STORM OF COLD
-oOo-

Kakaknya, Erak, seperti orang
kebanyakan. Kulitnya cokelat cerah, rambutnya dikuncir kuda. Seorang pemuda
berbadan tegap dan kekar. Erak pemuda lima belas tahun yang bisa diandalkan di
pulau Kerang yang kecil ini.
Hanya ada dua puluh kepala keluarga
di pulau ini. Semua orang kenal semua orang. Keganjilan yang dialami Esa tak
bisa ditutupi. Pada hari ia lahir, semua orang langsung tahu. Dan semua orang
merasakan hawa dingin yang jarang sekali merasuk pulau hangat ini.
Laut sekitar pulau Kerang adalah
perairan hangat. Matahari bersinar melimpah ruah. Buah-buah tropis bisa didapat
di sini. Musim salju tak pernah terjadi di sini.
Esa tumbuh sebagai gadis pemurung.
Bagaimana tidak? Ia penasaran dengan dunia luar, dan ia ingin mengenal semua
orang, namun sang ibu melarangnya. “Orang-orang terlalu penasaran terhadapmu,
putriku, aku khawatir bahaya akan menimpamu.”
“Aku mau ketemu orang-orang, ibu.”
Rengek Esa. Umurnya dua belas saat ini.
“Jangan, putriku, ibu takut. Ibu
takut tidak bisa menjagamu.”
“Bukankah aku istimewa, ibu?”
Ibunya mendekapnya erat. Pelukan itu
tidak memberikan kehangatan bagi si ibu, melainkan rasa dingin menusuk. Si ibu
kadang bertanya-tanya, apakah putrinya adalah makhluk hidup atau makhluk
terkutuk?
“Tentu, Esa, kau adalah putri ibu
yang teristimewa.”
“Karena aku terlahir berbeda kan,
ibu?”
“Iya, Esa. Kau sangat berbeda, itulah
yang membuatmu istimewa. Namun ketahuilah ini, Esa, dan ingatlah seumur
hidupmu.”
“Apa ibu?”
“Orang-orang belum siap dengan
keunikanmu. Orang-orang cenderung akan membenci hal-hal yang mereka tak pahami.
Kau akan jadi cemoohan.”
Esa terisak mendengar kalimat
terakhir. “Jadi aku ini makhluk cacat ya bu?”
“Bukan, Esa, kau makhluk sempurna.”
Ibunya mengesampingkan kulitnya yang kebas karena beku.
“Jika aku makhluk sempurna, mengapa
mereka membenciku? Seharusnya mereka memujaku.”
“Sudah Esa! Ibu tak ingin
mendengarkan kamu merengek meminta keluar lagi. Titik!”
Esa menangis menderu.
Ibunya melepaskan pelukan. Segera ia
mendekati perapian. “Masuk kamar dan jangan keluar!” perintah ibunya.
Erak setiap malam menyempatkan
diri untuk menidurkan Esa, setelah seharian bekerja di pelabuhan dan pasar
ikan. Kepada kakaknya Esa melipur lara.
“Kakak, kenapa aku tidak
diijinkan keluar? Kan aku ingin menjadi normal seperti anak-anak lain.”
“Karena kau tidak normal, Esa.”
Erak berkata apa adanya.
“Loh kok.” Esa mengernyit.
“Kau unik. Kau berbeda. Kau
memiliki bakat yang tak dimiliki orang lain.” Erak mengambil minuman yang ia
sembunyikan di dalam tas. Berbungkus kertas cokelat tebal. “Jangan bilang ibu,
aku mulai meminum ini.” Erak berbisik.
Esa mengangguk. “Kita saling
menjaga rahasia ya kak. Apa itu kak?”
“Ini disebut bir. Lebih enak
bila diminum dingin. Coba kau pegang dan dinginkan minuman ini. Kau bisa.”
Esa ragu-ragu. Ia menyentuhkan
tangannya pada botol itu. Erak gembira ketika jejak es mulai merangkaki
permukaan botol. “Tuh kan, kau bisa. Kau hebat. Terima kasih Esa.” Erak
menenggak bir dingin itu. “Wow, terlalu dingin. Kau harus belajar
mengendali-kannya, Esa.”
“Asal kakak yang mengajariku.”
“Tentu saja. Dengan senang
hati. Setiap malam ya, kita coba pelajari keajaibanmu.”
Hal ini mereka sembunyikan dari
si ibu. Sehari-hari Esa ditutupi tubuhnya dengan selimut tebal-tebal. Ini
dikarenakan ketika Esa duduk di satu tempat, lalu beranjak ke tempat lain,
meninggalkan jejak es. Yang mencair setelahnya.
Setiap hari pula, ibunya
menghardik anak-anak tetangga yang mengintip melalui jendela untuk melihat Esa.
Esa senang apabila ada mata yang muncul di jendela, ia melambai ke arah mereka,
si ibu marah karenanya. “Jangan lakukan itu, Esa. Nanti mereka masuk.”
“Tidak apa-apa ibu. Mereka kan
mau mengenalku.”
“Masuk kamar sana. Ibu akan
antarkan makananmu.”
Esa murung lagi.
Esa membuka paksa jendela yang
ditutup kayu di kamar lotengnya. Ia hendak melihat dunia luar. Ia bosan
dikurung di kamar terus. Sewaktu pintu kamarnya diketuk dan ibunya masuk,
tergesa-gesa ia memasang kembali kayu pada jendela.
“Ini makananmu, Esa. Sup tomat
hangat.”
“Terima kasih ibu.”
Ibunya keluar, Esa mengambil
mangkuk sup itu dan mencoba menggunakan keunikan-nya, ia meniupkan udara dingin
dari mulutnya ke sup itu. Esa kaget karena ibunya masuk lagi sesaat kemudian.
Tak sengaja ia menjatuhkan mangkuk sup yang telah membeku. Pecah menghantam
lantai.
“Esa, apa yang kau lakukan?”
ibunya terperanjat. “Jangan kau macam-macam, Esa.” Ibunya memungut bongkahan
pecahan mangkuk sup es.
“Ini anugerah Yang Maha Kuasa,
ibu. Esa harus memanfaatkannya, mempelajarinya.”
Ibunya menitikkan air mata.
“Jangan Esa. Inilah yang ibu sangat takutkan. Jika orang luar tahu kau bisa
melakukan hal ini, hidupmu akan terancam.” Ibunya menjatuhkan diri ke lantai,
terisak. “Ibu tak mau kehilanganmu, Esa.”
Esa tak mengerti ibunya kenapa
bisa begitu sedih, Esa tak akan menghilang kok. “Maaf ibu. Maafkan Esa.” Esa
hendak meraih tangan ibunya, namun tertolak.
“Ibu bisa berdiri sendiri.”
“Maafkan Esa ibu, jangan
membenci Esa.”
“Berjanjilah pada ibu kau tak
akan macam-macam dengan keunikanmu, Esa.”
“Esa berjanji ibu.” Barulah
ibunya mau meraih tangan Esa yang dingin menjalar.
Malam-malam. “Esa, bangun dik.
Ayo kita belajar kemampuan es kamu.”
Esa bergeming, menarik
selimutnya.
“Esa, kok jadi tidak mau. Kan
kamu yang minta kemarin.”
“Tidak jadi kak. Esa mau tidur
saja.”
“Ini pasti larangan ibu ya?”
Esa diam saja. Kakaknya lalu
keluar kamar. Ia dengar di bawah suara ibu dan kakaknya saling meninggi. Lama
sekali mereka bertengkar. Ia dengar ayahnya disebut-sebut. Bahwa ayahnya sama
anehnya dengan Esa. Tak kuat lagi mendengarnya, ia membenamkan diri di tumpukan
selimut.
Larut sekali ibunya menyelinap
masuk kamar Esa. Kebetulan Esa belum tidur. “ibu?”
“Esa, kau belum tidur nak?”
“Esa tidak bisa tidur.”
“Pasti kau terganggu karena
kami bertengkar ya.”
Esa menggeleng. “Ibu tak
apa-apa?”
“Ibu baik-baik saja, Esa.”
Ibunya menitikkan air mata.
“Kenapa ibu menangis?” Esa
bangun, mengusap air mata ibunya. Seketika menjadi beku dan bisa ia ambil.
Ibunya terpekik. “Esa, kau sudah berjanji.”
“Maaf, ibu. Esa tidak sengaja.
Esa tidak berniat untuk itu.”
“Sudahlah, tak mengapa.” Ibunya
meme-gang pipinya sendiri yang terasa dingin. “Ayo tidur, Esa. Akan ibu
nyanyikan sesuatu untukmu.”
Lagu pengantar tidur itu
mengisahkan tentang seorang pelaut. Esa menduga yang dimaksud ibu adalah
ayahnya. Lagu itu menyiratkan bahwa si pelaut mampu memasang dan surutkan
gelombang. Sehingga perjalanan-nya tak terganggu sampai tujuan. Sekali berlayar
ia akan menghabiskan waktu berbulan-bulan sampai mendapat apa yang ia cari,
sang terkasih, tak pernah tahu apa yang pelaut cari. Karena sepulangnya dari
berlayar pelaut tak pernah mengisahkan pelayaran padanya.
“Esa, hari esok kau ibu
perbolehkan keluar, Erak akan menjagamu. Kau jangan lepas darinya, oke?”
“Sungguh bu?”
Ibu mengangguk.
“Wah, terima kasih ibu. Aku
sayang ibu.”
“Asal jangan kau tunjukkan anugerahmu
pada sembarangan orang. Ya?”
“Aku janji ibu.”
Ibunya mengecup kilat kening
Esa yang dingin. Malam itu Esa bisa tidur nyenyak. Hore, besok dia akan bertemu
dunia luar.
Pagi-pagi Erak lah yang
membangunkan Esa. Sarapan kilat lalu berangkat. “Ayo, kau akan bekerja membantu
pak Toska. Pemilik kedai.”
“Iya kak.” Esa bersemangat.
Ibunya memberinya pakaian lengan panjang dan berkerudung. Tak lupa sarung
tangan untuk menutupi jari-jarinya yang biru.
Langit begitu menakjubkan
dirasa oleh Esa. Terbentang tiada tara, kebiruan seperti kulitnya.
Burung-burung camar ramai di tepi pantai. Matahari merangkak naik merambatkan
sinar hangatnya. Ada sensasi unik yang menjalar di tubuh Esa. Jadi seperti inikah rasa hangat itu?
Pohon-pohon kelapa banyak
sekali di pulau ini. Orang-orang dewasa tengah memanjat untuk mendapatkan sari
segar air buah kelapa. Anak-anak berlarian kejar-kejaran di pantai, bersama
anjing-anjing berbulu cokelat.
“Hai, Erak. Itukah adikmu?” tegur
seseorang.
Erak diam saja. Ia menarik Esa
untuk berjalan cepat.
“Kenapa tidak dibalas, kak?”
“Orang itu bajingan.”
“Oh.”
Tibalah Esa di kedai pak Toska.
Baru buka. Erak segera membersihkan meja-meja. “Selamat pagi, Erak. Kau jadi
membawa adikmu rupanya.” Pak Toska tubuhnya gemuk, berewoknya lebat sekali. Ada
celemek di bahunya dan apron yang tak pernah dilepas.
“Iya pak Toska. Perkenalkan ini
Esa. Esa ini pak Toska. Kau akan diajari bekerja oleh pak Toska.”
“Senang berkenalan dengan pak
Toska.”
“Senang berkenalan denganmu
pula anak manis. Matamu begitu indah, aku jadi teringat kumpulan bintang ketika
suatu malam langit terlihat biru sekali.”
“Terima kasih, pak Toska.”
“Sama-sama anak manis. Ayo,
bantu kakakmu bekerja. Untuk awal kau coba bersih-bersih meja dan mengelap
gelas dan botol. Kenakan apron, ada di belakang sana.”
Erak membimbing adiknya.
“Ingat Esa. Untuk pertama kau
bekerja di wilayah belakang saja ya. Jangan tampakkan diri di depan.”
Yah, sama saja seperti di rumah dong. Esa membatin. Tapi tak protes. Setidaknya ia sudah melihat dunia luar.
Pada jam tertentu Erak pergi
meninggalkan Esa untuk bekerja di pasar ikan. Lalu kembali lagi untuk mengecek
adiknya. Esa begitu riang melaksanakan tugasnya.
Setelah beberapa hari, bekerja
di kedai pak Toska menjadi rutinitas baru Esa. Yang setiap hari ia nantikan. Ia
sambut gembira. Malamnya ia belajar diam-diam bersama Erak menguasai kekuatan
esnya.
Pertama ia mendinginkan botol
bir Erak dengan sentuhan, awalnya Esa terlalu berlebihan sehingga membuat isi
bir menjadi beku, perlahan ia memahami cara kerjanya, yaitu dengan konsentrasi.
Ini seperti latihan berjalan atau menulis. Lalu membuat partikel salju.
Menghembuskan napas dingin di jendela kaca sampai Esa bisa membuat gambar kasar
dengan jejak es. Sampai, Erak mengusulkan barangkali Esa bisa menciptakan bola
salju.
“Menakjubkan kak! Aku bisa.”
Segumpal bola salju muncul saat ia memikirkan bola di tangannya.
“Sudah kubilang kau itu
anugerah, Esa!” Erak kegirangan.
“Kak, apakah kakak mengenal
ayah?”
Erak terdiam. Lama. “Tidak
terlalu. Mengapa dik?”
“Apakah dia masih hidup, kak?”
“Entahlah.”
“Aku ingin memiliki kapal, kak.
Aku mau cari ayah di lautan.”
Erak berjengit. “Kok kamu
tiba-tiba kepikiran ayah, Esa? Dia sudah pergi jauh sekali. Tak akan pernah kembali.”
“Kurasa ayah sepertiku, kak.”
“Maksudnya?”
“Ayah memiliki kemampuan
sepertiku. Anugerah semacam ini.” Esa menciptakan kapal es dari bongkahan bola
salju.
“Kau serius? Aku tak pernah
memikirkan itu. Mungkin saja benar. Dan ayah mungkin mempunyai cara untuk
menguasainya lebih lanjut.”
“Iya, kak. Makanya ayo kita
cari ayah.”
“Tapi ibu pasti tidak setuju.”
Esa tahu itu benar. Ibunya
pasti bakal marah mendengar rencana ini.
“Kita ajak ibu sekalian.” Usul
Esa.
“Gila kamu. Kau pasti akan
dipasung jika mengutarakan itu.”
Esa kembali murung.
Esa berangkat ke kedai pak
Toska dengan tidak semangat. Ia berjalan agak jauh dari kakaknya. Tiba-tiba
muncul segerombolan anak kecil menyorakinya. “Gadis biru. gadis biru. gadis
aneh. Gadis biru.” begitu olok mereka.
Erak segera menghardik mereka.
Mengan-cam mereka dengan bogem berototnya. Mereka kabur terbirit-birit sambil
menjulurkan lidah.
“Jadi itu yang ditakutkan ibu.”
“Ya, begitulah. Tapi tenang,
ada kakakmu di sini.”
“Dan bila tidak?” Esa
menantang.
“Hmm... kau harus melindungi
dirimu sendiri kalau begitu.”
“Tapi bakal jadi masalah besar
bagi ibu.”
“Ya begitulah. Urusan tidak
pernah mudah dengan ibumu.”
Hari itu Erak tidak pergi ke
pasar ikan. Ia seharian penuh di kedai pak Toska. “Esa. Kau sungguhan ingin memiliki
kapal?”
“Tentu, kak. Aku ingin mencoba
berlayar, sepertinya seru.”
“Kita butuh uang banyak untuk
beli kapal.”
“Tidak perlu kapal yang besar
kak. Yang kecil saja. Yang muat untuk kita bertiga.”
“Akan kucari tahu harga kapal.”
“Tapi, dari mana kita akan
memperoleh uangnya?”
“Itu bisa kita pikirkan.” Erak
mengedip. Esa rasa ia tahu maksudnya.
Sore sebelum pulang, Erak
menyelinap keluar dari kedai sebentar. Lalu kembali lagi sambil terengah-engah.
Ia berbicara serius dengan pak Toska. Pak Toska mendengarkan sambil
menggelengkan kepala dan alis yang naik turun.
“Sungguhan, aku tidak bohong
pak Toska.” Kata Erak sambil menggiring orang tua itu menuju Esa.
“Aku tahu tentang keganjilan
wujud adikmu, tapi apakah benar dia bisa berbuat demikian?”
“Pak Toska mau bukti? Ayo.”
Erak membisiki Esa. Esa terkesiap.
“Apakah tidak apa-apa kak?”
“Tidak apa-apa, pak Toska orang
yang baik.”
“Baiklah.” Esa mengambil botol
bir dari rak. Erak membuka tutup botol itu dan menyerahkannya lagi pada Esa.
Esa meniup pelan dari mulut botol itu. “Ini.”
“Puji tuhan! Sungguhan! bir ini
jadi dingin sekali. Terasa lebih segar daripada disajikan biasa. Baik nak Erak.
Kesepakatan itu jadi. Pelangganku akan bertambah banyak. Apalagi jam makan
siang. Pasti mereka akan mendamba segarnya bir dingin pak Toska di hari yang
terik.”
Esa mengernyit.
“Tiga kali lipat ya pak?” Erak
menawar.
“Lima kali lipat jika kalian
mau!” pak Toska tertawa terbahak, kegirangan, sambil meneguk bir dingin segar.
“Sepakat pak!” Erak menggaet
tangan Esa, mengajaknya pulang.
“Apa yang kalian bicarakan
kak?” tanya Esa malam harinya.
“Katamu kau ingin punya kapal.
Aku mendapat kesepakatan di pelabuhan. Sebuah kapal bekas, bisa dicicil dua
belas kali. Dengan upah yang ditawarkan pak Toska tadi sebanyak lima kali
lipat, kita bisa memilikinya pada cicilan kelima. Kita akan berlayar dik!”
“Hore!”
Esa berjingkrak-jingkrak
gembira. Ia melukis gambar kapal es di udara dengan lambaian tangannya.
Di kedai pak Toska, Esa
ditempatkan di ruangan tersendiri. Berkrat-krat botol bir disiapkan di sana.
Untuk Esa tiupi supaya menjadi dingin. Kedai pak Toska menjadi ramai sekali.
Supaya cepat dan tidak kewalahan, Esa tidak saja meniupi botol, juga
menyentuhnya dengan tangan dan kaki. Melelahkan, pula menyenangkan. Motivasinya
adalah kapal layar itu.
Ibunya tak tahu tentang ini.
Dan jangan sampai tahu. Bila kapal nanti sudah di tangan, barulah mereka akan
bicara. Jika sudah terlanjur begitu, ibunya pasti mau tidak mau akan memaklumi.
Semuanya berjalan lancar. Sudah
lima kali Erak menyerahkan uang cicilan ke bandar kapal di pelabuhan. Kapal
sudah diserahkan.
Sampai pada suatu hari...
Erak tidak muncul di kedai pas
Toska di jam seharusnya ia berada. Esa khawatir. Ia memaksakan diri keluar
melalui pintu belakang kedai. Esa mencari jalan menuju pasar ikan atau
pelabuhan. Di sanalah ia menemukan Erak.
Si bajingan tempo lalu itu
sedang mencekik kakaknya. Erak dipegangi oleh tiga bajingan yang lain.
“Hei! Bajingan! Hentikan,
jangan lukai kakakku!”
“Hohoho... si adik datang untuk
menyelamatkan si kakak rupanya.” Cemooh si bajingan.
Erak sudah bonyok wajahnya
dipukuli. “Esa, jangan bodoh.” Kata Erak lirih.
“Jangan ikut campur gadis biru,
kau bisa celaka.”
“Kaulah yang akan celaka bila
tidak segera melepaskan kakakku.” Ancam Esa.
“Oh.. aku takut sekali.
Memangnya kau bisa apa?” para bajingan tertawa.
“Aku bisa ini.” Dari kedua
tangan Esa muncul tombak es berujung runcing dan berasap dingin.
Esa bisa melihat raut
keterkejutan di mata para bajingan.
“Kau mau buat es loli hah?”
ejek si bajingan.
“Tidak. Aku mau menancapkan ini
di matamu!” Esa melontarkan tombak es runcingnya. Melesat cepat.
Zlapp! Darah mengucur deras
dari rongga mata si bajingan. Bajingan yang lain segera melepaskan cengkeraman
pada Erak.
“Kau biadab! Kau membunuh bos
kami!” dua-duanya sekaligus menyerbu Esa. Esa dengan cepat merubah tombak es
itu menjadi lempengan tajam. Gerakannya gesit sekali. Seketika tubuh dua
bajingan itu terbelah menjadi dua. Esa tertawa penuh kemenangan.
“Itulah yang kau dapat apabila
melukai kakakku.”
“Esa.” Panggil kakaknya.
Suaranya penuh sesal. “Kita harus pergi sekarang.”
“Kenapa kak?”
“Orang-orang menyaksikanmu
membunuh tiga bajingan itu dengan kekuatan esmu. Kau akan diadili. Di sini
tidak boleh membunuh, Esa.”
Esa terguncang. Tersadar. “Ya
ampun. Apa yang menguasaiku barusan?”
“Ayo, kita pergi ke kapal
kita.” Erak tertatih berdiri. Esa membantunya. “Itu kapal kita.” Erak melepas
tambatan kapal, lalu meloncat diikuti Esa.
“Ya ampun.. apa yang telah
kulakukan!” Esa menjambaki rambutnya sendiri.
Erak dengan susah payah mengembangkan
layar kapal. Lalu mendayung supaya kapalnya berjalan. Selanjutnya angin yang
membawa mereka berdua. Ke lautan lepas.
Sekuat tenaga Erak mengendalikan kapal. Terombang ambing
ombak lautan. Esa masih merutuki perbuatannya. Menjerit-jerit sepanjang waktu.
"Tidak!"
"Hentikan Esa. Kau membuang energi. Cukuplah
menyesali tindakan yang telah lalu. Tak ada gunanya mengutuki diri." Erak
berkata lelah. Kepalanya pening akibat pukulan bajingan.
"Bagaimana bisa aku tega membunuh orang?"
"Kau mencoba membelaku dik." Erak memaksa
senyum. "Kau berani."
"Tapi aku membunuh mereka! Aku menyalahgunakan
kekuatan ini. Ibu benar. Tapi bukan mereka yang berbahaya buatku. Aku yang
berbahaya buat mereka."
"Sudahlah Esa. Lebih baik kau mengendalikan diri
sekarang. Aku lelah dan sakit. Mungkin kau bisa berbuat sesuatu untuk meredakan
memarku ini."
Esa menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan
perlahan. Menenangkan diri. "Bagaimana nasib ibu kak?"
"Kita tidak punya banyak waktu. Ibu akan baik-baik
saja. Kita yang mereka cari, bukan ibu. Sekarang tolong aku. Aku pusing
sekali."
Esa menyentuhkan ujung jarinya ke lebam dan memar di
wajah Erak. Menghentikan pendarahan.
"Untung aku telah menyimpan cukup makanan kaleng
buat kita." Erak menunjuk peti kayu di badan kapal. Esa mengintip ke
dalam. Ada tuna, salmon, tomat, dan buah-buahan dalam kaleng. "Kita harus
hemat sampai menepi ke daratan terdekat."
Esa mengangguk. Mereka telah berada di lautan lepas.
Segalanya terliputi air laut biru yang membentang dan bergejolak membuat perut
mual. Esa pusing dibuatnya. Ini pertama kali baginya. Ia menggapai air laut
untuk menguatkan diri. Mencoba merasakan kehadiran ayahnya. Ketika ia mengangkat
jarinya, sebongkah air laut membeku di jarinya.
Malam mulai turun. Gelap gulita di lautan. Hanya bulan
menggantung dan hamparan bintang di langit. Memberi sedikit terang dan petunjuk
arah. Erak mengajarkan Esa sedikit hal tentang rasi bintang.
"Menakjubkan." Decak Esa.
"Iya. Menakjubkan. Seperti kamu Esa."
Esa ingat perkataan pak Toska tentang matanya. Langit
malam ini berwarna biru. Seperti matanya.
"Ke manakah kita menuju kak?"
"Entah dik. Aku tak tahu. Biar angin laut membawa
kita ke ayah."
Erak muntah. Mabuk laut. Esa jadi ikut-ikutan. Laut
membentang dan bergejolak, sejauh mata memandang laut seperti tak bertepi.
Seolah mau menelan mereka kapan pun.
Pengalaman ini melampaui takjub. Mengarungi samudra. Adrenalin
terpacu ketika diombang-ambing gejolak ombak. Esa sempat panik. Erak
membimbingnya. “Jangan panik, Esa! Bisa bahaya. Redakan emosimu.”
Sekali Esa jatuh dari kapal. Tercebur ke laut. Ia panik
dan terkurung di lapisan es yang menguar dari tubuhnya. Ia terapung menjadi
bongkahan es.
“Esa! Konsentrasi!” Erak menggapai-gapai tubuh Esa yang
diliputi lapisan es dengan dayung. Ia melempar tali laso. Menyeret adiknya
mendekat ke kapal.
Esa terpejam matanya. Erak memukul es itu sampai hancur
dan membebaskan saluran pernapasan Esa. Adiknya terbatuk-batuk bangun. “Apa
yang terjadi?”
“Kau terjatuh ke laut.”
Esa meretakkan lapisan es yang mengurung tubuhnya.
Baik Erak dan Esa terpana melihat gulungan awan di langit
yang maha besar. Lalu petir-petir bersahutan. Memekakkan telinga. Satu sambaran
kilat mengenai layar kapal mereka, terbakar. Esa mengusir api yang membakar
layar dengan semburan es. Layar jadi berlubang dan kapal sulit untuk bergerak.
Erak dan Esa bergantian mendayung. Kadang mereka membiarkan kapal terbawa laut.
Tampaknya ruang dan waktu tak berujung. Terapung-apung
tak berdaya. Makanan kaleng mereka telah habis. Esa membuat tombak runcing dan
menembakkan ke ikan-ikan yang lewat. Mereka makan mentah-mentah.
Kapal terhempas akibat seekor paus yang sedang bersantap
plankton. Esa berpegangan erat ke kakaknya.
“Besar sekali paus itu.”
Di kala waktu ada sirip ikan hiu muncul ke permukaan. Mengitari
kapal mereka. Esa membunuh hiu itu dengan lemparan tombak es.
“Esa, itu lihat! Ada daratan!” akhirnya.
“Wah iya.” Esa melihat gedung-gedung pencakar langit. Puncaknya
dikelilingi kabut. “Mungkin ayah pergi ke sana.” Mereka berdua tahu itu adalah
harapan palsu.
Erak bergegas mendayung. “Kok menjadi hening begini.” Air
laut tenang. Angin tak terasa.
“Kakak.” Raut Esa berubah pucat pasi. Ia menunjuk ke belakang Erak.
Ketika Erak menoleh, sudah terlambat. Ombak tinggi menghempaskan
kapal mereka. Ombak dahsyat. Mendorong mereka lebih cepat ke tepi daratan. Esa
berteriak. “Kakak! Aku takut!”
Kakaknya tak menjawab. Erak sudah tak berada di kapal
lagi. “Kakak, kau ke mana?”
Ombak tinggi itu menyerbu kota. Hempasannya melumat
rumah-rumah, bebatu-an, gedung-gedung tepi pantai. Menghancurkan segala.
“Kakak!” Erak menghilang. Kapal terhanyut tinggi sekali
di kepala ombak. “Kakak!”
Telinga Esa berdenging. Air laut memenuhi rongga
tubuhnya. Ia tenggelam. Kapalnya telah hancur menabrak lantai teratas gedung.
Sunyi.
Detak jantung berpacu.
Ibu.... kau benar...
Ketika ombak menyurut, mata Esa terbuka. Biru
sebiru-birunya. Memancarkan cahaya.
Seharusnya aku tak pernah menggunakan
kekuatan ini...
Maafkan aku melanggar janjiku padamu ibu...
Tubuh Esa tenggelam di antara
puing-puing kota yang hancur. Dari sisi tubuhnya es mulai membentuk. Membekukan
air bah. Membuat kota itu dingin sedingin-dinginnya. Esa terjatuh dalam tidur
panjang. Terkubur oleh esnya sendiri.
Komentar
Posting Komentar