LIDAH LEGENDARIS
Kang
Ilat mendatangi rumah Nyi Kondang bukan untuk memuaskan batang kemaluannya,
sebaliknya ia ingin memuaskan Nyi Kondang. Kegiatannya menyelinap malam-malam
ke rumah Nyi Kondang harusnya adalah perbuatan terlarang. Nyi Kondang memang
tengah ambil libur dari pekerjaan hiburan di lokalisasi, tapi itu bukan berarti
Nyi Kondang mau menerima tamu. Kalau saja Nyi Kondang tidak mau mendengarkan
tawaran Kang Ilat, ia pasti sudah memanggil tukang gebuk lokalisasi untuk
menghabisi Kang Ilat yang tak diundang tapi datang ini. Tawaran Kang Ilat
menarik untuk diterima.
“Meski
kelaminku sudah tidak berfungsi, tapi aku telah menemukan cara menyalurkan
energi syahwat ke lidahku. Aku telah berlatih. Lidah memang tak bertulang, sama
halnya dengan pelir.”
“Pelir
dan lidah itu tak sama, Kang.”
“Itulah.
Nyi Kondang sudah terlampau banyak menerima yang sama. Percayalah, lidahku dapat
sekeras linggis, atau terong, sesuka Nyi saja. Aku dapat mengaturnya. Bila Nyi
Kondang menghendaki getaran yang niscaya bikin Nyi Kondang serasa dilanda gempa
surgawi, aku dapat menyajikannya.”
“Tawaranmu
lucu dan tak masuk akal. Mana bisa lidah menyamai khasiat pelir?”
“Dunia
kalau isinya hal-hal yang masuk akal, niscaya jadi membosankan Nyi. Hal-hal tak
masuk akal memang perlu untuk bikin suasana gembira. Lidahku akan membuat Nyi Kondang
gembira, percayalah. Nyi akan merasakan surga yang lain di bumi.”
“Perkataanmu
bisa diterima.” Nyi Kondang tahu mengenai Kang Ilat yang pelirnya sudah tidak
bisa berdiri lagi. Menurut rumor yang beredar, pelir Kang Ilat disentil jin
masjid, itu terjadi ketika Kang Ilat pipis di toilet masjid tapi tidak disiram.
“Untuk
bahan pembantu pertimbangan Nyi Kondang, aku telah siapkan uang sepuluh juta.
Nyi Kondang tak perlu melayaniku, biarlah satu malam ini aku buat Nyi Kondang
melayang menuju kahyangan. Lidahku sebagai kendaraan menuju ke sana.”
“Kata-katamu
manis sekali. Baiklah, akan kuturuti permintaanmu.”
Luar biasa.
Lidah Kang Ilat beraksi melebihi pelir yang paling perkasa pun. Entah sihir apa
yang Kang Ilat pelajari, lidahnya dapat memanjang dan mengeras selayaknya pelir
lelaki kena berahi. Untuk pertama kalinya, Nyi Kondang terpuaskan, sangat
terpuaskan, sangat amat terpuaskan dengan sesuatu yang bukan pelir. Malahan,
sejujurnya, pelir-pelir yang suka mendatanginya jarang sekali yang mampu
memberi kenikmatan seperti ini. Kenikmatan yang tak egois. Pelir-pelir yang
suka mendatanginya kebanyakan berperangai egois hanya mementingkan kenikmatan
sendiri.
“Kang
Ilat, kau hebat sekali. Lidahmu hebat sekali. Aku sangat terpuaskan. Untuk itu,
simpan saja uangmu. Ini adalah malam libur yang sangat menyenangkan. Maaf jika
aku tidak melayanimu, kepuasan malam ini hanya milikku.”
“Tidak
mengapa Nyi Kondang. Seperti yang sudah kukatakan di awal. Syahwat pelirku
sudah kusalurkan ke lidah. Jadi aku dapat menikmati dengan lidahku. Apalagi jika
melihat Nyi Kondang menggeliat keenakan, itu tambah membuatku jadi nikmat.”
“Terima
kasih. Ingat lho, ini jarang-jarang kuucapkan kepada pelanggan.”
“Aku
yang berterima kasih Nyi Kondang. Jadi, Nyi sudah percaya?”
Sebagai
jawabannya, Nyi Kondang memutuskan untuk berhenti melacur di lokalisasi. Bersama
Kang Ilat ia membina rumah tangga, yang hanya sebagai kedok, sesungguhnya Nyi
Kondang melihat peluang lain. Bersama Kang Ilat ia membuka praktek baru
bertajuk Lidah Legendaris di rumah yang dibelinya. Kang Ilat menerima ide itu
dengan senang hati. Ia ingin membuktikan lidah pun dapat memuaskan lebih
daripada pelir yang paling perkasa pun.
Rumah
Nyi Kondang ramai didatangi perempuan-perempuan kesepian yang ditinggal suami
bertugas atau pun melaut. Pundi-pundi uang semakin membuncit. Lidah Kang Ilat
semakin terlatih dan memiliki jurus-jurus baru.
Sampai ada
ketukan di suatu pagi.
Pak RT
datang bawa polisi, mereka diseret dari kamar mandi. Pasangan itu ditangkap
karena menimbulkan keresahan desa. Mereka dinyatakan menista tata krama desa
dengan membuat praktek zina di rumah.
Di penjara, Kang Ilat justru dipaksa membuktikan
kelegendarisan lidahnya itu.
Komentar
Posting Komentar