukan sebetulnya salah.” Furificent mendarat, sayapnya terentang sepanjang ruangan. “Tak sepatutnya aku mengutuk anak tak berdosa. Dan tak sepatutnya aku mendendam. Kau kumaafkan, Isildur. Karena kau telah membuktikan dirimu mau melakukan apa saja demi menyembuhkan putrimu. Kau menghabiskan banyak waktu menunggui putrimu, berharap ia bangun dan menemukan ayahnya menungguinya. Maafkan aku pula karena aku telah mengacaukan hidup seorang anak manusia. Seorang Peri tak boleh melakukan itu.”

“Sungguh? Aku memohon sejuta maaf, berjuta-juta maaf yang bisa diucapkan seorang manusia. Bisakah kini kutukan itu terangkat?”

“Kita bisa melakukan satu hal.”

Furificent mendekati Raja Isildur, ia mengangkat lelaki yang dulu pernah mengkhianatinya. Seiring ia mengangkatnya, dendamnya kepada lelaki itu pun terangkat. Dan mereka pun berciuman kembali.

Keajaiban terjadi. Beragam warna cahaya membentuk pusaran angin di tempat tidur Aurora. Wussshhhh wussshhhh wusshhhhh. Anginnya menjadi kencang.

“Kutukannya terangkat.” Kata Furificent.

“Sungguh?” Raja Isildur terharu.

Petir-petir kecil menggelegar pada pusaran angin berwarna itu. Ketika usai, didapati oleh mereka suara tangisan bayi.

“Aurora?” Raja Isildur menghampiri, dilihatnya putrinya seperti yang pernah dilihatnya tiga puluh dua tahun lalu. Mungil, ceria, cantik, sempurna. Bayi Aurora menendang-nendang girang. Raja Isildur mengangkatnya, menimangnya. “Berjuta terima kasih kuucapkan padamu, Furificent.”

“Dewa dewi kahyangan telah memberi kesempatan menjalani hidup normal kepadanya. Dan kini giliranku untuk menjalani hukuman kahyangan.”

“Hukuman kahyangan?”

“Ya, aku telah berdosa karena mengutuk anak tak berdosa. Selamat tinggal Isildur, selamat tinggal Aurora.”

Dan terbanglah Furificent, menembus jendela kaca menara sampai hancur berkeping-keping. Melesat cepat menuju langit, merobek horizon, ia meluncur secepat bintang jatuh.

 

 

Diadaptasi secara kurang ajar dari Sleeping Beauty

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA