STORM OF WILD
-oOo-
“Nature
haters? We know them too well: lifeless creatures created without emotion or
aware of anything that is peripheral to their purpose.”

Seringkali kita terlupa. Kita tak
sendiri di alam dunia. Ada pula makhluk lain, tumbuhan dan hewan. Memenuhi permukaan
bumi. Menjadi kesatuan alam natural. Seringkali kita jumawa, merasa paling di
atas. Padahal, lebih sering kita berada di bawah mereka.
Alam memiliki caranya sendiri untuk
membalas kekurangajaran kita semua. Banjir bah karena kita buang sampah
sembarangan, menebang pohon sembarangan. Lantas kita sering menyalahkan, lupa
perbuatan diri sendiri. Semakin waktu bergulir, alam mulai terkikis, mulai tak
seimbang. Akibat kita.
Tidak serta merta pula kita menjadi
serba salah. Tentu kita ada yang benar dan peduli. Tapi banyakkah kita yang
demikian?
Kita geram ketika mendengar ada
segelintir orang yang mengaku manusia, memburu secara biadab hewan-hewan liar
yang dilindungi. Dengan bangga seolah itu adalah sebuah prestasi gemilang. Lalu
dipamerkan di muka umum. Berekor-ekor kucing hutan tertembak, tak berdaya,
hilang sudah nyawanya. Penuh senyum dan semringah si orang menjerat leher si
kucing, hasil tangkapan hari ini!
Dalam diri ini bergejolak, geram,
darah mendidih. Mengutuk orang-orang itu. Berharap orang-orang itu segera
mendapat ganjarannya. Baik di dunia maupun di akhirat. Seberat-beratnya,
berjuta kali lipat dari derita si kucing. Penuh pengharapan diri ini agar orang
itu bertukar nasib dengan buruannya. Bagaimana jika dia yang menjadi si kucing?
Maukah ia berpikir ulang untuk tak berburu?
Lalu mereka tetiba menghilang
dari peredaran. Entah itu karena menyesali perbuatan, atau kabur. Adapula yang
sungguh membuat kita lebih geram, ngeyel luar biasa. Orang-orang ini adalah
orang bodoh tak berperasaan. Semoga kau diperas tubuhmu sampai tetes darah terakhir,
tergencet tebing bergerak, setiap derita kau rasakan secara nyata. Ingin kudengar
jeritan kau yang tersiksa.
Maka hendak kutuliskan sebuah
kisah perumpamaan. Sebuah badai alam liar. Yang membalas perbuatan orang-orang
macam mereka. Alam selalu menemukan cara untuk membalas.
Hiduplah tiga orang pelindung
hutan lebat yang penuh dengan tetumbuhan, pohon serta hewan liar. Di sana
terdapat kerajaan satwa dengan singa sebagai sang raja. Rantai makanan terjaga.
Ekosistem seimbang.
Tiga orang itu mampu merubah
wujud menjadi hewan. Masing-masing mewakili satu wilayah. Darat, air, udara.
Tiga orang itu sebutlah sebagai
Gandaraga. Hidup tenteram saling menjaga satu sama lain. Nama mereka adalah
Asad, Gala dan Mamba.
Ekaka nama hutan itu. Luas
sekali. Dihimpit pegunungan dengan puncak berawan. Gala adalah Gandaraga
penjaga wilayah udara, suka berubah wujud menjadi elang leher putih. Mengawasi dari
langit tinggi.
Berenang di sungai berkelok,
Mamba mewujud buaya putih. Menjaga predator air supaya tak menggila.
Duduk dengan mata awas, di atas
batu besar, Asad mewujud harimau. Paling besar daripada kucing-kucing besar
lain. Mendidik singa, harimau, dan predator bergigi tajam lain supaya tak
memangsa secara serakah.
Sampai keseimbangan itu terusik
kedatangan manusia tak bertanggung jawab. Pertama yang datang dengan senapan
laras panjang, menembaki rusa. Tiga Gandaraga membiarkan, mereka menganggap
manusia itu bagian dari lingkaran alam. Yang menempati puncak rantai makanan.
Tapi mereka salah menganggap. Setelah
rusa mereka memburu kucing hutan. Untuk apa mereka memburu kucing hutan?
“Akan kuikuti mereka.” kata
Gala, melompat ke udara lalu berubah menjadi elang leher putih, membubung ke
udara. Ia mengikuti pemburu biadab itu. Setelah mengetahui apa yang mereka
lakukan terhadap kucing hutan malang itu, Gala geram, ia menyerang si pemburu. Menorehkan
luka paruhan yang dalam.
“Mereka menjual kulit kucing
hutan.” Gala memberitahu Asad dan Mamba. Di pohon tempat mereka bertemu
membahas keberlang-sungan hutan Ekaka. “Lalu mereka memakan dagingnya.”
“Kurang ajar. Biadab sekali. Predator
memakan predator.” Ungkap Asad. Ia mengaum geram.
“Keserakahan memang sudah
menjadi sifat manusia.” Kata Mamba.
“Kita pasang jebakan untuk
mengusir mereka.” usul Gala.
“Ya. Lakukan itu.”
Jebakan itu berupa kayu
gelondongan berayun. Sumur tombak. Jerat rotan. Asad mewujud kera sejenak,
untuk meminta bantuan supaya mereka mengganggu kedatangan manusia.
Beberapa pemburu terkena
jebakan. Yang lain pintar menghindar. Babon-babon berloncatan di atas pohon,
menyerbu si pemburu. Tapi peluru menembus badan mereka. Jerit babon menggema
seantero hutan. Si pemburu kabur tunggang langgang, takut serbuan makhluk liar
lain.
“Senjata yang kejam.” Kata Asad.
Meneliti tubuh tak berdaya babon-babon yang terkena tembakan peluru. “Akan
kuminta para harimau untuk memfokuskan cakar mereka terhadap pemburu yang
datang.”
“Mereka terus berdatangan.” Lapor
Gala. Meski telah dijaga harimau, manusia pemburu tak kapok datang. Datang dengan
senjata yang lebih canggih. Senjata jarum suntik. Ditembakkan dengan senapan. “Ada
tiga harimau yang terkena tembakan itu. Aku kira mereka langsung mati. Tetapi tidak!
rupanya senjata itu hanya melumpuhkan sementara. Tiga harimau diperjual belikan
di luar. Dijadikan hewan pertunjukkan!”
Asad mengaum. “Akan kubebaskan
mereka.”
Gala memberi tumpangan Asad
yang mewujud kera mungil. Ke tempat tiga harimau itu tertangkap. Mereka mengintai
dari kejauhan. Mencari kondisi aman untuk membebaskan tiga harimau. Rupanya tidak
terlalu jauh dari hutan Ekaka, sedang dibangun hunian, sebuah kota rintisan. Manusia-manusianya
membutuhkan hiburan. Pertunjukkan hewan buas yang dijinakkan.
Asad dan Gala meneliti
orang-orang ini dengan mewujud layaknya manusia. Ia duduk di antara penonton. Melihat
tiga rekan harimaunya diperlakukan bak mainan. Melompat melewati lingkaran api
dan lain-lain. Waktu pertunjukkan usai, Asad segera mengambil posisi. Tiga harimau
dimasukkan kerangkeng. Ketika penjaga tidur, Asad mewujud badak bercula. Menyeruduk
kerangkeng sampai hancur. Ia temukan pula hewan-hewan yang lain. Gala mewujud
elang mematuki gembok kerangkeng di tumpukan atas.
Hiruk pikuk terjadi. Penjaga terbangun
gelagapan, mencari senjata yang Gala sudah singkirkan sejauh mungkin. Mereka lari
tunggang langgang, barisan hewan-hewan liar pertunjukkan menawarkan ancaman.
Asad mewujud harimau, menuntun hewan-hewan itu menuju hutan Ekaka. Kembali ke
habitat asli.
Harimau, singa, gajah, kera,
kakaktua, beruang. Yang berhasil Asad bebaskan. Menambah anggota baru alam liar
Ekaka.
Mamba membawa kabar buruk. Ia berjaga
di sungai. Mendapati orang-orang itu datang kembali. Kali ini tidak mengincar
hewan-hewan. Melainkan pohon-pohon. “Mereka menebangi pohon kita.” Lapor Mamba.
“Mereka sedang membangun
hunian. Dekat Ekaka.”
Beragam usaha tiga Gandaraga
itu lakukan untuk memukul mundur para penebang pohon. Tapi mereka telah
dipersenjatai senapan yang lebih menyakitkan. Beruang yang berusaha menerkam
limbung tertembak kepalanya sampai tembus. Selain itu, mereka membawa mesin
besar yang menumbangkan pohon-pohon tinggi seolah bukan apa-apa.
“Apa yang harus kita lakukan?”
tanya Gala.
“Segala upaya kita lakukan
untuk memukul mundur mereka, tapi kita sendiri yang akhirnya jatuh. Kekuatan kita
tak sepadan.” Kata Mamba.
“Kita harus tetap melawan. Jika
mereka terus melakukan itu, hutan Ekaka akan semakin sempit dan keseimbangan
alam akan terganggu.” Asad mengaum.
Manusia berbondong-bondong
datang membabat hutan Ekaka. Hewan-hewan liar semakin terdesak. Suatu hari
kebakaran melalap sisi hutan Ekaka yang lain. Mamba susah payah meredakan api
itu dengan air, sebuah kemampuan khusus yang bisa ia lakukan sebagai Gandaraga.
Asad mewujud gajah, memimpin gajah-gajah lain untuk menyemprotkan air. Gala
menjadi bangau yang bisa menampung banyak air di paruh bawahnya.
“Kita tak bisa diam terus.” Desak
Gala.
“Kita sudah semakin terdesak.” Kata
Mamba.
“Aku tahu. Tapi kita tidak bisa
mempertaruhkan jati diri kita sebagai Gandaraga. Kau tahu sifat manusia. Jika mereka
mengetahui jenis kita, mereka ganti memburu kita.”
“Kita harus memberi mereka
peringatan keras. Kita tunjukkan apa yang bisa kita lakukan.” Gala bergelora.
“Beri mereka badai alam liar.”
Mamba setuju.
“Kita tak bisa gegabah seperti
itu. Barangkali tidak semua manusia itu berlaku demikian.” Tukas Asad.
“Ah, mereka sama saja!” balas
Mamba.
“Biar aku yang mengawasi. Mungkin
Asad ada benarnya.” Kata Gala.
Gala menemukan, dari atas udara
sana, sekelompok manusia yang menghadang orang-orang jahat pemburu dan pembabat
hutan. Mereka terlibat adu cekcok lalu saling hantam.
“Asad benar. Ada manusia yang
membela hutan kita.” Gala memberitahu.
“Badai alam liar tidak bisa
memilih korbannya. Jika badai itu terlepaskan, maka semua pun ikut tersapu.” Kata
Asad.
“Lalu apa yang akan kita lakukan? Manusia pembela hutan itu juga
tidak sekuat kita, jumlah mereka pun sedikit. Hari lalu, sungaiku terkena bom
obat. Ikan-ikan langsung mati dan mereka dengan serakahnya mengambil ikan-ikan
itu. Sungaiku jadi keruh dan beracun.” Mamba kesal.
“Badai alam liar hanya akan
menjadi pilihan terakhir kita.” Asad memutuskan. “Selagi kita bisa melawan,
kita lawan terus.”
Jadilah mereka terus melawan. Kali
ini mereka tidak melakukannya dari depan. Karena dengan mudah mereka akan
dilumpuhkan. Mereka menyerang dari belakang, dari sisi yang orang-orang itu tak
sadari. Untuk sementara cara seperti itu berhasil. Sampai manusia serakah itu
datang dengan alat-alat berat yang semakin banyak. Tak peduli sudah berapa
manusia suruhan mereka yang jatuh nyawanya di hutan ini. Mereka tak peduli.
Mereka semakin
berbondong-bondong datang. Membabat hutan, memburu hewan-hewan baik yang jinak
dan buas, menyebabkan banyak kerusakan. Tiga Gandaraga kewalahan, hewan-hewan
terdesak dan pergi menuju kota. Hanya untuk mencari tempat berlindung yang
lebih aman, namun kematian yang mereka dapat. Mereka dianggap sebagai ancaman,
lalu dilenyapkan.
“Sudah banyak hewan liar
penghuni hutan Ekaka yang mati!” Mamba mengamuk.
“Aku tahu Mamba! Kaupikir aku
tak prihatin?” Asad mencoba memegang kendali.
“Semakin sedikit manusia yang
membela kita. Kuperhatikan, mereka pun dilenyapkan layaknya hewan-hewan itu.
Ada yang dibungkam dengan sejumlah harta. Sehingga perjuangan mereka teralihkan.
Mereka yang masih memegang teguh pendirian, tetap melawan.” Gala menengahi.
“Mereka tak akan berhenti
sampai mereka tahu apa yang sebenarnya mereka hadapi.” Kata Mamba.
“Begitu?”
“Itu pilihan terakhir kita. Sudah
tak ada pilihan lain. Semakin kita menunda semakin hutan ini dibabat
kehidupannya oleh manusia biadab itu.”
“Maka sambutlah badai alam liar
ini.” Ucap Asad, berat hati. “Tapi kita akan menyerang orang-orang ini saja. Bukan
penghuni kota. Kau Gala, temukan lokasi orang-orang ini.”
“Baik. Dengan senang hati.”
Gala membubung ke langit dengan sayapnya yang merentang.
“Aku temukan sebuah tempat. Bangunan
besar tempat orang-orang serakah itu berkumpul dan melakukan bisnis. Bisnis kotor.
Aku melihat banyak kayu hutan Ekaka di sana.”
“Baik. Kita mulai.”
Tengah malam mereka berkumpul. Membuat
lingkaran. Tiga Gandaraga mewujud manusia. Mengucapkan lantunan mantra panjang.
Yang membisik ke dalam jiwa setiap hewan yang tersisa di hutan. Memberi dorongan
untuk melawan. Membalas perbuatan orang-orang serakah itu.
Dimulai. Fajar merekah dan
gerudukan hewan-hewan buas mulai membanjiri jalan. Asad mewujud harimau besar,
Gala terbang paling depan ribuan jenis burung, Mamba diikuti buaya-buaya sungai
dan ular-ular melata.
Alat-alat berat ditumbangkan
oleh barisan badak dan gajah. Tenda-tenda dihancurkan oleh beruang. Singa menerkam
mereka yang berlari. Mereka bagai banjir bah hewan-hewan liar. Menerkam,
menerjang, menyeruduk, mencakar, mematuk, menggigit, membelit, semua dilakukan
tidak sampai orang-orang itu mati. Bahkan dalam badai alam liar ini, tidak
sebiadab yang manusia-manusia itu telah lakukan.
Orang-orang telah siap dengan
senjata di tangan. Menembaki barisan badai hewan buas. Biarlah beberapa yang
gugur, asalkan badai ini terus menyapu mereka sampai terpukul mundur.
Badai alam liar dan buas
menyudutkan manusia-manusia ini sampai rasa takut membangunkan mereka. Lari
kalang kabut. Mengendarai mobil-mobil sampai ke kota. Badai pun berpindah ke
sana.
Sampai di kota.
Tenang sebelum badai. Tiga
Gandaraga mewujud manusia. Berdiri paling depan. Di hadapan mereka telah
bersiaga barisan manusia berseragam dengan senjata lengkap.
“Hentikan upaya kalian membabat
hutan Ekaka. Kalian tak tahu apa yang telah kalian lakukan. Kalian merusak
keseimbangan alam. Maka bencana akan menerjang kalian. Kami, dalam badai alam
liar nan buas ini, adalah peringatan terhadap apa yang bisa alam lakukan
sebagai balasan atas keserakahan kalian.” Tiga Gandaraga dalam satu suara.
Tenang sebelum badai. Barisan
hewan buas menggeram-geram.
Senjata dikokang.
Banjir darah.
Komentar
Posting Komentar