RUMAH JOGLO PUTIH
“I will
hurt you for this. I don’t know how yet, but give me time. A day will come when
you think yourself safe and happy, and suddenly your joy will turn to ashes in
your mouth, and you’ll know the debt is paid.”
― George RR Martin, A Clash of Kings
― George RR Martin, A Clash of Kings
“Grudges are for those
who insist that they are owed something; forgiveness, however, is for those who
are substantial enough to move on.”
--Cris Jami, Salome:
in every inch in every mile
Dua teman yang lama tak
berjumpa melakukan perjalanan yang telah direncanakan jauh-jauh hari ketika
mereka masih bersekolah. Rima dan Tika, sudah belasan tahun tak berjumpa. Kali
ini adalah waktu yang tepat bagi mereka. Waktu, kesempatan, dan dana
mengijinkan mereka berangkat. Ke suatu tempat yang belum pernah mereka datangi.
Bahkan, tak tertera di peta ponsel pintar.
Di sebuah desa kecil pinggir
sungai mereka tiba. Desa itu hening, rindang, dan bersahabat. Desa itu masih
mempertahankan adat, itu terlihat dari rumah-rumah yang mereka lewati, rumah
joglo.
Tapi ada satu rumah yang
membuat mereka penasaran. Rumah joglo putih. Dari sekian rumah yang ada di desa
itu rumah itu satu-satunya yang bercat putih. Rima dan Tika terdorong untuk
mengunjungi rumah itu, beramah tamah dengan tuan rumah.
Niat mereka hampir terbendung
karena penjaga warung berkata, “jangan ke sana mbak, rumah itu berhantu.”
“Hantu?” tanya Tika. Yang tidak
terlalu percaya dengan perkara gaib semacamnya.
“Iya mbak, rumah itu sudah
tidak ada penghuninya. Tapi ditunggui oleh hantu pemilik rumah. Tuh, aku jadi
merinding.” Si penjaga warung menunjuk bulu-bulu di lengannya yang berdiri,
bintik-bintik pori-pori yang menyembul.
“Terima kasih bu infonya.” Kata
Tika menyudahi.
“Gimana kerr, mau masuk rumah
itu gak?” Semakin seram suatu tempat, tidak menghalangi Rima untuk datang dan
membuktikan sendiri angker atau tidaknya tempat itu. “Lu kan gak percaya hantu,
lu gak takut kan.”
“Enggak lah, ngapain gue takut sama hantu.”
“Ayok kalau gitu.”
Jadilah mereka mendatangi
rumah joglo putih. Angin semilir meniup dedaunan yang tampaknya sudah
berbulan-bulan tak disapu. Teras rumah kayu itu luas tapi kotor penuh debuh. Cat
putihnya terkelupas di beberapa tempat. Saat mereka menapakkan kaki kanan dan
mengucapkan salam, pintu tengah terbuka perlahan. Menyambut mereka.
“Itu tandanya kita
dipersilakan masuk, Kerr.” Kata Rima.
Tanpa ragu mereka masuk ke
dalam. Sinar matahari menyelinap masuk menerangi ruangan seadanya. Perabotan
dalam rumah itu terbuat dari kayu dan bambu, penuh debu. Anyaman bambu
berlukiskan wajah-wajah tergantung di dinding. Di satu sofa bambu duduklah
seorang ibu, termenung, sendu. Tersenyum menyambut mereka. Mempersilakan Rima dan
Tika untuk duduk bersamanya.
“Permisi bu, ibu yang punya
rumah ini?” tanya Tika sopan.
Ibu itu mengangguk, tersenyum
ramah. “Iya betul. Saya tinggal di sini.”
Ibu itu sama sekali tidak
seperti hantu. Pakaiannya bersih, kakinya menapak lantai, sama sekali tidak
seram. Tika tidak merasakan ada aura hantu di ibu itu. Ibu itu seorang manusia.
Mereka mendekat, duduk di
samping ibu itu. “Mari mbak, saya mau cerita sesuatu.”
“Cerita apa bu?” Rima bertanya,
antusias.
“Tentang anak saya. Ada dua.
laki-laki dan perempuan. Kembar. Mereka suka berlari-larian di teras, mengitari
saka. Suatu hari mereka pergi agak jauh ke dekat sungai. Seharian ibu menunggu
mereka tidak pulang-pulang.” Ibu itu lalu terdiam, lama. Matanya sendu. Seperti
ingin menumpahkan air mata.
Rima dan Tika masih menyimak,
sesekali bertukar pandang.
“Mbak, bolehkah saya balas
dendam?” tiba-tiba ibu itu bertanya. Memecah kesunyian. Bahkan debu yang
memenuhi lengan sofa bambu beterbangan. Membuat Tika bersin.
“Maaf bu.” Tika buru-buru
mengusap hidungnya dengan tisu.
“Balas dendam kenapa bu?”
Rima penasaran.
“Kedua anak saya dibunuh.”
Jawaban itu membuat Rima dan
Tika tersentak, berbarengan mereka mengucap, “Inna Lillahi wa inna ilaihi roji’un.”
Ibu itu menutup wajahnya,
sesenggukan. “Bolehkah saya membalas dendam kepada si pembunuh kedua anak saya,
mbak?”
Rima dan Tika saling pandang,
ragu ingin menjawab bagaimana. Mereka berdua tidak takut sama sekali, walau
pertanyaan si ibu tergolong menyeramkan, tapi mereka tidak merasa terancam.
