LIZARD TONGUE -- STORY OF UNCOMMON LADY


“There is no exquisite beauty… without some strangeness in the proportion.”
Edgar Allan Poe

 
Hidup betul – betul tidak mudah bagi seorang Enola. Semenjak ia bisa bicara dan berjalan, anak – anak seusianya sudah pasti menjauh. Hanya satu atau dua saja yang berani berteman dengannya.

Enola diberkahi ingatan super. Bahkan semenjak ia ditaruh di depan sebuah panti asuhan, ia ingat. Ia ingat wajah ibunya. Ia ingat itulah saat terakhir Enola melihat wajah sang ibu.

Ke mana sang ibu? Kenapa aku ditinggalkan di sini?

Pertanyaan itu sering melandanya di saat usia Enola menginjak dua belas tahun. Saat – saat sulit. Ia menjadi anak paling tua di panti asuhan itu dan tak satu pun orang tua yang berminat mengadopsinya. Hanya karena Enola memiliki kelainan.

Kelainan itulah yang membuatnya dijauhi teman – teman. Kadang Enola bersedih hati. Malam – malam ia pergi ke atap dan menatap bulan. Ia berdoa. Mencoba mengingat wajah sang ibu. Di panti asuhan itu dia paling suka dengan Andini. Seorang pengasuh yang menemukannya meringkuk di keranjang kecil. Andini sudah dianggap Enola sebagai pengganti ibunya. Namun walau begitu, Enola masih tetap tak bisa melupakan ibu kandungnya. Suatu hari nanti ia akan mencari ibunya.

Di sekolah Enola sering dibully. Diejek teman sekelas. Guru – guru pun tak ada yang ingin membela. Pernah juga, Enola dipanggil guru BP. Suatu hari Enola tak tahan, sudah terlalu lama ia menanggung malu diolok – olok terus. Ia melempar batu ke arah anak yang dibencinya, yang adalah anak populer di SMP. Anak itu sampai berdarah dahinya. Anak itu membalas, melempar botol beling ke kepala Enola. Darah muncrat. Enola tergeletak di tanah. Si anak itu sempat kalang kabut. Semua anak di kantin terperangah. Enola bangkit berdiri dan darah mengalir lagi masuk ke dalam pembuluh, seolah luka itu tak pernah ada. Enola lari, ia menangis, mengadu ke pohon di belakang gudang. Di situ ia menemukan seekor teman.

Apakah kelainan Enola yang membuatnya dijauhi orang – orang?

Enola dulunya adalah balita paling riang di panti asuhan. Semua orang menyukainya. Namun selama lima tahun itu, tak ada orang tua dari luar datang untuk mengadopsi salah satu anak. Kelainan itu baru ketahuan setelah kejadian saat umurnya menginjak tujuh tahun, kelas 1 SD, suatu malam Enola menjerit di lorong panti asuhan yang menuju kamar mandi. Jeritan Enola membangunkan seisi gedung. Enola melolong. Selama seminggu Enola menggigil dan jatuh sakit. Suatu pagi ada dokter yang memeriksanya, dokter itu terperanjat dan ngeri. Mulut dokter berkomat – kamit mengucapkan berbagai doa. Enola saat itu tidak mengerti apa yang terjadi. Andini sampai khawatir. Dokter itu seolah tak kuat menyampaikan kepada Andini. “Enola... memiliki lidah kadal. Anak itu terkutuk, maafkan aku.” Dokter pergi begitu saja meninggalkan Andini yang bingung.

Beruntung Enola diasuh oleh Andini, walau dengan mata kepalanya sendiri Andini telah membuktikan kebenaran lidah kadal Enola, Andini tetap sayang kepada Enola.

Bagi Enola, Andini adalah ibu peri yang selalu melindunginya. Mulai sejak itu di panti asuhan terjadi perpecahan. Ibu – ibu pengasuh yang lebih tua dari Andini terus – terusan menekan Enola untuk dikeluarkan.

“Ngeri. Ngeri. Anak itu lidahnya aneh. Jangan sampai anak itu membuat takut yang lain.”

“Tapi Enola anak yang baik. Dia tidak pernah berbuat yang tidak baik.” Bela Andini. Di ruangan para pengasuh yang biasa digunakan juga untuk ruang rapat para pengurus yayasan.

“Anak itu terkutuk.” Tukas salah satu ibu.

“Ibu! Jangan sembarangan bicara. Enola tetap makhluk ciptaan Allah. Jangan dikatai seperti itu. Kehadirannya di dunia ini tidak sia – sia. Semua makhluk pun begitu. Saya, ibu dan siapa saja pun begitu. Tak ada ciptaannya yang sia – sia.” Andini sampai menangis.

Dan mulai sejak itu jatah mengasuh Andini dikurangi. Para pengasuh dan pengurus tetap mempertahankan Enola, dengan syarat, jika sampai ada kejadian aneh lagi, Enola harus keluar dari tempat ini. Andini kemudian mencurahkan segenap perhatiannya kepada Enola. Sampai ia sendiri lupa untuk menyenangkan diri sendiri, sampai usianya menginjak empat puluh, Andini belum juga menikah.

Enola. Bukannya ngeri malah bangga atas lidah yang terbelah ujungnya itu. Setiap kali mandi ia lama – lama berkaca, memainkan lidahnya. Tentunya, sesuai perjanjiannya dengan Andini, tak boleh sampai ada yang lihat dengan jelas lidah Enola. Untungnya pula, pada saat itu tidak banyak anak – anak yang berusaha mendekatinya, karena jauh – jauh hari sudah diwanti – wanti oleh ibu pengasuh untuk tidak dekat – dekat dengan Enola.

Enola pun terkucilkan. Enola tidak bersedih hati, masih ada Andini. Ibu perinya. Dan ingatan menyenangkan tentang senyum ibu kandungnya.

Kelas 4 SD, Enola hampir saja dikeluarkan. Enola dituduh mencuri uang milik Nowela, salah satu anak asuh Andini. Nowela itu masuk ke panti pada umur tujuh tahun, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat, sejak awal dia sudah cemburu pada Enola. Andini, ibu asuhnya juga, terlalu memusatkan perhatian pada Enola. Sehingga Nowela nekad bertindak, memfitnah Enola. Andini dengan sikap keibuannya, serta penuh keadilan, mencoba membuktikan perkara itu. Enola menangis tersedu – sedu mengetahui dirinya akan dikeluarkan. Tiga hari Andini membuktikan kebenaran. Nowela meminta maaf kepada Andini dan juga Enola. Dirinya telah memfitnah Enola karena cemburu. Enola memeluk Nowela. Semenjak itu mereka berdua jadi sahabat. Andini senang melihatnya.

Nowela tidak risih dengan kelainan yang dimiliki Enola. Justru Nowela yang meyakinkan Enola untuk tetap percaya diri. Nowela bilang Enola cantik. Mereka berdua akrab sekali. Kebahagiaan Enola terasa lengkap pada akhirnya.

Namun, yang seperti itu, tidak berlangsung lama. Menginjak kelas 2 SMP, Enola harus merelakan Nowela pergi. Teman satu – satunya itu meninggal. Jatuh dari atap. Betapa hancur hati Enola. Ia hampir setiap hari mengunci diri di kamar. Kasih sayang Andini menjadi tidak cukup. Kebahagiaan Enola telah terlucuti. Sebagian jiwanya telah pergi. “Nowela. Kenapa kau pergi? Tuhan kenapa kau mengambil satu – satunya kawanku?” sejak saat itu, para ibu pengasuh yang lain mulai menaruh simpati pada Enola. Namun simpati itu tertolak. Enola tidak menginginkannya.

Semenjak saat itu pula, Enola berubah sikap.

Enola menjadi acuh tak acuh. Sebenarnya Enola bukanlah anak yang bebal. Enola adalah anak yang cemerlang. Kemampuan menghapalnya luar biasa. Bukan sekadar menghapal pula, ia dengan cepat paham. Bahkan ia selalu melontarkan pertanyaan – pertanyaan yang merepotkan gurunya. Sampai – sampai ia dipanggil oleh kepala sekolah. Enola diberikan kesempatan mengikuti olimpiade sains. Ia diberi kesempatan belajar privat dengan guru sainsnya.

Enola selalu saja menanyakan pertanyaan mendasar yang tidak pernah ditanyakan murid lain. Ia selalu menanyakan “kenapa?” “kenapa begitu?” “kenapa tidak begini...” ia mendebat gurunya.

Keteladanan baik seperti itu tiba – tiba saja hilang entah ke mana semenjak Nowela pergi.

Enola jadi sering membolos. Adalah kekuatannya berada terus bersama Nowela. Tiap kali anak – anak populer mengejeknya, Nowela membela. Setelah kejadian lempar batu itu, Enola sering membolos dan malas – malasan ke sekolah. Enola juga sering tidak pulang ke panti. Itulah pertama kalinya Andini marah besar kepada Enola.

“Aku tahu kamu sedih ditinggal Nowela. Tapi ibu yakin, Nowela tidak menginginkan seperti ini. Coba kamu pikirkan sendiri, apa Nowela mau kamu jadi seperti ini?”

Enola tertunduk. Titik terlemahnya sudah diserang. Ia tahu betul dirinya terancam dikeluarkan lagi. Mau ke mana ia tinggal setelah ini? Enola memikirkan perkataan Andini, merenunginya. Lalu ia menyerbu memeluk Andini. “Maafkan Enola, bu. Maafkan Enola, bu. Enola salah. Enola seperti ini karena tidak kuat. Enola sangat sedih. Enola seperti kehilangan separuh kekuatan hidup.”

“Enola, jangan kamu menyikapi kehilangan orang yang kamu cintai seperti itu. Apa yang terjadi di dunia ini adalah kehendakNya. Yang setiap pada itu mengandung pelajaran.”

Kondisi Enola berangsur membaik. Ia meminta maaf ke semua ibu pengasuh. Walau ibu – ibu itu masih saja merasa risih dengan lidah Enola, karena setiap Enola berbicara terdengar suara desisan mirip ular. Dan lidah itu meliuk – liuk di rongga mulutnya.

Enola telah memiliki seekor teman. Ya seekor. Seekor kadal kebun yang ia temui tempo hari setelah insiden lempar batu. Ia menemukan hal luar biasa selain lidah terbelahnya. Ia bisa bicara dengan kadal!

Kadal itu mengajari Enola untuk menjadi kuat. Tidak mudah terluka. Tidak mudah terluka ini bukan mengenai sifat, namun fisik, dan memang betul, Enola tidak mudah disakiti. Insiden lempar botol yang mengenai ubun – ubun adalah buktinya. Kadal itu berkata, “kau punya bakat luar biasa, kau manusia pilihan, kau manusia luar biasa, Enola, bersyukurlah atas itu. Kelak kau akan berguna untuk dunia.”

“Terima kasih, teman kadalku.” Kadal itu menunjukkan ekornya yang barusan buntung karena dikejar kucing.

“Ekorku bisa tumbuh lagi, namun perlu beberapa hari untuk menumbuhkannya secara sempurna. Dan kau Enola, memiliki kemampuan ratusan kali lipat daripadaku. Bersyukurlah atas anugrah itu.”

Enola mulai mencoba melukai dirinya sendiri dengan cutter. Ia torehkan luka di lengannya. Yang dalam sekejap menutup kembali. Rasa sakit itu tetap ada, namun sekejap hilang seperti embusan napas di kaca.

Enola memulai petualangannya bersama si kadal. Petualangan merasakan rasa sakit. Si kadal tugasnya mengerem tindakan Enola. Si kadal menghentikan uji coba bunuh diri Enola meloncat dari menara sutet. Orang – orang pada heboh. Untungnya lokasi sutet itu jauh sekali dari panti dan sekolah. Jadi tak ada yang mengenalnya.

Enola menabrakkan diri ke motor yang sedang melaju kencang. Tangan dan kakinya patah, lebam di mana – mana. Setelah tiga menit, ia melarikan diri dengan cepat. Suatu malam di atap, di bawah sinar bulan purnama, Enola memotong jari kelingkingnya. Si kadal tak menemaninya. Nekad betul Enola ini. Putusan jari kelingking itu mencelat jatuh ke rumput. Enola meringis menahan perih, ia mengigit kaosnya. Tubuhnya mengejang, Enola panik. Ia hampir menggelinding jatuh, ia meraih sisi talang air. Tubuhnya menggantung bebas di tepi atap. Lalu tak kuat, Enola jatuh mendebum ke tanah. Saat bangun dan celingukan ke segala arah memastikan keadaan aman, kelingkingnya sudah tumbuh lagi. Kelingking yang putus tadi ia cari dan ia simpan.

Pada waktu dewasa ia menertawai peristiwa itu, sambil mengiris pahanya. Saat Enola putus cinta.

Celakanya, aksi nekadnya memanjat menara sutet masuk koran. Koran itu pun masuk panti. Di panti, Andini suka baca koran. Selain memang Enola sudah terlalu tua berada di panti, peristiwa ini menjadi basoka yang menghancurkan kesempatan tinggal lebih lama di panti itu. Kedua kalinya Andini marah besar. Marah besar Andini bukanlah dengan membentak, namun berkata lembut namun menusuk atau tidak bicara sama sekali.

Enola menjadi sasaran tembak. Telah diputuskan secara aklamasi Enola harus dikeluarkan dari panti karena telah mencoreng nama baik panti dan membuat semua pengasuh tidak tenang.

Anehnya, Enola tidak sedih tentang pengusirannya itu. Ia mengkhawatirkan sikap Andini kepadanya. Ibu asuhnya itu tidak bicara sama sekali saat membantu Enola mengemasi barang – barangnya. Andini memesankan taksi lalu menunggu di luar bersama Enola. Masih tak bicara.

Taksi tiba. Enola mendadak menangis hebat. Ia teringat Nowela, ia teringat ibu kandungnya. Betapa mereka pasti kecewa terhadap Enola. Andini masih mendiamkan Enola. Ibu asuh itu ikut masuk ke taksi. Enola tidak tahu mau diajak ke mana dirinya. Enola sudah tak peduli lagi.

“Enola. Ibu ingin kamu terus terang ke ibu. Apa yang terjadi?” Andini menampung Enola di kontrakan kecil. Tempatnya beristirahat di hari libur yang bergilir. Di malam hari sebelum tidur.

Enola terisak lagi. Andini menungguinya sampai selesai. Tak menyentuhnya.

“Ibu. Apakah aku terkutuk?”

Andini menggeleng, “tentu saja tidak, Enola. Kenapa kamu bertanya begitu?”

Enola menyambar gunting yang tadi digunakan untuk membuka kardus, menusukkannya ke paha. Darah mengucur membasahi kasur busa. Andini terkaget.

“Enola! Apa yang kau lakukan?”

“Ibu. Apakah aku terkutuk?” Enola mengusap luka itu dengan tangannya, menghentikan Andini yang hendak menolongnya. Andini terkejut lagi, luka itu menutup lagi. Kulit putih paha Enola tampak mulus tak ada bekas luka.

Andini menutup mulutnya. Air mata menetes. Ia masuk ke kamar mandi. Di kamar, Enola pun meneteskan air mata. Hidupnya serasa tanpa arti. Teman kadalnya tak kunjung menemuinya lagi.

Sampai tengah malam Andini baru keluar dari kamar mandi, matanya sembap, ia tiba – tiba pilek. Enola telah terlelap dengan posisi duduk bersandar. Ia dekati anak yang telah bersamanya semenjak bayi. Andini menganggap Enola sebagai anaknya sendiri, melebihi semua anak yang diasuhnya.

Tidak ada yang tahu bahwa sebetulnya Andini sudah pernah menikah. Namun suaminya meninggalkannya karena Andini mandul. Tidak bisa menghasilkan anak. Dengan kehadiran Enola, semua kesedihan itu terhapus.

Ia mengecup dahi anak itu dengan sayang, tanpa penghakiman atas kesalahan yang Enola perbuat. Jauh di lubuk hatinya Andini telah memaafkan anak itu. Sekarang saatnya untuk mengerti kenapa Enola melakukan itu semua.

Enola terbangun. “Ibu?” saat melihat wajah Andini, yang ia lihat justru wajah ibu kandungnya.

“Enola. Aku ingin mengerti. Katakanlah dengan jujur apa yang telah terjadi padamu. Maafkan aku nak, tak cukup waktu untuk mengurusimu akhir – akhir ini.”

Enola memeluk ibu asuhnya dengan teramat erat. Ia bahagia. “Ibu jangan kaget lagi seperti tadi. Semua yang terjadi pada Enola memang sangat aneh bagi manusia normal.” Lalu Enola menceritakan semuanya. Lidah bercabangnya meliuk – liuk di rongga mulutnya. “Ibu, apakah ini anugerah atau kutukan? Kata kadal ini anugerah.”

Enola mengeluarkan bungkusan bekas jari kelingking putusnya yang kini telah mengerut tinggal tulang. Andini ngeri melihat itu namun ia paksakan. “Teman kadalmu betul Enola. Tidak ada yang namanya kutukan. Jika kita menyikapinya dengan benar, semua adalah anugerah. Sekarang untuk apa anugerah itu kau gunakan? Yang kau lakukan tempo hari itu adalah tindakan yang tidak benar dalam penggunaan anugerahmu. Itu artinya kau tidak bersyukur atas anugerahmu.”

Enola mengangguk. “Aku tahu bu. Tapi rasanya menyenangkan saat mencobanya.”

“Enola, hidup ini, ada baiknya jangan digunakan untuk terus bersenang – senang. Kau bisa lupa diri.”

Enola dewasa menitikkan air mata teringat pesan ibu Andini itu. Di hadapannya duduk seorang doktor, meletakkan tangan di bawah dagu, mendengarkan dengan seksama.

Atas kejadian di menara sutet itu, Enola dikeluarkan dari sekolah. Agak susah untuk mencari sekolah baru karena berita di koran itu telah tersebar ke mana – mana. Tiap kepala sekolah yang berjumpa dengannya berjengit tiap kali melihat lidah bercabang Enola.

Semua sekolah menolaknya. “Tidak apa – apa ibu, bukannya menyombongkan diri, tapi aku bisa belajar sendiri dan bisa lebih pintar dari semua murid di sekolah itu.”

“Enola, berkata begitu juga termasuk menyombongkan diri.”

Enola dewasa tertawa.

Ada akhirnya setelah ratusan kali berkunjung ke macam – macam sekolah, Enola diterima satu tempat pendidikan. Sekolah alam. Guru – guru di sana kebanyakan adalah relawan. Tempat belajar mereka di alam luas. Tidak ada papan tulis dan tidak ada meja belajar. Semua dilakukan di atas rumput dan tanah lapang. Enola tidak lagi menjadi orang asing. Mereka menerima Enola layaknya manusia pada umumnya. Kelainan pada lidah Enola tidak lantas membuat mereka risih. Justru di situ Enola menjadi pusat perhatian. Dan lebih baik lagi, di sekolah alam ini muridnya diperbolehkan menginap di rumah kayu di atas pohon. Dua hari pula Andini menemani Enola di rumah pohon itu. Kemudian Andini berpesan saat mau pergi, “kau suka berada di alam Enola? Jadikan ini rumahmu. Jangan lakukan hal aneh – aneh lagi. Ibu mau kamu berjanji. Jangan kamu mengacau lagi.”

“Enola berjanji.” Mereka berpelukan. Andini turun lewat tangga tali.

Selama 4 tahun Enola tinggal di sekolah alam itu. Sampai dia lulus SMA. Di sekolah itu Enola memiliki dua teman dekat yaitu: Alini dan Hunila. Mereka tinggal di rumah pohon yang sama. Kegiatan yang paling disukai Enola adalah di sekitar danau. Ia suka air. Meski begitu, Enola tetap menyimpan rahasianya rapat – rapat. Setiap malam Enola turun dari pohon dan menuju tebing, memandang bulan. Kadal – kadal menemaninya. Teman kadalnya yang dulu tak pernah muncul lagi.

Dan selama itu, Enola tidak pernah mencoba melukai dirinya lagi.

“Itu saat – saat yang paling menyenangkan dalam hidupku. Empat tahun di sekolah alam. Hunila menamai sekolah alam itu Camp Halfblood. Seperti kisah Percy Jackson. Aku dianggap keturunan Medusa.” Kata Enola dewasa, tertawa pada bagian akhir. Doktor itu tersenyum puas, dalam hatinya ia iri, sekolah alam pastilah sangat menarik.

Enola dewasa kemudian berbaring. Doktor mengambil tempat duduk di sampingnya. Enola telah berganti pakaian, seperti seorang pasien. Tak memakai pakaian dalam. Doktor itu mencatat tanda – tanda vital Enola. “Kau dalam kondisi sehat walafiat.”

Enola bercerita. Sebelum proses itu dimulai sang Doktor. Andini meninggal pasa usia 67 tahun saat Enola mulai bekerja di reservasi hutan lindung sebagai relawan. Saat itu Enola telah dewasa, umur 24 tahun. Kepergian Andini menjadi pukulan telak baginya. Namun ia tak mau berlarut dalam duka kehilangan, Andini pasti tidak menginginkan Enola begitu. Enola melanjutkan hidup.

Enola menikah pada usia 27 tahun dengan seorang profesor yang lebih tua lima tahun. Mereka hidup bahagia sampai sang profesor menemukan keanehan pada diri Enola. Dan itulah yang menjadi awal penelitian sang Doktor yang sedang duduk di samping Enola yang sedang berbaring.

Malam pertama mereka mengagumkan. Saling memuaskan satu sama lain. Mereka bagai terbang ke surga. Enola pun begitu menikmatinya. Tapi esok hari ketika mereka mengulang perbuatan itu, Enola kembali perawan, selaput daranya kembali rapat. Awalnya sang profesor mengira ia tidak sampai merobek selaput keperawanan Enola. Tapi, acapkali mereka melakukannya Enola kembali lagi perawan. Enola menjadi tak enak hati, ia ungkapkan rahasia itu pada sang suami. Selama bertahun – tahun pasangan itu tak kunjung memiliki anak. Enola selalu menjadi perawan. Di ulang tahunnya yang ke-35 hal aneh terjadi, pada hari sebelumnya di bawah mata Enola terlihat semacam kerutan penuaan. Tapi di hari ulang tahun itu, ketika sang profesor hendak menciumnya di pagi hari sebagai hadiah ulang tahun, Enola tampak sepuluh tahun lebih muda. Kondisi tubuhnya seperti ketika ia berumur 25 tahun.

Profesor itu pusing bukan kepalang. Ia jatuh pingsan karena semua peristiwa itu tak mampu ia tangkap dengan nalar. Hal itu yang memicunya untuk meneliti istrinya sendiri. Kali pertama ia mengambil darah Enola. Luka tusukan jarum itu menutup rapat tepat saat ujung jarum meninggalkan tekukan siku bagian dalam.

Enola menjadi tak enak hati. Ia tentu memikirkan suaminya yang telah berusia mendekati setengah abad itu, tentu ia ingin memiliki anak sebagai penerus kegeniusannya. Maka suatu sore Enola menulis surat, “maafkan aku, aku tak bisa menjadi manusia normal, tidak akan pernah bisa. Maka, aku ingin kau menikah lagi dengan perempuan lain. Yang normal. Tidak seperti diriku. Aku akan pergi dari hidupmu. Jika terus kita lanjutkan, orang – orang akan menaruh curiga dan aku tak menginginkan menjadi pusat perhatian. Selamat tinggal. Aku mencintaimu.”

Doktor yang sedang memeriksa Enola saat ini adalah keturunan ke tujuh dari profesor itu.

Beragam kehidupan telah Enola jalani. Ia terus – terusan memalsukan kematiannya. Siklus hidupnya sepuluh tahun menua, sepuluh tahun menjadi muda. Parasnya selalu seperti perempuan 25 tahun.

Beragam kehidupan ia telah cicipi. Semasa kecil ia telah mencicipi petualangan rasa sakit, sekarang petualangannya adalah menjalani ragam kehidupan. Dia tak pernah tinggal di suatu negara lebih dari dua puluh tahun. Dan Enola tak pernah menjalani hubungan serius. Ia memang selalu mengidamkan hubungan di ranjang yang nikmat. Dan itu menjadi petulangannya juga. Mencicipi tiap rasa para pria. Dalam satu kehidupan itu ia menjadi pelacur mahal. Kelainannya itu menjadi barang mahal. Ia selalu memasang tarif mahal. Dan menolak berhubungan dengan pria yang sama. Tiap malam beda klien.

Di kehidupan lain, ia menjadi super model. Lidah bercabangnya menjadi sumber ketertarikan fotografer dan perusahaan iklan dan majalah gaya.

Enola tidak pernah lupa. Setiap kejadian dalam hidupnya terpatri di otaknya. Wajah ibunya tetap selalu menghiasi mimpi. Dan semenjak ia bekerja di reservasi hutan lindung di kehidupan awal, sampai sekarang, ia masih mencari dan tak kunjung bertemu dengan ibunya. Enola tak pernah bisa menjawab pertanyaan masa kecilnya. Kenapa aku kau tinggalkan?

Beratus tahun sudah. Ia hidup dengan banyak identitas. Satu nama yang ia suka: Enola Reverof. Satu nama yang ia pakai ketika tinggal di Rusia.

Beratus tahun Enola hidup, mengamati tiap perubahan jaman di bumi, di tiap negara. Dan saat ia berbaring di samping doktor, dunia telah dipenuhi oleh robot dan manusia kloningan. Saat ini, banyak terjadi tragedi kemanusiaan. Orang – orang tak bisa lagi membedakan mana manusia asli. True origin. Di setiap kehidupan itu, Enola tak pernah melupakan suami pertamanya, ia terus melacak keberadaan keturunannya. Sampai ia bertemu dengan doktor ini. Yang membuka penelitian kakek buyutnya, tentang rapid cellular regeneration.

“Yang terjadi padamu adalah anugerah. Percayalah, aku doktor yang baik, aku tidak akan menyalahgunakan darahmu.”

“Ya, aku percaya. Aku sudah terlalu lama hidup, dan ini hal terakhir yang kuinginkan. Kuharap kau bisa mewujudkannya.”

Akhirnya Enola bisa istirahat. Ia telah merasakan kematian yang sesungguhnya.

Batok kepalanya telah terbelah. Otaknya diambil dan disimpan. Darahnya memenuhi tabung – tabung kaca di lab doktor itu. Ia meninggalkan kehidupan dengan harapan. Dia bisa mengembalikan kondisi dunia yang telah carut marut begini. Banyak epidemi penyakit menyebar. Semoga darahnya bisa menyembuhkan. Semoga dunia tertata kembali. Seperti dulu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA