STORM OF WINGS
-oOo-

Terbang itu merasa bebas. Tak heran,
kenapa banyak orang berandai-andai bisa terbang. Saat kau dikejar teman yang
nakal atau penjahat, kabur saja dengan terbang. Jika bisa terbang, kau tak
perlu lagi tangga. Cukup bawa dirimu ke tempat tinggi itu lalu ambil yang kau
mau. Memetik kelapa misalnya.
Beginilah, kisah hidup seorang gadis anomali.
Sebut saja dia... Fle.
Tempat tinggalnya merupakan kawasan
kumuh, sebuah kampung yang mepet sekali dengan perkotaan. Ketimpangan status
begitu kentara. Fle dan ayahnya, masuk dalam status orang rendahan. Orang
miskin!
Fle lahir cacat. Punggungnya bongkok
dan terdapat gumpalan kulit di situ. Fle kesusahan beraktifitas. Ia selalu
dibantu ayahnya. Ayah Fle bekerja sebagai pemulung. Kadang, ia membawa Fle ikut
serta. Sewaktu masih kecil. Fle ditaruh di keranjang gendong ayahnya. Lalu
ketika ia sudah lebih besar, ayahnya menabung untuk membeli gerobak dorong. Fle
ikut serta. Ia senang memungut barang bekas. Plastik, botol, gelas, kardus,
koran, apa saja.
Ibu Fle, meninggal sewaktu
melahir-kannya, keganjilan bentuk tubuh Fle menyebabkan ibunya meregang nyawa.
Seperti biasa. Lahir sebagai orang
cacat membawa cemoohan dari orang-orang. Fle dan ayahnya sering dihardik orang
kaya. Membuat Fle menjadi sedih dan merasa ia hanya membebani ayahnya saja.
Jadi, ia tidak ikut lagi ayahnya memulung.
Ia diam di rumah. Menghitung barang
pulungan ayahnya. Menyortirnya. Menimbang. Ditaruh di karung terpisah. Supaya
nanti ayahnya lebih mudah membawa ke penadah.
Rumahnya terbuat dari seng dan papan
triplek bekas yang sudah lapuk. Itu pun dari hasil memulung di tempat bongkaran
rumah. Itu pun diam-diam mengambilnya. Sewaktu mandornya lagi lengah.
Pengalaman yang mendebarkan bagi Fle.
Meskipun kesulitan bergerak karena pung-gungnya yang bongkok, Fle suka membantu
ayahnya.
Tapi suatu hari ketahuan. Ayahnya
dipukuli. Fle dihardik, disiram dengan air cucian piring, dilempari sampah.
“Dasar cacat! Jorok! Pergi dari sini! Pencuri! Bongkok!”
Fle menangis tersedu-sedu. Tiga hari
ayahnya tidak berangkat memulung karena memar yang dialami.
“Ayah, Fle tidak ikut ayah memulung
lagi ya. Kasihan ayah nanti terhalang pekerjaannya karena harus mengurus Fle
terus. Lagipula orang-orang tidak suka dengan Fle karena Fle buruk rupa dan
bongkok.”
“Terus Fle mau ngapain di
rumah?”
“Apa saja. Menyiapkan makanan
buat ayah.”
“Tapi makanan apa? Kita tidak
punya apa-apa untuk dimasak.”
“Jika Fle tidak ikut ayah, ayah
pasti bisa memulung lebih banyak. Karena gerobaknya jadi lega karena tidak ada
Fle.”
“Begitu ya. Baiklah, Fle. Jaga
diri baik-baik ya.”
Minggu-minggu akhir ini, barang
pulungan ayahnya sedikit. Jadi Fle punya waktu menganggur lebih banyak. Ia
mengintip keluar, setiap pagi dan siang. Melihat anak-anak pulang dan berangkat
sekolah. Dalam hati Fle ingin ikut sekolah, Fle mau bisa membaca, tapi apadaya,
ayahnya tak sanggup membiayai. Untuk makan saja, tempe sama sepuluk nasi itu
sudah anugerah.
Lagipula Fle kan bongkok. Pasti
dia jadi bahan cemoohan teman-temannya kelak. Pasti akan jadi neraka baginya.
Surganya hanya jika bersama ayahnya.
Fle duduk. Mengamati
karung-karung hasil pulungan ayahnya. Entah kenapa, pada hari-hari tertentu,
banyak burung dari aneka ras hinggap di sekitar rumahnya. Berkicau. Menghibur
Fle.
Awalnya Fle kira burung itu
hanya kebetulan saja lewat dan hinggap. Tapi ketika ia menyadari hari apa
burung-burung itu hinggap, ia menyadari sebuah pola. Setiap hari Senin dan
Kamis! Dan selalu ada helai bulu yang tertinggal. Di hari Senin selalu saja
warna putih, dan Kamis selalu saja bulu keabuan. Fle menyimpannya. Sembari
berterima kasih kepada burung-burung karena telah menemani hari-harinya.
Ayah Fle menemukan bulu-bulu
itu. “Ini bulu burung dari mana Fle?”
“Setiap hari Senin dan Kamis
selalu ada burung yang hinggap di atap rumah, yah.”
“Oh. Ayah punya ide.”
Ayah Fle membuat kemoceng.
Dijualnya di tiap perempatan. Cukuplah untuk uang tambahan makan sehari-hari.
Dan bulu-bulu burung yang tertinggal pun semakin banyak.
“Banyak sekali burung yang
hinggap di rumah kita, yah.”
“Coba suatu waktu kamu tangkap
burung itu Fle. Siapa tahu laku dijual.”
Tapi Fle tidak menuruti. Fle
tidak tega. Burung itu habitatnya ya alam bebas. Terbang ke manapun ia mau.
Jangan dikurung dalam sangkar hanya untuk sekedar hiasan rumah. “Fle selalu
gagal menangkapnya yah.”
“Ya sudah. Tidak apa-apa.”
Padahal sesungguhnya, ketika
Fle mencoba meraih burung-burung itu. Mereka semua langsung hinggap di tangan
dan tubuh Fle. Fle senang. Terhibur karenanya. Burungnya beraneka ragam.
Sampai satu keajaiban terjadi.
Jarang sekali satu burung ukurannya cukup besar datang mengunjungi Fle. Burung
itu seperti elang, namun bulunya putih bersih seperti awan. Sendirian. Ia
mencengkeram kaus Fle. Mematuk punggung Fle yang bongkok. “Aw. Apa yang kau
lakukan wahai burung putih?”
Burung itu tetap mematuknya.
“Aw. Cukup burung putih. Sakit.”
Si burung mencengkeram kaus Fle
dengan kuat. Lalu mengepakkan sayapnya. “ya tuhan!” Fle terkejut mendapati
tubuhnya melayang dari tanah. Sayap burung elang putih mengepak-ngepak. Lalu ia
melepaskan cengkeramannya. Meninggalkan Fle yang masih melayang di udara. Dan
tak tahu bagaimana mendarat.
“Lho, mau ke mana burung elang
putih? Ajari aku mendarat!”
Si elang putih telah terbang
jauh.
Fle panik. Ia tak bisa turun.
Ia sudah melayang sampai atap seng rumah. Ayahnya pulang lebih awal. “Fle... di
mana kamu nak? Ayah bawa ayam goreng.”
“Ayah! Fle di sini. Di atas
sini.”
“Astaganagabonar! Kok kamu bisa
melayang begitu?” muka ayahnya memucat pasi.
“Tolong turunkan aku ayah. Fle
tidak tahu caranya turun.”
Si ayah segera mencari tongkat
bambu. “Pegangan yang kuat Fle. Akan ayah tarik turun kamu.”
Berat sekali ayahnya menarik
Fle turun. Fle langsung memeluk ayahnya. “Terima kasih ayah.”
“Iya Fle. Kamu kenapa bisa
melayang begitu?”
Fle menceritakan kejadiannya.
Ayahnya mengernyit tak mengerti. “Kok bisa ya? Tuhan memang maha kuasa. Atas
ijinnya kau bisa begitu.” Itulah penjelasan yang paling masuk akal baginya.
“Loh, Fle. Punggung kamu kok agak lurusan?”
“Ah yang betul yah?”
“Iya.” Ayah Fle memeriksa
punggung putrinya. “Sungguh keajaiban!” langsung ayahnya bersujud ke barat.
Fle meniru.
Apakah karena elang putih yang mematuk punggungku itu ya? Fle bertanya-tanya.
Jadilah ia menunggu kehadiran
si burung elang putih. Fle menghitung waktu. Burung itu datang tiga bulan
sekali. Mematuki punggung-nya sampai lurus.
“Aku normal yah!” Fle
kegirangan.
Ayahnya menangis haru. “Terima
kasih ya Tuhan.”
“Sekarang Fle bisa bantu ayah
kerja lagi.” Fle melompat-lompat senang. Tanpa ia sadari tubuhnya sampai
melayang.
“Coba kau pelajari Fle. Kuasai
anugerah terbangmu.”
“Kucoba ayah.” Fle memejamkan
mata. Melemaskan otot-ototnya. Membayangkan tubuhnya dibawa turun. Kemudian ia
menjejak tanah lagi. “yeay... ayah aku berhasil.” Ayahnya memeluk Fle.
“Jangan sampai orang lain tahu,
Fle.”
“Loh, kenapa ayah?”
“Karena kamu adalah malaikat
ayah. Jangan sampai orang lain tahu kemampuan terbangmu lalu mengambilmu. Ayah
tidak mau kehilangan malaikat kecil ayah.”
“Oh.” Fle ganti memeluk
ayahnya. “Fle tidak akan pergi dari ayah.”
Fle ikut memulung. Di setiap
langkahnya, ia melihat ada bayangan burung di depannya. Fle mendongak ke atas.
Burung elang putih terbang di atas mengikutinya.
“Ayah, lihat itu.” Fle
memberitau ayahnya.
“Itukah burung yang membuat
punggungmu lurus Fle?”
Fle mengangguk.
“Burung itu adalah utusan
Tuhan. Burung itu malaikat.”
Fle takjub. Merasakan kekuasaan
ilahi membasuhnya. Rasa tentram memenuhi batin. Sayap merentang elang putih,
bayangannya menutupi Fle. Membuatnya terhindar dari terik matahari.
“Ayah, sebentar lagi Fle akan
ulang tahun ke enam belas.” Sembari berjalan, Fle merasakan gatal di sekitar
punggungnya.
“Terus?”
“Bolehkah Fle minta dibelikan
baju baru yah?”
Ayah Fle berhenti. Menghadap
Fle, dan mengusap kepalanya. “Akan ayah usahakan ya Fle. Semoga dagangan
kemoceng laku. Nanti ayah belikan kamu baju baru, bukan bekas.”
“Terima kasih ayah.”
Yang terjadi di hari ulang
tahunnya sungguh mengejutkan.
“Ayaaaaah!”
Ayahnya gelagapan berlari ke
kamar Fle. “Ada apa Fle?”
Fle menutupi badannya dengan
kain karung yang dijadikan selimut.
“Ada apa Fle? Kamu jadi bongkok
lagi?” Ayahnya melihat gundukan besar di punggung Fle.
“Tidak ayah. Lihat.” Fle
melepaskan selimut karungnya. Ayahnya tersentak mundur, menabrak drum yang
dijadikan meja, gelas-gelas berjatuhan.
Dari punggung Fle membentang
sepasang sayap berbulukan putih.
“Ya Tuhan...” Ayahnya menutup
mulut, airmata menitik. “Kamu malaikat, Fle.”
Fle memutar-mutar tubuh,
melihat sepasang sayap yang tiba-tiba saja muncul sewaktu ia membuka mata. Ia
bentangkan dan katupkan. Lalu mencoba kepakkan. Hentakan angin dari kepakan
sayapnya menghempaskan barang-barang.
“Ya Tuhan...”
Fle melayang.
“Fle... jangan keluar.”
Maka pada malam larutlah, Fle
dan ayahnya keluar. Menuju gedung tua yang telah ditinggalkan. Sepi tak ada
orang.
Fle tanpa takut ikut. Di atap
gedung itu ia mengepakkan sayap dan terbang. Ayahnya jatuh berlutut dan
merentangkan tangan ke langit, kepada Yang Maha Kuasa ia memanjatkan puja puja.
Ternyata anaknya serupa malaikat.
Sang ayah menggigil. Giginya
bergemeletuk. Bersin-bersin. Fle yang membum-bung tinggi langsung menukik
turun. “Kenapa ayah?”
“Sepertinya ayah terserang
demam. Ayo pulang. Brrrrr.” Ayahnya merangkul badan sendiri. Fle menutupi
sayapnya yang terlipat dengan sarung.
“Ya ampun. Ayah panas sekali.”
Fle membaringkan ayahnya. Menyuapi air minum. Fle membuatkan teh panas.
“Brrrrrr.” Ayah Fle meringkuk.
Fle merasa kasihan. Ayahnya telah bekerja keras untuk membelikan baju baru, eh
ternyata ada sepasang sayap tiba-tiba muncul, merobek baju tersebut.
Fle mendapat ide. Bentangan
sayapnya cukup lebar. Maka ia tidur di samping ayahnya sembari merentangkan
sebelah sayapnya untuk menyelimuti sang ayah.
“Cepat sembuh ayah.”
Pagi-pagi ayahnya sudah bugar
kembali.
“Ayah sudah sehat?” tanya Fle.
“Iya Fle. Sungguh luar biasa.
Ini kondisi paling prima ayah. Apa yang kau lakukan Fle?”
“Semalam Fle menyelimuti ayah
dengan sayap sebelah Fle.”
“Oh ya?” ayahnya
menepuk-nepukkan pundak. “Eh, ada sayapmu yang lepas satu.” Sayap itu putih
cemerlang. “Akan ayah simpan.”
“Tapi jangan jadikan kemoceng
ya ayah.”
Ayah tertawa. “Tentu tidak.
Kamu beda. Kamu istimewa. Kamu malaikat kecilku Fle.”
Fle tersenyum.
Selagi ayahnya pergi memulung
dan menjual kemoceng, Fle masih takjub dengan keberadaan sepasang sayap di
punggung. Ia eksplorasi sayapnya. Agak siang, burung elang putih datang
menengok.
Ia hinggap di rangka sepeda
butut yang karatan. Matanya terpaku pada Fle. Fle tahu... tatapan mata itu.
Berbicara..
“Fle.. sayap baruku.”
Sambutnya.
“Eh?” Fle terkesiap. Elang itu
tidak membuka tutup paruhnya. Tapi pesannya sampai. “Siapa engkau wahai burung
elang putih?”
“Aku adalah penjaga orang
sepertimu.”
“Orang sepertiku? Maksudnya ada
lagi orang dengan sayap sepertiku?”
“Tidak. Hanya kau satu-satunya,
untuk saat ini. Yang kumaksud adalah, manusia yang diberkahi keganjilan yang
memukau. Mereka-mereka yang padanya dititipkan setitik cuil kekuatan.”
Fle menggeleng tak mengerti.
“Jadi aku ini apa?”
“Orang-orang menyebut kalian
dengan Anomali. Aku adalah penjaga kalian. Pembim-bing kalian.”
“Menjaga dan membimbing untuk?”
“Menjaga keselarasan dunia.
Anomali bermunculan, dan apabila mereka tak sanggup mengendalikannya, maka
badailah yang menyertai. Di belahan dunia lain, telah terjadi badai bencana
akibat anomali. Karena ketidakmampuan mereka mengendalikan.”
“Berarti engkau gagal
membimbing mereka dong?”
“Bukan begitu. Aku adalah kaum
putih. Maka pula ada yang dinamai kaum hitam. Yang mereka kehendaki hanyalah
kehancuran dunia ini. Aku terutus untuk mencegahnya. Pertama kali ini aku
berhasil, menemukanmu. Aku tak terhalangi oleh kaum hitam.”
“Oh begitu. Jadi bagaimana?
Bagaimana aku harus mengendalikan kekuatan ini, sayap ini?”
“Kau harus menyalurkannya. Kau
harus menjaga emosimu stabil. Aku pun belum tahu pasti apa sesungguhnya
anugerah yang Tuhan beri padamu.”
“Yah, katanya kau pembimbing,
masa tidak tahu kekuatanku.”
“Yang kutahu pasti adalah
engkau bisa terbang, Fle. Yang lain, itu tugasmu untuk mencari tahu.”
“Oke, cukup adil.”
“Jadi, katakan padaku, hal
ganjil apa yang telah kau lakukan belakangan ini?”
“Hmm, terlepas dari aku bisa
terbang dan tiba-tiba muncul sepasang sayap di punggungku...” Fle berpikir. “Oh
ya! Begini, ayahku semalam sakit, lalu aku selimuti dia dengan sayapku, karena
kupikir aku bisa berlaku seperti induk ayam yang melindungi anaknya di balik
sayap. Eh, pagi-pagi Ayahku jadi segar bugar, ia mengaku dalam kondisi paling
primanya. Lalu, satu helai bulu sayapku ada yang lepas dan disimpan olehnya.”
Elang putih itu mengangguk.
“Berarti engkau memiliki kemampuan menyembuh dan mengayomi. Gunakan itu. Tapi
ingat, hanya gunakan demi tujuan yang baik. Sekalinya kau melenceng, maka badai
akan datang. Tentukan peranmu sekarang juga.” Lalu elang itu terbang pergi.
Repot sekali mau pakai kaos
dengan sayap yang lebar seperti ini di punggung. Akhirnya Fle memutuskan untuk
menutupi dadanya dengan sarung yang dikalungkan dari leher.
Sisa hari Fle mempertimbangkan
bimbingan si elang putih. “Peranku? Peran apa? Apa pun itu aku akan selalu
memihak ke kebajikan.” Begitulah yang ayah Fle selalu ajarkan padanya. Berbuat baik
dan tidak mendendam.
Ayah Fle pulang mendekati malam
tergelar. Ia membawa pulang banyak sekali pulungan. Fle sudah menyiapkan
secangkir teh panas untuk ayahnya.
Dan ia menyampaikan niatnya. “Ayah.
Fle ingin berbuat baik. Berbagi anugerah kepada mereka yang kurang beruntung.”
“Apa yang hendak kamu bagi Fle?”
“Fle bisa menyembuhkan orang
yah.”
“Ah yang betul? Bagaimana bisa?”
“Ayah sembuh karena sayapku. Ayah
semalam menggigil luar biasa. Tapi pagi-paginya ayah segar bugar seperti tak
pernah sakit sebelumnya.”
“Hmmm...” Ayahnya berpikir.
“Apakah ayah punya teman pemulung
yang sekiranya sedang sakit?”
“Tapi bagaimana kalau tidak
berhasil, Fle?”
“Maka memang Fle tidak
dianugerahi itu. Makanya Fle ingin membuktikan ini. Pertama dengan teman
pemulung ayah itu. Kalau ada yang sedang sakit lho.”
“Hmm.. sebetulnya ada. Coba besok
ayah ajak dia kemari.”
“Baik ayah. Ayah memang ayah
yang baik.”
“Kamu juga anak yang baik dan
berhati mulia.”
Malamnya Fle berdoa dan
berterima kasih kepada yang telah menganugerahkan sayap malaikat ini.
Ayahnya datang jam tiga sore
bersama seorang kakek yang berjalan ringkih. Batuknya tak berhenti.
“Bapak akan sembuh ya. Diobati anak
saya. Tapi bapak harus memejamkan mata.”
“I.. uhuk.. ya.. uhuk.. uhuk..”
si kakek menjawab susah payah. Ayah Fle menuntun kakek itu sambil memastikan
matanya tertutup rapat.
“Duduk di sini ya bapak.”
“I... uhuk... i .. uhuk... ya..
uhuk.”
Fle mendatangi kakek itu dari
belakang. Pertama ia menyentuh tengkuk kakek itu, memijat sekadarnya. Lalu sayapnya
memben-tang, melingkupi ia dan si kakek. Fle berkonsentrasi. Menyalurkan welas
asih dan pengharapan akan kesembuhan si kakek. Cahaya putih terang berpijar
dari setiap helai bulu sayapnya. Menjalarkan kehangatan yang merasuk ke dalam
tubuh si kakek. Saat cahaya itu meredup, Fle tahu proses penyembuhan itu usai. Ia
segera melipat sayapnya dan menutupinya dengan selimut karung, dan berpura-pura
bongkok lagi. Seperti orang-orang sekitar sini mengenalnya sejak lahir.
“Jangan bilang siapa-siapa ya
kek, habis berobat di sini.” Fle berpesan.
“I.. iya. Lho... suaraku
lancar. Aku sembuh!” si kakek berdiri. Membuka mata. Ayah Fle langsung menutupi
mata si kakek dengan tangan sebelum ia melihat Fle.
“Ayo pak kita keluar, saya
antar pulang.”
“Oh, tidak usah. Saya merasa
segar bugar. Bisa pulang sendiri.”
Dan begitulah mulanya...
Sudah diduga...
Fle mempersiapkan diri atas
ini.
Satu pekan setelah si kakek
sembuh itu, mendadak rumah Fle diserbu banyak orang. Banyak yang datang minta
disembuhkan. Ayah Fle gelagapan, ia jadi tidak berangkat memulung lagi. Ia tutupi
lubang-lubang dan jendela dengan terpal. Supaya tidak ada anak usil yang
mengintip melihat sayap Fle. Banyak sekali orang mengantre sejak subuh. Ayah
Fle mengaturnya. Ia menutupi mata pasien dengan ikatan kain.
Awalnya mudah bagi Fle
menyembuhkan gempuran orang sakit ini. Tapi ternyata energinya terkuras juga.
Ayah Fle terpaksa menghentikan ini untuk beberapa jam. Orang-orang yang sudah
mengantre rela menunggu.
Fle istirahat. “Aku lelah
sekali yah.”
“Ya jangan dipaksakan Fle.”
“Orang-orang ada yang memberi
uang?”
Ayahnya ragu menjawab. “Iya
Fle. Beberapa ada yang memberi.”
“Kembalikan yah. Fle tidak mau
uang itu.”
“Tapi kita juga butuh Fle.”
“Ayah, Fle mau menyembuhkan
orang-orang yang sakit tanpa imbalan.”
Ayah Fle menggigit bibir. “Tapi
ayah jadi tidak bekerja Fle gara-gara harus mengatur semuanya. Daritadi pagi
kita juga belum makan. Kamu lelah dan lapar kan pastinya? Uangnya kita buat
beli makan ya?”
“Terserah ayah.”
Ayah Fle cukup kesulitan mau
meninggalkan Fle sendirian di rumah. Maka ia meminta bantuan orang yang telah
menunggu itu, yang sehat. Untuk membelikan makanan. Ayah Fle berjanji tiga jam
lagi antrean dibuka kembali.
Setelah pulih, Fle memulai
lagi. Beragam penyakit ia tangani. Yang cukup menguras tenaga adalah mereka
yang mengalami patah tulang menahun dan belum mendapat penanganan medis. Fle
menanganinya, mengembalikan tulang yang patah itu menyambung kembali.
Fle tahu ayahnya tidak mematuhi
pintanya. Uang pemberian para pasien ia simpan. Terbukti bahwa berminggu-minggu
setelahnya Ayah memperbaiki rumah.
“Supaya kamu mengobatinya lebih
nyaman.”
Fle menggelengkan kepala. Tapi
ia pun tak kuasa menolak. Mungkin ayah benar, kita memang butuh.
Mengobati orang semenjak fajar
sampai senja menjelang dan lanjut lagi sampai tengah malam, menjadi rutinitas
baru Fle. Tak sadar bulu sayapnya mulai menipis dan menjadi kelabu.
“Ayah, sepertinya kita hentikan
ini. Aku sudah sangat lelah, yah.”
“Ya... Fle. Orang masih banyak
yang mengantre. Nanti mereka marah-marah dan kesal.”
“Baiklah, sampai selesai. Setelah
itu Fle mau ambil libur.”
Fle menyadari bulu sayapnya
selalu ada yang rontok seusai menyembuhkan orang. Sayapnya terasa ringan
sekali, tak berbobot. Fle khawatir dia tak bisa lagi terbang. Maka malam-malam
ia naik ke lantai dua—kini rumahnya sudah bagus karena banyak sekali yang
membayar pengobatan ini sukarela, sukarelanya ternyata banyak juga—ia mengembangkan
sayapnya di bawah sinar bulan purnama.
Fle terbang. Ia masih bisa. Tapi
tak perlu mengepakkan sayap ia bisa terbang. Fle melesat tinggi. Menembus awan
malam. Melihat bulan lebih dekat. Begitu indahnya...
“Fle.”
Fle terkejut. Burung elang
putih!
“Elang putih. Katanya kau
penjaga, mengapa kau tidak pernah datang lagi padaku?”
“Kaum hitam telah sampai
padamu.”
Fle terbelalak. “Kok bisa?”
“Kau telah melenceng dari garis
putih, Fle. Kau sudah tak murni lagi.”
“Loh loh... kok bisa?”
“Niat muliamu telah tercoreng oleh
godaan uang.”
“Itu kan ayahku. Bukan aku. Aku
sebetulnya menolak pemberian orang-orang itu.”
“Sama saja. Karena kau juga
menikmatinya.” Si elang lalu pergi.
“Hei! Jangan pergi begitu saja!
Katanya kau pembimbingku!” Fle hendak mengejar tapi tampaknya si elang lebih
cepat. Dirasa Fle telah bisa mendekatinya, burung elang putih itu lenyap. Seperti
berpindah tempat dalam sekejap.
Kepergian si elang putih
seperti memberi firasat buruk buat Fle.
Meskipun sudah diumumkan oleh
ayah bahwa untuk beberapa hari ini Fle tidak buka praktek, tetap saja ada orang
yang telah mengantre sejak jam tiga pagi.
“Fle.. bagaimana? Mau ditangani
atau tidak?”
“Entahlah yah.”
“Ayah tidak mau mengecewakan
orang.”
“Fle pun tidak mau. Baiklah yah,
silakan suruh masuk orangnya.”
Firasat itu benar adanya. Yang datang
bukanlah orang hendak berobat. Ayah Fle terpental jatuh karena pintu yang
didorong paksa. Sejumlah orang masuk. Berbadan besar.
“Ayah!” ayah Fle ditendang
mukanya oleh mereka karena berusaha menghalangi bos orang-orang itu.
“Jadi ini ya? Yang sudah
merebut lapak kita.”
“Tamax... jangan sakiti
putriku.” Ayah Fle memohon.
Bruakk... ayah Fle ditendang
lagi.
“Kau bakal mendapat
ganjarannya, karena telah merebut lapak kami. Lapak pengobatan alternatif. Karena
kalian aku jadi jatuh miskin lagi.” Kata si Tamax geram.
“Hentikan! Jangan lukai ayahku
lagi!” terpaksa Fle membentangkan sayapnya. Berusaha mengancam orang-orang ini.
Orang-orang berbadan besar itu
sedikit melangkah mundur melihat sayap Fle menyala terang. Fle sudah dalam
posisi siap menyerang kapan pun. Fle menyasar si bos Tamax lebih dahulu.
Shazaaashhh!!! Kepakan sayap
Fle menampar muka Tamax.
“Auuuwww!!! Hajar dia! Tanpa ampun!”
seru Tamax geram.
Fle terbang kalang kabut di
sekitar rumah, menyerang pria-pria berbadan besar. Bruk! Bruk! Bruk! Satu tiga
mereka terjatuhkan. “Ayah! Aku harus menyelamatkan ayah.”
Fle menukik tajam, mencoba
meraih ayahnya, merangkulnya lalu terbang lagi. Tapi sial!
Fle terjerat perangkap.
Lalu hitam....
Hening...
Saat membuka mata, Fle tergagap
panik. Semua bulu-bulu sayapnya telah tercerabut paksa. Ia menjerit. Menangis.
Tamax pasti yang mencabutinya.
Fle mencoba terbang tapi
tersendat oleh rantai yang membelenggu tangan dan kakinya. “Tidak.. tidak...
ayah! Di mana ayah?” tak ada suara yang menyahut. Fle melihat sekeliling, ia
berada di sebuah gudang tua. “Oh tidak.. oh tidak. Harus bagaimana aku?”
Fle menjadi tak berdaya. Kehilangan
tenaga dan sayapnya. Si bajingan Tamax pemilik pengobatan alternatif itu pasti
telah mencerabuti bulu-bulunya agar bisa menyembuhkan orang sakit.
Selama berhari-hari di gudang
tak ada orang yang datang. Fle terduduk lemas, layu, lunglai. Tak berdaya,
putus asa. Ia gagal.
Samar-samar ia mendengar suara
di luar.
Ramai sekali.
“Kembalikan uang kami. Kamu penipu!
Kamu bohon! Putraku tidak sembuh. Malah jadi parah sakitnya!” suara itu
terdengar jauh sekali.
“Ah, pastinya!” kata Fle pada
diri sendiri. “Bulu sayap penyembuh itu harus diserahkan dengan sukarela
olehku, apabila dengan paksaan, maka celakalah yang didapat.” Fle tertawa puas.
“Sekarang. Bagaimana aku bisa kabur dari tempat ini?”
Sehelai bulu sayap terjatuh,
menggeletak di kaki Fle. Satu helai.. menyala terang. Suara gemerisik, besi dibongkar,
dan memekakkan telinga, Fle mendongak dan mendapati atap gudang itu terbongkar
paksa.
Yang ia lihat sungguh
mengejutkannya.
Kira-kira ada ratusan orang
sedang melayang terbang. Saling mengepakkan sayap. Sayap-sayap putih. “Siapa
kalian?”
“Kami adalah imbalan atas jasa
baikmu. Kau telah menyembuhkan kami semua dan melaluimu kami jadi punya sayap
sepertimu. Kami semua memiliki kesadaran akan kebajikan yang sama denganmu. Maka
ketika kau sedang kesulitan, kami merasakannya. Dan kami datang menolongmu. Membebaskanmu.”
Jawaban dari mereka terdengar serentak. Membahana.
Mereka turun. Satu orang, Fle
ingat. Si kakek! Terlihat perkasa lagi. Lalu dari baliknya, muncul ayah.
“Ayah!”
“Fle, ayah terbangunkan, dan
ayah punya sayap juga.” Ayah Fle mengatakannya dengan bangga.
Sekali tebasan sayap mereka,
rantai pembelenggu tangan dan kaki Fle putus.
“Mari Fle, kita beri pelajaran
mereka, sebelum kita naik ke langit dan mencegah badai bintang.”
Si Tamax dan anak buahnya kalang
kabut menghadapi ratusan orang terbang bersayap. Menerjang mereka dan melempar
mereka ke sungai. Sayap-sayap putih kemudian menuju langit.
Komentar
Posting Komentar