“Boleh tidak mbak?”
“Bagaimana mereka terbunuh,
bu?” Rima menimpal.
“Pegang tangan ibu, mbak.”
Ibu itu mengulurkan tangannya yang putih bersih, sedikit guratan penuaan di
sela-sela jari.
Rima meraih tangan kiri ibu
itu sedangkan Tika tangan kanan. Tiba-tiba saja ruangan itu bercahaya terang,
kemudian menyusut. Cahaya itu menggulung bagai karpet, melingkupi mereka
bertiga.
Inikah perjalanan astral?
Tika membatin. Mereka terbang. Meninggalkan
tubuh mereka di bawah sana. Garis-garis meregang di sekitar mereka,
berkelebat-kelebat. Tangan ibu itu memegang erat tangan mereka.
Lalu sampailah mereka di tepi
sungai. Seorang pemuda berpakaian hitam sedang memasukkan kelaminnya lalu
menarik resleting. Kemudian kabur.
Di semak-semak tertutup,
mereka menemukan dua anak terbaring tanpa daya. Wajah mereka hancur tak dikenali. Pakaian
mereka terkoyak, terutama celana. Darah mengalir tanpa henti merembesi
rerumputan.
Ibu itu menangis
menjadi-jadi. Memegang dadanya, seolah ia habis tertancap pisau belati.
“Sungguh keji.” Komentar
Rima.
Tika tak sanggup melihat
lebih lama.
“Itu anak saya, mbak.” Suara ibu
itu tersendat, bergetar. “Mereka dibunuh dengan biadabnya, tak cukup begitu, si
penjahat memerkosa kedua anak saya yang baru berumur tiga belas tahun. Salah apa
mereka hingga diperlakukan seperti itu?” ibu itu meraung.
“Mereka tidak salah apa-apa
bu, penjahat itu yang biadab laknat.” Kata Rima.
Tika memeluk ibu itu, mencoba
menenangkannya. Memberinya dekapan simpati.
“Ini terjadi tiga tahun lalu.”
Tambah ibu itu, “jadi, menurut mbak, pantaskah saya ingin membalas dendam?”
“Pantas bu, jika saudara atau
anak saya diperlakukan begitu, saya akan balas. Apa pun resikonya.” Jawab Rima
menggebu-gebu. “Nyawa dibayar nyawa.”
“Jadi boleh balas dendam?”
Rima mengangguk tegas. Tika
yang masih mendekap ibu itu, melonggarkan pelukannya, lalu memberikan jawaban
terbaiknya. “Ibu, tindak pembunuhan memang salah dan dosa besar. Karena membunuh
satu manusia sama dengan membunuh semua manusia yang ada di dunia. Apalagi membunuh
dua lalu memperkosanya. Jika ibu ingin membunuh pelaku, berarti ibu juga
membunuh manusia sedunia. Saya tidak ingin melarang ibu, saya tahu ibu punya
hak untuk itu. Tapi coba ibu renungkan dan tanya dalam hati kecil ibu, apakah
anak ibu ingin ibunya membunuh orang atas alasan balas dendam? Biarkan si
pelaku ditangkap dan diadili sesuai hukum di negeri ini. Atau, Allah SWT yang
akan langsung membalasnya. Mereka yang melakukan kejahatan tidak akan tenang
hidupnya.”
Ibu itu merenung. Rima
sepertinya tidak puas dengan jawaban Tika, tapi ikut meresapi. Temannya itu
benar.
Si ibu terjatuh di
rerumputan, menangis tersedu-sedu. Hampir tak mengeluarkan suara. Adegan itu
sungguh menyayat hati Tika. Dia bisa merasakan pedih yang mendalam ditinggalkan
orang yang dicintainya, apalagi orang itu meninggal karena dibunuh. Tika
mengusap punggung ibu itu dan mengajaknya berdiri.
“Mari ibu, ikhlaskan kepergian
anak ibu. Balas dendam yang terbaik bisa ibu lakukan adalah mendoakan mereka. Doa
ibu didengar Allah.”
Rima ikut menangis, lalu
merangkulkan tangannya bersama mereka. Meresapi dan merenungi musibah yang
menimpa sang ibu. Memetik pelajaran darinya.
Lalu mereka kembali.
“Terima kasih mbak telah
membantu ibu menemukan jawaban. Tapi, ibu tak lagi bisa berdoa.”
“Kenapa bu?” desak Rima.
“Kalian tahu mengapa.”
Pintu masuk membuka,
menandakan mereka harus pergi dari rumah joglo putih ini. Si ibu tersenyum, air
matanya tak lagi meneteskan duka melainkan keikhlasan. Tiap tetesan itu
mengurangi beban duka yang telah dihabiskannya selama tiga tahun terakhir. Tangisan
duka yang membuatnya tak lagi bernapas.
“Ibu itu adalah hantunya.”
Tika menyimpulkan.
Ketika Rima menengok ke
belakang, tak didapatinya ibu itu lagi. “Benar kata si penjaga warung.”
Mereka keluar tanpa perasaan
horor. Langkah mereka seperti orang yang telah tersiram hikmah sebuah dakwah
tentang kehidupan dan kematian. Perjalanan mereka kali pertama ini ternyata sangat
bermakna.
~~terilhami
dari sebuah mimpi
Komentar
Posting Komentar