LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"


“The measure of a man is not how much he suffers in the test, but how he comes out at the end.”
Neal Shusterman, UnWholly


Yang aku sampaikan ini sekedar opini pribadi dan buah pikir kepalaku. Jika ada hal – hal yang menyinggung, abaikan saja, tidak usah marah. Aku sedang mengimplementasikan apa yang dimaksud dengan kebebasan berpendapat. Dan yang terpenting dari itu, ini hanyalah sarana pelemasan jari dan juga otak. Penyaluran dari memori yang samar – samar supaya tidak hilang kemudian hari.
 

Dunia telah berubah aturan mainnya. Anak – anak sekolah tidak perlu lagi repot – repot melanjutkan ke jenjang lebih tinggi di mana siswa tak lagi sekedar siswa. Mereka tak perlu jadi Mahasiswa.

Aku salah satu yang tidak perlu jadi Mahasiswa. Tahun 2009 aku lulus SMK jurusan Informatika. Di sebuah SMK baru jadi, baru mulai, baru bangun, dan sekelasku jika aku pikir sekarang, kami dulu hanyalah kelinci percobaan. Kurikulum yang penuh dengan istilah – istilah keren komputerisasi itu tidak berhasil tersampaikan ke dalam chip memory otak siswa. Aku bilang saja GAGAL TOTAL. Hanya segelintir yang bisa dihitung dengan mata buta yang mampu, setidaknya, mengutak – atik command prompt walau hanya untuk mengetahui alamat ip address. Itu sudah bisa dibilang lumayan daripada yang lain.

Entah apa masalahnya biarkan menjadi urusan Kajur dan Kepsek.

Tak ada rencana jelas hendak ke mana setelah itu. Kami semua buta. Dari awal kami sudah didoktrin lulus SMK harus kerja.

Maka itu tidak perlu jadi Mahasiswa untuk bisa kerja. Tapi kerja apa?

Beragam lowongan mulai bertempelan di majalah dinding (katanya sih begitu). Macam – macam lubang itu, ingin diisi oleh siswa – siswi SMK ini. Ada dari PLN, Kecamatan, Rental Komputer, dll. Aku coba yang PLN. Alhasil tidak masuk. Lalu ada satu lagi yang baru, Loka Latihan Keterampilan Bridgestone. Aku ikut kirim, hari terakhir, aku ditinggal teman.

Dari saran guru, aku dan beberapa teman ikut BLK di Kabupaten Bojonegoro. Komputer. Cuma microsoft office. Yang notabene, tidak bermaksud sombong, aku sudah khatam.

Di Bojonegoro aku ngekos.

Baru satu minggu ngekos dan BLK, surat pemberitahuan dari Loka Latihan Keterampilan Bridgestone (selanjutnya disebut sebagai LLK-BS) sampai di rumah. Aku ditelpon oleh Wakasek. Menurut info beliau ada lima anak dari SMK ini yang terpanggil mengikuti seleksi masuk. Aku langsung meluncur pulang saat itu juga. Memberitahu bule’ dan pakdhe.

Lima anak itu dipanggil ke sekolah bersama walinya untuk info lebih lanjut mengenai keberangkatan. LLK-BS ini tempatnya di Bekasi. Kami sepakat naik kereta dan menginap di tempat kenalan saudaraku. OmWid namanya.

Si Wakasek ini memaparkan harapan yang belakangan aku ketahui itu hanyalah harapan palsu belaka. Katanya selama dua tahun di LLK-BS itu kami bisa mendapatkan uang saku besar. Katanya membesar – besarkan. Kita pulang bisa beli Xenia. What a bullshit.

Si Wakasek ini identik dengan klenik. Suatu malam sebelum keberangkatan kami berlima diajak menemui Simbah. Guru spiritual si Wakasek. Hanya aku yang pertama kali diajak ke situ. Sofa, rival utamaku di kelas, sudah berkali – kali. Tahukah kau, si Wakasek ini adalah satu – satunya guru yang aku benci dan aku suka di waktu yang bersamaan? Ya begitu adanya. Guyonannya selalu kunanti – nanti. Kadang dia membesarkan hatiku. Namun, entah bagaimana aku tidak sanggup menembus gelembung pemisah guru dan murid untuk lebih dekat dengan guru ini. Sofa bisa, dia dan beberapa murid koleksi Wakasek ini dekat sekali, seperti ayah dan anak. Mungkin aku kurang istimewa.

Di rumah kayu Simbah, Wakasek menjelaskan perihal seleksi masuk LLK-BS. Beliau meminta dimudahkan jalan kami untuk menuju ke sana. Supaya kami semua segera mendapatkan kerja.

Simbah keluar sebentar, memandangi langit di ambang pintu. Lalu menjumput sesuatu sambil mengucap doa dan minum kopi hitam pahit.

Yang dijumput tadi adalah sebutir kerikil, Simbah bungkus plastik. Lalu sambil menerawang kami berlima, aku yang dipilih olehnya untuk membawa kerikil itu bersamaku.

Buang kerikil itu tepat di depan pintu gerbang, begitu pesannya.

Aku bukanlah orang yang mempercayai klenik. Hal – hal semacam itu adalah musyrik. Dosa besar. Aku terima saja namun dalam hati aku menegaskan diri bahwa aku tidak percaya.

Naik kereta, berlima, dan ditemani satu guru. Kami dijemput di stasiun Bekasi oleh OmWid. Pagi – pagi langsung diajak ke tempat menginap. Rumah orang, jauh dari jalan ramai. Sore – sore kami memutuskan untuk mendatangi lokasi LLK-BS sekaligus mencari tahu angkutan apa yang menuju ke sana.

Pabrik ban itu luas sekali. Di sebelahnya terdapat asrama dan diklat. Bagus. Tulisannya asrama putra. Jika ada asrama putra, pasti ada asrama putri. Begitu pikir kami. Ah, mungkin di ujung gang sana.

Ketika hendak pulang, kami tidak mendapat angkutan sama sekali. Ada sih angkutan, tapi supirnya melarang kami naik. Kata orang, beberapa nomor angkutan diancam untuk tidak boleh menaikkan penumpang di wilayah tertentu. Alhasil, kami nekat jalan kaki sampai tempat menginap. Lumayan, 25 kilometer jauhnya. Dua jam kami berjalan kaki.

Tidur pulas semalaman. Pagi – pagi buta kami bersiap. Jam lima pagi kami berangkat. Sesampainya di LLK-BS masjid pabrik ramai sekali oleh peserta seleksi. Kami ikut menunggu di situ. Jam tujuh pagi acara dimulai. Semua berkumpul di depan diklat. Diatur berbaris oleh remaja – remaja berseragam olahraga warna krem. Merekalah siswa LLK-BS. Diberi taklimat sebentar oleh Kepala Diklat. Lalu urutan nomor sekian sampai sekian disuruh masuk. Aku dapat giliran siang. Sebelum masuk gerbang tadi, aku membuang kerikil tanpa berkata apa – apa. Berdoa pun tidak.

Fase pertama seleksi adalah ujian tulis. Materi - materi umum. MTK, Bahasa, fisika, kimia, materi jurusan. Soalnya lumayan susah. Lalu ujian tulis psikotes pertama.

Pengumuman dua hari kemudian. Selama itu kami menginap di masjid. Guru pendamping pamit untuk pulang lebih dulu.

Dari ratusan peserta tersaring menjadi seratusan. Tiga orang temanku gugur. Tinggal aku dan Eko. Salah satu teman ikut menginap sampai esok hari. Ketika seleksi fase kedua dimulai.

Tes fisik. Seharian penuh. Peserta berlari mengitari lapangan bola sekuat yang mereka mampu selama waktu yang ditentukan. Dilanjut dengan push up, back up, sit up sekuat yang kami bisa. Aku push up dapat 30, back up 18, sit up 22. Lalu lari lagi kembali ke diklat. Kami diuji pull up. Aku dapat tiga. Teman baruku yang aku kenal di masjid, namanya Fauzi tidak mampu mengangkat badannya sama sekali. Dia mengingatkanku pada Danang, mantan drummer. Lalu disusul dengan pengukuran berat dan tinggi badan. Pengumumannya lebih cepat. Sore itu juga. Kami menanti pengumuman seperti saat mendebarkan berita kelulusan UN.

Aku, Eko dan Fauzi lolos. Peserta menjadi 90-an.

Kami remaja – remaja baru lulus yang menurut untuk diuji apa pun supaya lolos tes. Masa depan menunggu dengan cengirannya yang menyebalkan.

Esok harinya tes kesehatan tahap satu. Kami diambil darah, air seni dan rontgen setelah semalaman puasa. Ada yang lucu saat pengambilan darah, ketika jarum suntik ditusuk ke lengan kiri darah tidak keluar, lalu diganti ke tangan kanan tidak keluar juga, oleh petugas jarum itu diungkit – ungkit, digoyang – goyang sampai akhirnya darah keluar, walau cuma sedikit. Cerita itu seterusnya bisa membuat ketawa. Cerita itu dimiliki oleh Ali Sadikin. Anak Cirebon.

Setelah selesai tidak langsung pengumuman karena masih ada tes kesehatan tahap dua. Jarak keduanya agak lama, sekitar dua hari.

Di tes kesehatan tahap dua ini seorang dokter membandingkan gambar hasil rontgen dengan kondisi fisik peserta. Disediakan dua meja yang di atasnya terdapat kasur kapas. Setiap peserta diharuskan membuka baju. Agak malu juga, tubuhku masih kerempeng.

Dari 90an peserta menipis menjadi 60 peserta. Aku dan Fauzi lolos. Eko tidak. Dia langsung pulang. Kecewa. Seleksi seperti ini membuat dirinya kapok untuk mengulang di tahun kedua. Akhirnya dia bekerja di warnet di daerah Cepu.

Fase berikutnya seleksi. Ujian Psikotes lanjutan. Kali ini luar biasa sulitnya. Para peserta berpacu dengan waktu. Dipandu oleh dua petugas ibu – ibu, peserta mengerjakan deret angka A3 penuh bolak balik. Tahu kan yang aku maksud? Jadi di lembar itu tercetak deretan angka dari atas ke bawah, nah di jarak antara angka – angka itu kita tulis angka terakhir dari penjumlahan dua angka tersebut. Aku hanya sampai tiga perempat halaman muka. Yang lain ada yang sampai minta tambah kertas karena waktu masih tersedia. Setiap ibu – ibu itu bilang ‘stop’ peserta harus mencoret garis di tempat terakhir ia menjumlah. Dengan begitu ada pola yang terlihat. Sampai sekarang aku masih penasaran apa yang mereka lihat dari pola itu. Lalu peserta mengisi buku kuesioner dengan dua jawaban iya tidak. Tidak ada yang benar atau salah, katanya. Pilihlah yang kamu rasa sesuai. Masih ada lagi tesnya, namun aku lupa rincian ujian psikotes itu. intinya, pada hari itu aku dan Fauzi dan juga peserta lainnya sama – sama terkuras tenaga dan pikiran.

Dari 60 menjadi 36. Aku masih lolos. Begitu juga dengan Fauzi. Kami mulai akrab. Walau baru kenal. Momen menginap di masjid aku gunakan untuk mengenal para peserta lain yang asal muasalnya beragam. Dari Bandung, Cirebon, Majalengka, Madura, dan Blora.

Fase terakhir. Yang terberat. Interview. Oleh delapan orang yang menangani lingkup pendidikan di Bridgestone.

Malam – malam aku pergi ke tukang cukur. Aku pangkas ala marinir. Karena kata orang pabrik yang dulu juga lulusan LLK, rambut jadi penentu pula.

Sebelum dimulai interview 36 peserta diminta mengisi kuesioner tambahan mengenai biodata diri. Kolom hobi aku tulis menggambar dan sulap. Berfirasat akan diminta bermain sulap, aku mengantongi satu pak kartu remi.

Peserta menunggu giliran di lorong. Sambil basa – basi dengan peserta lain. Silih berganti peserta masuk keluar ruang interview memanggil peserta selanjutnya. Peserta yang telah diwawancara itu gantian diwawancara oleh peserta yang belum. Bagaimana? Ditanya apa saja? Terus terus...

Lapar dan deg – degan aku menunggu. Berkali – kali ke kamar mandi. Berpapasan dengan siswa – siswa LLK-BS yang bakal menjadi para tirani menindas murid baru. Pada awal – awal itu aku tidak menyangka sama sekali. Aku cenderung meremehkan orang. Ah. Betul – betul sifat yang jelek.

Giliranku ashar.

Delapan orang yang kemudian aku kenali sebagai lima instruktur dan tiga orang petinggi pabrik.

Pertanyaan dimulai dari data diri. Sang penanya sempat bingung oleh jawabanku mengenai latar belakang keluarga. Ayahku meninggal sewaktu aku kecil kemudian saat aku tinggal di jawa ibuku memiliki anak lagi.

Loh, katanya ayah kamu sudah meninggal kok ibu kamu punya anak lagi. Waktu ayah kamu meninggal kamu umur berapa? Terus adek kamu lahir pas kamu kelas berapa? Ini kok kesannya ada yang kamu tutup – tutupi. Ayo, terbuka saja. Nanti ketika kamu lolos, di sini kami berperan sebagai ayah kamu lho.

Lalu aku ceritakan yang sebenarnya. Ayahku meninggal. Aku dibawa ke jawa. Sewaktu di jawa ternyata ibuku kawin sirih. Dapatlah adik terakhir itu.

Oohh begitu.

Nah, motivasi kamu apa masuk ke sini?

Belajar untuk menambah wawasan dan skill guna bekerja di kemudian hari.

Di sini tertulis kamu hobi sulap. Coba praktekkan.

Pertanyaan yang aku tunggu – tunggu. Aku segera berdiri dan merogoh kartu remi. Lalu mempraktekkan apa yang kubisa. Trik kartu. Relawan memilih kartu secara acak. Lalu diperlihatkan ke orang, dimasukkan ke dek, lalu dikocok bergantian. Dengan mudah aku menemukan kartu yang beliau pilih. Ditambah dengan efek tentunya.

Sebenarnya aku telah memilihkan kartu itu untuk dipilih oleh beliau. Pak Nur namanya. Sejak awal aku sudah tahu kartu apa yang akan beliau dapat. Jadi mudah saja menciptakan ilusi seperti itu.

Terima kasih. Silakan keluar dan panggilkan....

Aku mengucapkan terima kasih lalu keluar dan memanggil...

Interview selesai jam sembilan malam. Pada malam itu, suasana lebih hangat dan ramah. Peserta yang menginap di masjid saling berbagi cerita.

Sejauh ini aku merasa sebagai anak paling beruntung. Aku lolos sampai tahap ini. Ini berarti aku lebih unggul daripada teman – temanku SMK. Terutama rivalku.

What a best feeling in the world.

At that moment. Yet..

Hari pengumuman tiba. Semua peserta berdebar – debar. Pengumuman terlambat. Sore sekali. Dari ratusan peserta itu telah terkerucutkan menjadi 28 anak. Aku lupa memberitahu, semua peserta adalah laki – laki. Keesokan hari, siang, diharapkan berkumpul untuk pengumuman lebih lanjut.

Aku dan Fauzi masih di dalam kerucut itu.

Semua fase dalam seleksi akbar ini telah terlewati. Syukurlah, dengan sukses, aku masih bertahan sampai tahap paling akhir. Aku tahu ini belumlah akhir. Ini bahkan belum menjadi awal sama sekali. Jalur panjang masa depan terbentang berliku.

Ada dua jurusan di LLK-BS. Satu Mekanik satunya Elektrik. Anak – anak dari jurusan Elektro, Audio Video, TKJ, RPL nantinya akan masuk Elektrik. Tiap jurusan 12 anak. Aku nantinya akan masuk Elektrik.

Satu per satu nama disebutkan. Penentuan siapa empat anak yang disisakan menjadi cadangan. Di sebuah ruangan bernama Newton. Aku duduk di baris belakang. Tertawa ketika lelucon dilontarkan. Panitia seleksi bernama Pak Aeri mencandai dan menjebak nama – nama yang disebut. Satu anak yang juga bernama Fauzi menjadi cadangan. Bapak tersebut bilang, ya kamu berdoa aja di rumah supaya salah satu teman kamu itu ada yang jatuh kek dari kereta, kawin kek.

Sampai ketika nama Fauzi temanku disebutkan menjadi cadangan. Aku agak kecewa sekaligus senang karena tahap eliminasi paling akhir ini aku masih pula bertahan. Namaku disebut. Aku ditantang untuk menampilkan lagi satu trik kartu di depan peserta. Pak Fatah menjadi relawan aksiku. Tidak kusadari momen penipuan itu disaksikan oleh murid LLK bakal eksekutor Ospek 24 anak tak berdosa ini. Satu tindakan yang walaupun pada saat itu menyenangkan dan membuat semuanya tertawa ternyata menjadi senjata pembunuh diriku sendiri.

Aku masuk di 24 anak itu. Aku besar kepala. Aku telepon bule’, pakdhe, kakak dan guruku juga. Telah kudapatkan salinan daftar peralatan yang harus dibawa saat kembali nanti. Kami diberi waktu dua minggu. Aku pulang ikut Fauzi. Minta ditunjukkan jalan ke Stasiun Jatinegara, uangku tersisa 50ribu. Aku mengucapkan belasungkawaku kepada Fauzi. Paman dan Bibinya menasehati dengan bijak temanku itu.

Mungkin ini bukan rejekimu. Namun, masih ada harapan. Toh, kamu masih cadangan. Berarti masih ada jalan. Paman yakin jalan kamu ada di tempat itu.

Aku percaya aku berhasil bukan karena kerikil yang aku lemparkan itu. Melainkan usaha dan doa. Dan mungkin saja.. Keberuntungan.

 
Bersambung....

Part berikutnya menceritakan tentang proses Inisiasi (bahasa halusnya Ospek. Supaya lebih enak didengar dan seolah berkesan Divergent)

Komentar

  1. Ukuran manusia bukanlah berapa banyak ia menderita dalam ujian, tapi bagaimana dia keluar pada akhir~

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA