STORM OF WINGS

-oOo-

Thank God men cannot fly, and lay waste the sky as well as the earth.” 
 
Henry David Thoreau

Pernahkah engkau melihat orang terbang? Ini sungguhan terbang. Seperti burung. Seolah kau punya sayap di punggung, mengepak, membawamu naik tinggi ke angkasa. Atau kau pernah mimpi terbang? Bagaimana rasanya? Sangat menyenangkan bukan?
Terbang itu merasa bebas. Tak heran, kenapa banyak orang berandai-andai bisa terbang. Saat kau dikejar teman yang nakal atau penjahat, kabur saja dengan terbang. Jika bisa terbang, kau tak perlu lagi tangga. Cukup bawa dirimu ke tempat tinggi itu lalu ambil yang kau mau. Memetik kelapa misalnya.
Beginilah, kisah hidup seorang gadis anomali. Sebut saja dia... Fle.
Tempat tinggalnya merupakan kawasan kumuh, sebuah kampung yang mepet sekali dengan perkotaan. Ketimpangan status begitu kentara. Fle dan ayahnya, masuk dalam status orang rendahan. Orang miskin!
Fle lahir cacat. Punggungnya bongkok dan terdapat gumpalan kulit di situ. Fle kesusahan beraktifitas. Ia selalu dibantu ayahnya. Ayah Fle bekerja sebagai pemulung. Kadang, ia membawa Fle ikut serta. Sewaktu masih kecil. Fle ditaruh di keranjang gendong ayahnya. Lalu ketika ia sudah lebih besar, ayahnya menabung untuk membeli gerobak dorong. Fle ikut serta. Ia senang memungut barang bekas. Plastik, botol, gelas, kardus, koran, apa saja.
Ibu Fle, meninggal sewaktu melahir-kannya, keganjilan bentuk tubuh Fle menyebabkan ibunya meregang nyawa.
Seperti biasa. Lahir sebagai orang cacat membawa cemoohan dari orang-orang. Fle dan ayahnya sering dihardik orang kaya. Membuat Fle menjadi sedih dan merasa ia hanya membebani ayahnya saja. Jadi, ia tidak ikut lagi ayahnya memulung.
Ia diam di rumah. Menghitung barang pulungan ayahnya. Menyortirnya. Menimbang. Ditaruh di karung terpisah. Supaya nanti ayahnya lebih mudah membawa ke penadah.
Rumahnya terbuat dari seng dan papan triplek bekas yang sudah lapuk. Itu pun dari hasil memulung di tempat bongkaran rumah. Itu pun diam-diam mengambilnya. Sewaktu mandornya lagi lengah.
Pengalaman yang mendebarkan bagi Fle. Meskipun kesulitan bergerak karena pung-gungnya yang bongkok, Fle suka membantu ayahnya.
Tapi suatu hari ketahuan. Ayahnya dipukuli. Fle dihardik, disiram dengan air cucian piring, dilempari sampah. “Dasar cacat! Jorok! Pergi dari sini! Pencuri! Bongkok!”

Fle menangis tersedu-sedu. Tiga hari ayahnya tidak berangkat memulung karena memar yang dialami.
“Ayah, Fle tidak ikut ayah memulung lagi ya. Kasihan ayah nanti terhalang pekerjaannya karena harus mengurus Fle terus. Lagipula orang-orang tidak suka dengan Fle karena Fle buruk rupa dan bongkok.”
“Terus Fle mau ngapain di rumah?”
“Apa saja. Menyiapkan makanan buat ayah.”
“Tapi makanan apa? Kita tidak punya apa-apa untuk dimasak.”
“Jika Fle tidak ikut ayah, ayah pasti bisa memulung lebih banyak. Karena gerobaknya jadi lega karena tidak ada Fle.”
“Begitu ya. Baiklah, Fle. Jaga diri baik-baik ya.”
Minggu-minggu akhir ini, barang pulungan ayahnya sedikit. Jadi Fle punya waktu menganggur lebih banyak. Ia mengintip keluar, setiap pagi dan siang. Melihat anak-anak pulang dan berangkat sekolah. Dalam hati Fle ingin ikut sekolah, Fle mau bisa membaca, tapi apadaya, ayahnya tak sanggup membiayai. Untuk makan saja, tempe sama sepuluk nasi itu sudah anugerah.
Lagipula Fle kan bongkok. Pasti dia jadi bahan cemoohan teman-temannya kelak. Pasti akan jadi neraka baginya. Surganya hanya jika bersama ayahnya.
Fle duduk. Mengamati karung-karung hasil pulungan ayahnya. Entah kenapa, pada hari-hari tertentu, banyak burung dari aneka ras hinggap di sekitar rumahnya. Berkicau. Menghibur Fle.
Awalnya Fle kira burung itu hanya kebetulan saja lewat dan hinggap. Tapi ketika ia menyadari hari apa burung-burung itu hinggap, ia menyadari sebuah pola. Setiap hari Senin dan Kamis! Dan selalu ada helai bulu yang tertinggal. Di hari Senin selalu saja warna putih, dan Kamis selalu saja bulu keabuan. Fle menyimpannya. Sembari berterima kasih kepada burung-burung karena telah menemani hari-harinya.
Ayah Fle menemukan bulu-bulu itu. “Ini bulu burung dari mana Fle?”
“Setiap hari Senin dan Kamis selalu ada burung yang hinggap di atap rumah, yah.”
“Oh. Ayah punya ide.”
Ayah Fle membuat kemoceng. Dijualnya di tiap perempatan. Cukuplah untuk uang tambahan makan sehari-hari. Dan bulu-bulu burung yang tertinggal pun semakin banyak.
“Banyak sekali burung yang hinggap di rumah kita, yah.”
“Coba suatu waktu kamu tangkap burung itu Fle. Siapa tahu laku dijual.”
Tapi Fle tidak menuruti. Fle tidak tega. Burung itu habitatnya ya alam bebas. Terbang ke manapun ia mau. Jangan dikurung dalam sangkar hanya untuk sekedar hiasan rumah. “Fle selalu gagal menangkapnya yah.”
“Ya sudah. Tidak apa-apa.”
Padahal sesungguhnya, ketika Fle mencoba meraih burung-burung itu. Mereka semua langsung hinggap di tangan dan tubuh Fle. Fle senang. Terhibur karenanya. Burungnya beraneka ragam.
Sampai satu keajaiban terjadi. Jarang sekali satu burung ukurannya cukup besar datang mengunjungi Fle. Burung itu seperti elang, namun bulunya putih bersih seperti awan. Sendirian. Ia mencengkeram kaus Fle. Mematuk punggung Fle yang bongkok. “Aw. Apa yang kau lakukan wahai burung putih?”
Burung itu tetap mematuknya. “Aw. Cukup burung putih. Sakit.”
Si burung mencengkeram kaus Fle dengan kuat. Lalu mengepakkan sayapnya. “ya tuhan!” Fle terkejut mendapati tubuhnya melayang dari tanah. Sayap burung elang putih mengepak-ngepak. Lalu ia melepaskan cengkeramannya. Meninggalkan Fle yang masih melayang di udara. Dan tak tahu bagaimana mendarat.
“Lho, mau ke mana burung elang putih? Ajari aku mendarat!”
Si elang putih telah terbang jauh.
Fle panik. Ia tak bisa turun. Ia sudah melayang sampai atap seng rumah. Ayahnya pulang lebih awal. “Fle... di mana kamu nak? Ayah bawa ayam goreng.”
“Ayah! Fle di sini. Di atas sini.”
“Astaganagabonar! Kok kamu bisa melayang begitu?” muka ayahnya memucat pasi.
“Tolong turunkan aku ayah. Fle tidak tahu caranya turun.”
Si ayah segera mencari tongkat bambu. “Pegangan yang kuat Fle. Akan ayah tarik turun kamu.”
Berat sekali ayahnya menarik Fle turun. Fle langsung memeluk ayahnya. “Terima kasih ayah.”
“Iya Fle. Kamu kenapa bisa melayang begitu?”
Fle menceritakan kejadiannya. Ayahnya mengernyit tak mengerti. “Kok bisa ya? Tuhan memang maha kuasa. Atas ijinnya kau bisa begitu.” Itulah penjelasan yang paling masuk akal baginya. “Loh, Fle. Punggung kamu kok agak lurusan?”
“Ah yang betul yah?”
“Iya.” Ayah Fle memeriksa punggung putrinya. “Sungguh keajaiban!” langsung ayahnya bersujud ke barat.
Fle meniru.
Apakah karena elang putih yang mematuk punggungku itu ya? Fle bertanya-tanya.
Jadilah ia menunggu kehadiran si burung elang putih. Fle menghitung waktu. Burung itu datang tiga bulan sekali. Mematuki punggung-nya sampai lurus.
“Aku normal yah!” Fle kegirangan.
Ayahnya menangis haru. “Terima kasih ya Tuhan.”
“Sekarang Fle bisa bantu ayah kerja lagi.” Fle melompat-lompat senang. Tanpa ia sadari tubuhnya sampai melayang.
“Coba kau pelajari Fle. Kuasai anugerah terbangmu.”
“Kucoba ayah.” Fle memejamkan mata. Melemaskan otot-ototnya. Membayangkan tubuhnya dibawa turun. Kemudian ia menjejak tanah lagi. “yeay... ayah aku berhasil.” Ayahnya memeluk Fle.
“Jangan sampai orang lain tahu, Fle.”
“Loh, kenapa ayah?”
“Karena kamu adalah malaikat ayah. Jangan sampai orang lain tahu kemampuan terbangmu lalu mengambilmu. Ayah tidak mau kehilangan malaikat kecil ayah.”
“Oh.” Fle ganti memeluk ayahnya. “Fle tidak akan pergi dari ayah.”
Fle ikut memulung. Di setiap langkahnya, ia melihat ada bayangan burung di depannya. Fle mendongak ke atas. Burung elang putih terbang di atas mengikutinya.
“Ayah, lihat itu.” Fle memberitau ayahnya.
“Itukah burung yang membuat punggungmu lurus Fle?”
Fle mengangguk.
“Burung itu adalah utusan Tuhan. Burung itu malaikat.”
Fle takjub. Merasakan kekuasaan ilahi membasuhnya. Rasa tentram memenuhi batin. Sayap merentang elang putih, bayangannya menutupi Fle. Membuatnya terhindar dari terik matahari.
“Ayah, sebentar lagi Fle akan ulang tahun ke enam belas.” Sembari berjalan, Fle merasakan gatal di sekitar punggungnya.
“Terus?”
“Bolehkah Fle minta dibelikan baju baru yah?”
Ayah Fle berhenti. Menghadap Fle, dan mengusap kepalanya. “Akan ayah usahakan ya Fle. Semoga dagangan kemoceng laku. Nanti ayah belikan kamu baju baru, bukan bekas.”
“Terima kasih ayah.”
Yang terjadi di hari ulang tahunnya sungguh mengejutkan.
“Ayaaaaah!”
Ayahnya gelagapan berlari ke kamar Fle. “Ada apa Fle?”
Fle menutupi badannya dengan kain karung yang dijadikan selimut.
“Ada apa Fle? Kamu jadi bongkok lagi?” Ayahnya melihat gundukan besar di punggung Fle.
“Tidak ayah. Lihat.” Fle melepaskan selimut karungnya. Ayahnya tersentak mundur, menabrak drum yang dijadikan meja, gelas-gelas berjatuhan.
Dari punggung Fle membentang sepasang sayap berbulukan putih.
“Ya Tuhan...” Ayahnya menutup mulut, airmata menitik. “Kamu malaikat, Fle.”
Fle memutar-mutar tubuh, melihat sepasang sayap yang tiba-tiba saja muncul sewaktu ia membuka mata. Ia bentangkan dan katupkan. Lalu mencoba kepakkan. Hentakan angin dari kepakan sayapnya menghempaskan barang-barang.
“Ya Tuhan...”
Fle melayang.
“Fle... jangan keluar.”
Maka pada malam larutlah, Fle dan ayahnya keluar. Menuju gedung tua yang telah ditinggalkan. Sepi tak ada orang.
Fle tanpa takut ikut. Di atap gedung itu ia mengepakkan sayap dan terbang. Ayahnya jatuh berlutut dan merentangkan tangan ke langit, kepada Yang Maha Kuasa ia memanjatkan puja puja. Ternyata anaknya serupa malaikat.
Sang ayah menggigil. Giginya bergemeletuk. Bersin-bersin. Fle yang membum-bung tinggi langsung menukik turun. “Kenapa ayah?”
“Sepertinya ayah terserang demam. Ayo pulang. Brrrrr.” Ayahnya merangkul badan sendiri. Fle menutupi sayapnya yang terlipat dengan sarung.
“Ya ampun. Ayah panas sekali.” Fle membaringkan ayahnya. Menyuapi air minum. Fle membuatkan teh panas.
“Brrrrrr.” Ayah Fle meringkuk. Fle merasa kasihan. Ayahnya telah bekerja keras untuk membelikan baju baru, eh ternyata ada sepasang sayap tiba-tiba muncul, merobek baju tersebut.
Fle mendapat ide. Bentangan sayapnya cukup lebar. Maka ia tidur di samping ayahnya sembari merentangkan sebelah sayapnya untuk menyelimuti sang ayah.
“Cepat sembuh ayah.”
Pagi-pagi ayahnya sudah bugar kembali.
“Ayah sudah sehat?” tanya Fle.
“Iya Fle. Sungguh luar biasa. Ini kondisi paling prima ayah. Apa yang kau lakukan Fle?”
“Semalam Fle menyelimuti ayah dengan sayap sebelah Fle.”
“Oh ya?” ayahnya menepuk-nepukkan pundak. “Eh, ada sayapmu yang lepas satu.” Sayap itu putih cemerlang. “Akan ayah simpan.”
“Tapi jangan jadikan kemoceng ya ayah.”
Ayah tertawa. “Tentu tidak. Kamu beda. Kamu istimewa. Kamu malaikat kecilku Fle.”
Fle tersenyum.
Selagi ayahnya pergi memulung dan menjual kemoceng, Fle masih takjub dengan keberadaan sepasang sayap di punggung. Ia eksplorasi sayapnya. Agak siang, burung elang putih datang menengok.
Ia hinggap di rangka sepeda butut yang karatan. Matanya terpaku pada Fle. Fle tahu... tatapan mata itu. Berbicara..
“Fle.. sayap baruku.” Sambutnya.
“Eh?” Fle terkesiap. Elang itu tidak membuka tutup paruhnya. Tapi pesannya sampai. “Siapa engkau wahai burung elang putih?”
“Aku adalah penjaga orang sepertimu.”
“Orang sepertiku? Maksudnya ada lagi orang dengan sayap sepertiku?”
“Tidak. Hanya kau satu-satunya, untuk saat ini. Yang kumaksud adalah, manusia yang diberkahi keganjilan yang memukau. Mereka-mereka yang padanya dititipkan setitik cuil kekuatan.”
Fle menggeleng tak mengerti. “Jadi aku ini apa?”
“Orang-orang menyebut kalian dengan Anomali. Aku adalah penjaga kalian. Pembim-bing kalian.”
“Menjaga dan membimbing untuk?”
“Menjaga keselarasan dunia. Anomali bermunculan, dan apabila mereka tak sanggup mengendalikannya, maka badailah yang menyertai. Di belahan dunia lain, telah terjadi badai bencana akibat anomali. Karena ketidakmampuan mereka mengendalikan.”
“Berarti engkau gagal membimbing mereka dong?”
“Bukan begitu. Aku adalah kaum putih. Maka pula ada yang dinamai kaum hitam. Yang mereka kehendaki hanyalah kehancuran dunia ini. Aku terutus untuk mencegahnya. Pertama kali ini aku berhasil, menemukanmu. Aku tak terhalangi oleh kaum hitam.”
“Oh begitu. Jadi bagaimana? Bagaimana aku harus mengendalikan kekuatan ini, sayap ini?”
“Kau harus menyalurkannya. Kau harus menjaga emosimu stabil. Aku pun belum tahu pasti apa sesungguhnya anugerah yang Tuhan beri padamu.”
“Yah, katanya kau pembimbing, masa tidak tahu kekuatanku.”
“Yang kutahu pasti adalah engkau bisa terbang, Fle. Yang lain, itu tugasmu untuk mencari tahu.”
“Oke, cukup adil.”
“Jadi, katakan padaku, hal ganjil apa yang telah kau lakukan belakangan ini?”
“Hmm, terlepas dari aku bisa terbang dan tiba-tiba muncul sepasang sayap di punggungku...” Fle berpikir. “Oh ya! Begini, ayahku semalam sakit, lalu aku selimuti dia dengan sayapku, karena kupikir aku bisa berlaku seperti induk ayam yang melindungi anaknya di balik sayap. Eh, pagi-pagi Ayahku jadi segar bugar, ia mengaku dalam kondisi paling primanya. Lalu, satu helai bulu sayapku ada yang lepas dan disimpan olehnya.”
Elang putih itu mengangguk. “Berarti engkau memiliki kemampuan menyembuh dan mengayomi. Gunakan itu. Tapi ingat, hanya gunakan demi tujuan yang baik. Sekalinya kau melenceng, maka badai akan datang. Tentukan peranmu sekarang juga.” Lalu elang itu terbang pergi.
Repot sekali mau pakai kaos dengan sayap yang lebar seperti ini di punggung. Akhirnya Fle memutuskan untuk menutupi dadanya dengan sarung yang dikalungkan dari leher.
Sisa hari Fle mempertimbangkan bimbingan si elang putih. “Peranku? Peran apa? Apa pun itu aku akan selalu memihak ke kebajikan.” Begitulah yang ayah Fle selalu ajarkan padanya. Berbuat baik dan tidak mendendam.
Ayah Fle pulang mendekati malam tergelar. Ia membawa pulang banyak sekali pulungan. Fle sudah menyiapkan secangkir teh panas untuk ayahnya.
Dan ia menyampaikan niatnya. “Ayah. Fle ingin berbuat baik. Berbagi anugerah kepada mereka yang kurang beruntung.”
“Apa yang hendak kamu bagi Fle?”
“Fle bisa menyembuhkan orang yah.”
“Ah yang betul? Bagaimana bisa?”
“Ayah sembuh karena sayapku. Ayah semalam menggigil luar biasa. Tapi pagi-paginya ayah segar bugar seperti tak pernah sakit sebelumnya.”
“Hmmm...” Ayahnya berpikir.
“Apakah ayah punya teman pemulung yang sekiranya  sedang sakit?”
“Tapi bagaimana kalau tidak berhasil, Fle?”
“Maka memang Fle tidak dianugerahi itu. Makanya Fle ingin membuktikan ini. Pertama dengan teman pemulung ayah itu. Kalau ada yang sedang sakit lho.”
“Hmm.. sebetulnya ada. Coba besok ayah ajak dia kemari.”
“Baik ayah. Ayah memang ayah yang baik.”
“Kamu juga anak yang baik dan berhati mulia.”
Malamnya Fle berdoa dan berterima kasih kepada yang telah menganugerahkan sayap malaikat ini.
Ayahnya datang jam tiga sore bersama seorang kakek yang berjalan ringkih. Batuknya tak berhenti.
“Bapak akan sembuh ya. Diobati anak saya. Tapi bapak harus memejamkan mata.”
“I.. uhuk.. ya.. uhuk.. uhuk..” si kakek menjawab susah payah. Ayah Fle menuntun kakek itu sambil memastikan matanya tertutup rapat.
“Duduk di sini ya bapak.”
“I... uhuk... i .. uhuk... ya.. uhuk.”
Fle mendatangi kakek itu dari belakang. Pertama ia menyentuh tengkuk kakek itu, memijat sekadarnya. Lalu sayapnya memben-tang, melingkupi ia dan si kakek. Fle berkonsentrasi. Menyalurkan welas asih dan pengharapan akan kesembuhan si kakek. Cahaya putih terang berpijar dari setiap helai bulu sayapnya. Menjalarkan kehangatan yang merasuk ke dalam tubuh si kakek. Saat cahaya itu meredup, Fle tahu proses penyembuhan itu usai. Ia segera melipat sayapnya dan menutupinya dengan selimut karung, dan berpura-pura bongkok lagi. Seperti orang-orang sekitar sini mengenalnya sejak lahir.
“Jangan bilang siapa-siapa ya kek, habis berobat di sini.” Fle berpesan.
“I.. iya. Lho... suaraku lancar. Aku sembuh!” si kakek berdiri. Membuka mata. Ayah Fle langsung menutupi mata si kakek dengan tangan sebelum ia melihat Fle.
“Ayo pak kita keluar, saya antar pulang.”
“Oh, tidak usah. Saya merasa segar bugar. Bisa pulang sendiri.”
Dan begitulah mulanya...
Sudah diduga...
Fle mempersiapkan diri atas ini.
Satu pekan setelah si kakek sembuh itu, mendadak rumah Fle diserbu banyak orang. Banyak yang datang minta disembuhkan. Ayah Fle gelagapan, ia jadi tidak berangkat memulung lagi. Ia tutupi lubang-lubang dan jendela dengan terpal. Supaya tidak ada anak usil yang mengintip melihat sayap Fle. Banyak sekali orang mengantre sejak subuh. Ayah Fle mengaturnya. Ia menutupi mata pasien dengan ikatan kain.
Awalnya mudah bagi Fle menyembuhkan gempuran orang sakit ini. Tapi ternyata energinya terkuras juga. Ayah Fle terpaksa menghentikan ini untuk beberapa jam. Orang-orang yang sudah mengantre rela menunggu.
Fle istirahat. “Aku lelah sekali yah.”
“Ya jangan dipaksakan Fle.”
“Orang-orang ada yang memberi uang?”
Ayahnya ragu menjawab. “Iya Fle. Beberapa ada yang memberi.”
“Kembalikan yah. Fle tidak mau uang itu.”
“Tapi kita juga butuh Fle.”
“Ayah, Fle mau menyembuhkan orang-orang yang sakit tanpa imbalan.”
Ayah Fle menggigit bibir. “Tapi ayah jadi tidak bekerja Fle gara-gara harus mengatur semuanya. Daritadi pagi kita juga belum makan. Kamu lelah dan lapar kan pastinya? Uangnya kita buat beli makan ya?”
“Terserah ayah.”
Ayah Fle cukup kesulitan mau meninggalkan Fle sendirian di rumah. Maka ia meminta bantuan orang yang telah menunggu itu, yang sehat. Untuk membelikan makanan. Ayah Fle berjanji tiga jam lagi antrean dibuka kembali.
Setelah pulih, Fle memulai lagi. Beragam penyakit ia tangani. Yang cukup menguras tenaga adalah mereka yang mengalami patah tulang menahun dan belum mendapat penanganan medis. Fle menanganinya, mengembalikan tulang yang patah itu menyambung kembali.
Fle tahu ayahnya tidak mematuhi pintanya. Uang pemberian para pasien ia simpan. Terbukti bahwa berminggu-minggu setelahnya Ayah memperbaiki rumah.
“Supaya kamu mengobatinya lebih nyaman.”
Fle menggelengkan kepala. Tapi ia pun tak kuasa menolak. Mungkin ayah benar, kita memang butuh.
Mengobati orang semenjak fajar sampai senja menjelang dan lanjut lagi sampai tengah malam, menjadi rutinitas baru Fle. Tak sadar bulu sayapnya mulai menipis dan menjadi kelabu.
“Ayah, sepertinya kita hentikan ini. Aku sudah sangat lelah, yah.”
“Ya... Fle. Orang masih banyak yang mengantre. Nanti mereka marah-marah dan kesal.”
“Baiklah, sampai selesai. Setelah itu Fle mau ambil libur.”
Fle menyadari bulu sayapnya selalu ada yang rontok seusai menyembuhkan orang. Sayapnya terasa ringan sekali, tak berbobot. Fle khawatir dia tak bisa lagi terbang. Maka malam-malam ia naik ke lantai dua—kini rumahnya sudah bagus karena banyak sekali yang membayar pengobatan ini sukarela, sukarelanya ternyata banyak juga—ia mengembangkan sayapnya di bawah sinar bulan purnama.
Fle terbang. Ia masih bisa. Tapi tak perlu mengepakkan sayap ia bisa terbang. Fle melesat tinggi. Menembus awan malam. Melihat bulan lebih dekat. Begitu indahnya...
“Fle.”
Fle terkejut. Burung elang putih!
“Elang putih. Katanya kau penjaga, mengapa kau tidak pernah datang lagi padaku?”
“Kaum hitam telah sampai padamu.”
Fle terbelalak. “Kok bisa?”
“Kau telah melenceng dari garis putih, Fle. Kau sudah tak murni lagi.”
“Loh loh... kok bisa?”
“Niat muliamu telah tercoreng oleh godaan uang.”
“Itu kan ayahku. Bukan aku. Aku sebetulnya menolak pemberian orang-orang itu.”
“Sama saja. Karena kau juga menikmatinya.” Si elang lalu pergi.
“Hei! Jangan pergi begitu saja! Katanya kau pembimbingku!” Fle hendak mengejar tapi tampaknya si elang lebih cepat. Dirasa Fle telah bisa mendekatinya, burung elang putih itu lenyap. Seperti berpindah tempat dalam sekejap.
Kepergian si elang putih seperti memberi firasat buruk buat Fle.
Meskipun sudah diumumkan oleh ayah bahwa untuk beberapa hari ini Fle tidak buka praktek, tetap saja ada orang yang telah mengantre sejak jam tiga pagi.
“Fle.. bagaimana? Mau ditangani atau tidak?”
“Entahlah yah.”
“Ayah tidak mau mengecewakan orang.”
“Fle pun tidak mau. Baiklah yah, silakan suruh masuk orangnya.”
Firasat itu benar adanya. Yang datang bukanlah orang hendak berobat. Ayah Fle terpental jatuh karena pintu yang didorong paksa. Sejumlah orang masuk. Berbadan besar.
“Ayah!” ayah Fle ditendang mukanya oleh mereka karena berusaha menghalangi bos orang-orang itu.
“Jadi ini ya? Yang sudah merebut lapak kita.”
“Tamax... jangan sakiti putriku.” Ayah Fle memohon.
Bruakk... ayah Fle ditendang lagi.
“Kau bakal mendapat ganjarannya, karena telah merebut lapak kami. Lapak pengobatan alternatif. Karena kalian aku jadi jatuh miskin lagi.” Kata si Tamax geram.
“Hentikan! Jangan lukai ayahku lagi!” terpaksa Fle membentangkan sayapnya. Berusaha mengancam orang-orang ini.
Orang-orang berbadan besar itu sedikit melangkah mundur melihat sayap Fle menyala terang. Fle sudah dalam posisi siap menyerang kapan pun. Fle menyasar si bos Tamax lebih dahulu.
Shazaaashhh!!! Kepakan sayap Fle menampar muka Tamax.
“Auuuwww!!! Hajar dia! Tanpa ampun!” seru Tamax geram.
Fle terbang kalang kabut di sekitar rumah, menyerang pria-pria berbadan besar. Bruk! Bruk! Bruk! Satu tiga mereka terjatuhkan. “Ayah! Aku harus menyelamatkan ayah.”
Fle menukik tajam, mencoba meraih ayahnya, merangkulnya lalu terbang lagi. Tapi sial!
Fle terjerat perangkap.
Lalu hitam....
Hening...
Saat membuka mata, Fle tergagap panik. Semua bulu-bulu sayapnya telah tercerabut paksa. Ia menjerit. Menangis. Tamax pasti yang mencabutinya.
Fle mencoba terbang tapi tersendat oleh rantai yang membelenggu tangan dan kakinya. “Tidak.. tidak... ayah! Di mana ayah?” tak ada suara yang menyahut. Fle melihat sekeliling, ia berada di sebuah gudang tua. “Oh tidak.. oh tidak. Harus bagaimana aku?”
Fle menjadi tak berdaya. Kehilangan tenaga dan sayapnya. Si bajingan Tamax pemilik pengobatan alternatif itu pasti telah mencerabuti bulu-bulunya agar bisa menyembuhkan orang sakit.
Selama berhari-hari di gudang tak ada orang yang datang. Fle terduduk lemas, layu, lunglai. Tak berdaya, putus asa. Ia gagal.
Samar-samar ia mendengar suara di luar.
Ramai sekali.
“Kembalikan uang kami. Kamu penipu! Kamu bohon! Putraku tidak sembuh. Malah jadi parah sakitnya!” suara itu terdengar jauh sekali.
“Ah, pastinya!” kata Fle pada diri sendiri. “Bulu sayap penyembuh itu harus diserahkan dengan sukarela olehku, apabila dengan paksaan, maka celakalah yang didapat.” Fle tertawa puas. “Sekarang. Bagaimana aku bisa kabur dari tempat ini?”
Sehelai bulu sayap terjatuh, menggeletak di kaki Fle. Satu helai.. menyala terang. Suara gemerisik, besi dibongkar, dan memekakkan telinga, Fle mendongak dan mendapati atap gudang itu terbongkar paksa.
Yang ia lihat sungguh mengejutkannya.
Kira-kira ada ratusan orang sedang melayang terbang. Saling mengepakkan sayap. Sayap-sayap putih. “Siapa kalian?”
“Kami adalah imbalan atas jasa baikmu. Kau telah menyembuhkan kami semua dan melaluimu kami jadi punya sayap sepertimu. Kami semua memiliki kesadaran akan kebajikan yang sama denganmu. Maka ketika kau sedang kesulitan, kami merasakannya. Dan kami datang menolongmu. Membebaskanmu.” Jawaban dari mereka terdengar serentak. Membahana.
Mereka turun. Satu orang, Fle ingat. Si kakek! Terlihat perkasa lagi. Lalu dari baliknya, muncul ayah.
“Ayah!”
“Fle, ayah terbangunkan, dan ayah punya sayap juga.” Ayah Fle mengatakannya dengan bangga.
Sekali tebasan sayap mereka, rantai pembelenggu tangan dan kaki Fle putus.
“Mari Fle, kita beri pelajaran mereka, sebelum kita naik ke langit dan mencegah badai bintang.”

Si Tamax dan anak buahnya kalang kabut menghadapi ratusan orang terbang bersayap. Menerjang mereka dan melempar mereka ke sungai. Sayap-sayap putih kemudian menuju langit. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA