POLLY WANTS A CRACKER
Polly wants a cracker
I think i should get off
her first
I think she wants some
water
To put out the blow
torch
It isn't me. We have some seed
Let me clip. Your dirty wings
Let me take a ride. Don't cut yourself
I want some help. To help myself
I've got some rope. You have been told
I promise you. I have been true
Let me take a ride. Don't cut yourself
I want some help. To help myself
Let me clip. Your dirty wings
Let me take a ride. Don't cut yourself
I want some help. To help myself
I've got some rope. You have been told
I promise you. I have been true
Let me take a ride. Don't cut yourself
I want some help. To help myself
Polly wants a cracker
Maybe she would like more food
She asks me to untie her
A chase would be nice for a few
Polly says her back hurts
She’s just as bored as me
She caught me off my guard
It amazes me the will of
instinct
--Nirvana
Begitulah lirik lagu Nirvana yang berjudul Polly. Menurut artikel
yang kubaca lagu itu berisi opini Kurt Cobain terhadap banyaknya kasus
pemerkosaan yang terjadi di dunia. Dia risau dan menulis lagu itu.
Ini cerita tentang anak kecil, tidak
lebih dari lima tahun. Sebut saja dia Polly. Jangan Bunga ataupun Melati. Terlalu
mainstream. Anak ini semenjak lahir mengalami gangguan motorik, terutama pada
kedua kakinya sehingga di usianya itu dia satu – satunya murid TK yang tak bisa
berjalan normal. Diadopsi oleh seorang Dokter dan diasuh oleh babysitter. Anaknya
lucu, aku suka bercakap – cakap dengan anak itu. Memang ya, Tuhan itu Maha
Adil. Setiap anak Manusia memiliki kelebihannya masing – masing. Di antara
saudara – saudara tirinya, Polly bicara cukup lancar dan jelas, gaya bicaranya
sudah seperti anak – anak di atas usianya. Kadang lebih pintar bahkan.
Dan juga ini cerita tentang bocah
laki – laki, kelas empat SD, mari panggil dia dengan nama Belang. Anak baru
pindahan. Pada awal masuk, si Belang ini dibilang mengidap ADD (attention
defisit disorder), maka sang wali kelas memberi perhatian dan perlakuan khusus
terhadap anak itu. Pada awalnya, si Belang bertingkah manis layaknya kucing. Namun
setelah beberapa lama, banyak laporan baik dari teman sekelasnya maupun guru –
guru bahwa si Belang mulai bertingkah. Laporan itu banyak, mengambil uang teman
secara diam – diam, mengganggu teman sedang shalat, bersepeda sesuka ngawur
hatinya, makan di jam pelajaran adalah beberapa contoh dari tingkah Belang.
Aku lupa mencatat tanggal kejadian itu. Awal
Maret kalau tidak salah. Kejadian ini baru kuketahui setelah mendengar banyak
bisik – bisik guru. Dan kejadian ini mengantarkan pada sebuah sejarah tentang
Belang yang telah lama ditutup – tutupi oleh sang bunda.
Pagi – pagi aku sedang berada di kantor guru, sarapan cemilan yang tersedia di
meja. Mendekati jam tujuh anak – anak SD ramai mengantar si Belang ke ruang guru.
Si Belang ngambil uang Polly bu guru.
Maka Belang diinterogasi oleh wali kelasnya di
hadapan guru – guru yang lain. Termasuk aku. Aku bukan guru.
Ada dua wali kelas si Belang. Yang pertama yang
membolehkan si Belang bertindak sesuka hatinya, yang selalu saja memaklumi dan
membaik – baiki si Belang. Yang kedua tegas, jika Belang salah akan dimarahi. Wali
kelas kedua ini lebih suka menjabarkan apa adanya tentang si Belang kepada sang
bunda namun seringkali tercegat oleh wali kelas pertama yang suka menyapu
kotoran dan menyimpannya di bawah karpet.
Kenapa kamu mengambil uang Polly? Kata sang
guru. Uang kamu tidak cukup? Bukannya uang jajan kamu lebih banyak?
Si Belang tidak menjawab. Wajahnya muram dan
kusut. Wajahnya sebal. Ia melirik ke wali kelas yang baik hati. Namun si
pembela yang ia harapkan malah balik ikut menyerang. Wali kelas yang baik hati
itu justru menghakiminya.
Si Belang menjadi terdakwa. Ia dihukum. Ia disuruh
menulis kalimat berulang bahwa dia tidak akan mengambil uang anak lain lagi.
Sebelum si Belang selesai hukumannya, aku
mengundurkan diri hendak berangkat ke kantor. Menuruni tangga, aku penasaran,
aku hampiri Polly. Sedang terduduk sendiri di kelas yang sepi. Banyak wali
murid di depan kelas namun tak ada yang peduli, mereka sibuk dengan gadget dan
anaknya.
Aku tanya Polly. Kamu uangnya habis diambil
Belang?
Iya.
Aku selalu merasa iba melihat keadaan Polly. Anak
perempuan kecil itu tak berdaya namun tak mengerti apa yang sebetulnya terjadi,
ia tetap riang gembira menjawab pertanyaanku.
Aku ingat. Si Belang pernah membuatnya menangis
kejer. Polly dicubit.
Berapa uang yang diambil Belang?
Dua ribu.
Uang jajan Polly berapa?
Dua ribu.
Ya ampun. Kata Belang dia cuma ngambil seribu. Wah.
Ketika aku lihat Polly berantakan sekali
seragamnya. Beberapa kancing terbuka dan roknya seperti habis tersingkap. Aku merasa
curiga. Aku tanya Polly, ini baju kamu kok kebuka kancingnya, emang sengaja?
Si Polly menjawab, telanjang, sambil tertawa
malu – malu. Aneh pikirku.
Ini siapa yang buka kancing baju kamu?
Belang.
Yang dibuka berapa kancing, atau semuanya?
Semuanya. Kata Polly.
Seketika aku merasakan gumpalan amarah meluncur
dari perut. Aku rapikan dulu baju Polly.
Oke Polly, jaga diri baik – baik ya, nanti kalau
Belang gangguin kamu lagi, kamu teriak yang sekencang – kencangnya. Teriakin dia
MALING! MALING! Bisa kan? Gimana coba?
Maling!
Aku kembali lagi ke atas, langkahku tergesa –
gesa karena aku telah menemukan bukti lain yang akan mengantarkan kepada
terbukanya aib Belang.
Aku buka pintu kantor yang sengaja ditutup. Aku lihat
Belang sedang duduk di sofa guru. Beuh. Enak banget nih bocah. Dihukum kok
dibolehin duduk di sofa guru.
Mataku menyorot tajam ke wajah si Belang. Aku berkata
pada guru – guru yang lain.
Belang tidak hanya mengambil uang Polly. Dia bukain
baju si Polly. Aku langsung turun lagi. Sempat aku mendengar guru – guru menyebut.
Astaghfirrullahaladziim.
Ya ampun.
Siang hari waktu jam istirahat aku kembali lagi
ke kantor guru SD menceritakan lebih detail kepada guru dan wali kelas kedua. Peristiwa
ini membuat wali kelas yang baik itu juga terdesak untuk menyampaikan hal ini
kepada sang bunda. Baiklah hari jumat besok sang bunda akan kami panggil dan
bicarakan hal ini.
Sore hari ketika aku pulang menjemput, kami
bertiga terlibat percakapan seru tentang kasus ini. Aku, guru, dan wali kelas
kedua.
Wali kelas kedua membeberkan banyak sekali
tingkah buruk si Belang. Termasuk yang membuatku tercengang. Pernah suatu hari,
wali kelas menemukan kertas soal Belang ada tulisan yang tak senonoh. Toket, Toge, dll.
Aku menyimpulkan, mungkin si Belang ini termakan
virus jahat yang beredar di internet. Bisa saja ia telah menonton video asusila
di internet atau dipertontonkan. Kelakuan Belang sudah di atas normal. Dan dilihat
dari segi umur, tak mungkin ini tak ada sejarahnya. Pasti ada penyebab kenapa
Belang bertindak begitu. Aku menyarankan agar segala macam tindakan tak wajar
Belang dicatat. Supaya nanti bisa disampaikan kepada sang bunda.
Maka tiba hari Jumat ketika semua aib yang
ditutupi oleh sang bunda terbuka. Wali kelas kedua yang bicara kepada sang
bunda, ditemani dengan pasif oleh wali kelas baik hati. Pembicaraan itu
berlangsung secara terbuka, sang bunda tak lagi ingin menutupi apa yang pernah
terjadi pada anaknya.
Begini kisahnya:
Belang memiliki adik perempuan bernama Anggrek
(nama samaran) mereka tinggal sekamar. Tidak apa – apa, mereka masih kecil. Belang
pernah memiliki tetangga, umur lima belasan tahun yang suka bermain dengan
kakak beradik itu.
Ternyata tetangga itu memiliki kelainan
psikologi. Tingkah lakunya bejad. Tetangga itu menelanjangi kakak beradik itu
di kamar Belang. Entah apa kelanjutan peristiwa itu, aku tak ingin
membeberkannya. Tetangga itu ketahuan.
Lalu keluarga Belang pindah. Dan Belang pun
dipindahkan sekolahnya. Efek tindakan asusila itu terhadap Belang sungguh
berdampak besar. Seperti halnya jika seorang lelaki melihat gambar bugil,
gambar itu akan terpatri di dalam otak selama ribuan tahun. Belang menjadi aneh.
Di sekolah barunya (sebelum dia sekolah di SD ini), banyak juga kejadian
serupa. Belang pernah menghisap kelamin adik kelasnya yang sesama laki – laki di
toilet sekolah. Sungguh memalukan, pihak sekolah mengeluarkan Belang. Dan sampailah
Belang ke SD ini.
Begitulah sang bunda bercerita. Itu yang aku
dengar dari wali kelas kedua. Namun aneh juga kurasa, sang bunda meski malu
atas aib itu, justru dia terkesan lega. Anaknya bukan gay. Ah. Sungguh aneh.
Nah, mengenai kisah pencurian. Belang juga suka
melakukan itu. Dan menurut sang guru, tindakannya sudah menyerupai kriminal
profesional. Dia beraksi dengan mengendap – endap, ketika ketahuan dia
gelagapan menyingkirkan barang bukti. Begitu pula dengan barang bukti tulisan
tak senonoh di kertas – kertas ujiannya. Belang sudah seperti seorang Psycho.
Akhirnya kasus ini anti klimaks. Tak ada
keputusan yang signifikan. Si Belang tetap bersekolah di SD itu. Sang bunda
akan lebih memperhatikan tingkah laku anaknya. Begitu saja.
Aku sejujurnya agak kecewa. Kasus ini tidak
berjalan seperti di film – film. Ada, sebuah film seri detektif yang mengusut
kasus – kasus asusila. Aku pun tak tahu kejelasan mengenai tetangga yang pernah
berbuat asusila kepada Belang dan adiknya. Apakah dia dibawa ke pusat
rehabilitasi atau dipenjara?
Sampai saat ini aku masih tetap sesekali
menemani Polly, membelikannya tisu ataupun makanan. Aku tak mau memberinya
uang. Nanti anak itu akan terbiasa meminta – minta. Tidak baik.
Yang aku dapatkan dari kasus ini adalah betapa
pentingnya pengawasan orang tua terhadap anaknya. Apalagi di jaman serba modern
ini. Informasi – informasi sensitif bisa didapat dari mana saja tanpa
terbendung. Gambar – gambar bugil dengan mudah muncul di laman peramban. Belum lagi
televisi, yang notabene saat ini sedang mengalami penurunan mutu. Setiap hari
anak – anak Indonesia disuguhi dengan tayangan hiburan tak mendidik tak habis –
habisnya.
Mari kita semua, anak – anak muda, para calon
orang tua, untuk menghindarkan anak – anak dari hal yang bisa membuat kita
mengelus dada.
Komentar
Posting Komentar