MENTALIST. first scene on the first episode of season 1


Pita garis kuning polisi telah melingkupi satu kediaman, sebuah rumah dengan halaman hijau yang luas. Rumah itu tampak seperti rumah-rumah tua mewah yang kita temui di foto-foto kuno. Beberapa mobil putih hitam berhenti di depan rumah itu juga sebuah mobil paramedis warna merah. Ramai orang merubungi kediaman itu sebagian besar adalah wartawan, rupanya pemilik kediaman itu adalah orang yang cukup berpengaruh di lingkungannya, petugas sedang sibuk mengambil keterangan dan menjaga keramaian itu tidak membludak dan mengganggu pekerjaan polisi. Kru televisi tengah bersiap melakukan liputan. Beberapa orang melihat selebaran, baik yang ditempel di pohon maupun selebaran yang tercecer di jalan. Di situ terpampang foto seorang gadis yang dinyatakan ‘Hilang’ gadis berambut pirang tersenyum, alisnya tipis lurus, Mercy Tolliver.

Datanglah dua orang, laki-laki dan perempuan, yang perempuan adalah detektif dan satunya konsultan. Si laki-laki bernama Patrick Jane, melihat-lihat dengan tenang, tangannya dimasukkan ke saku jas. Sedangkan si perempuan, Teresa Lisbon, dengan mantap dan pandangan lurus, menghampiri petugas yang sudah lebih dulu di tempat, “Kapten.” Sapanya.

“Agen Lisbon.” Balasnya, “Jangan pikir kami membutuhkan kalian di sini.” Katanya dengan cuek. “Kami tahu pelakunya adalah anak lelaki, si tetangga yang menemukan mayat itu.” di seberang mereka berdiri, seorang remaja laki-laki berambut panjang berpakaian sweater bergambar tiga tengkorak penuh darah, diborgol dan dikerubungi oleh wartawan yang haus berita, seorang petugas membawanya.

“Apa dia mengaku?” tanya Lisbon.

“Eh, dia itu berandal. Sulit dikata jika bukan dia pelakunya.”

Teriakan wartawan yang merongrong, “Apa kau yang membunuh cewek itu?”

Patrick Jane mengamati bocah tersebut yang keliatan susah payah menghindari kerumunan wartawan untuk masuk ke dalam mobil polisi. Di sisi lain, tim koroner mengangkut jenazah Mercy Tolliver. Ia melihat tato malaikat kematian di lengan salah satu petugas. 

“Ayah Mercy mau memberikan pernyataan.” Si Kapten memberitahu.

Di pekarangannya, Tolliver berdiri di atas podium, di sebalah kanannya adalah pengacaranya, sedang di kirinya adalah istrinya yang tampak tertekan dan sedih.

“Aku hanya butuh waktu sebentar dan berterima kasih kepada polisi dan relawan yang telah membantu kami untuk mencari putri tercinta kami.”

Patrick ikut mendekati kerumunan wartawan, ia mengamati, dengan seksama, sepasang suami istri di atas podium itu. Tampak jelas sekali bahwa sang istri teramat tertekan dan sebetulnya tak ingin ikut bersama suaminya di atas podium itu, ia menggenggam gumpalan tisu. Pandangannya kosong dan terkesan menghindar, itu terbukti, sang suami hendak menggenggam tangannya namun segera melepaskannya lagi.

“Mengetahui bahwa kalian telah berkumpul bersama dan mendukungku dan Juniper di masa sulit ini, telah memberi kami ketenangan yang luar biasa.” Si Suami berusaha memeluk sang istri, yang tampaknya diterima dengan terpaksa oleh si istri. “Dan kami meminta ijin untuk memberikan kami waktu, ruang dan privasi untuk berkabung atas anak putri kami. Terima kasih.”

Patrick menyingkir dari konferensi pers tersebut, masuk diam-diam ke dalam rumah keluarga Tolliver. Mengamati dengan santai, berjalan melalui lorong, menuju satu tempat yang selalu ditujunya setiap kali melakukan pengamatan. Dapur.

Ia menyalakan kompor dan mengisi air dalam teko. Membuka kulkas dan melihat isinya, melihat berkotak-kotak teh celup tersedia di sana, ia mengambil Cammomile, kesukaannya. Lalu mengambil roti, keju, dan selapis daging ham. Ia membuat sandwich. Sambil mengunyah sandwich lezat untuk sarapan, ia mengecek foto kolase di pintu kulkas, terdapat banyak foto keluarga Tolliver. Ia dan istrinya, ia dan anaknya dalam fotobox. Si anak perempuan duduk di pangkuannya.

Bunyi teko air panas tanda air sudah siap. Ia menuangkan air itu ke cangkir. Bertepatan saat Patrick mencelupkan kantung cammomilenya, Juniper masuk dan setengah terkejut mendapati penyusup di dapurnya.

“Halo, Mrs. Tolliver.” Sapa Patrick dengan santai dan bersahabat.

Juniper menimbang-nimbang, antara ingin mengusir dan menerima tamu, ia meremas gumpalan tisu, matanya merah. “Siapa kau?”

“Namaku Patrick Jane. Aku di sini untuk menolongmu.”

Mereka saling pandang selama sesaat, Juniper mempertimbangkan untuk menerima tawaran Patrick.

“Kau mau secangkir teh?”

“Ya,  aku mau. Terima kasih.”

Patrick memang telah menyiapkan dua cangkir untuknya. “Kau pasti lelah. Kenapa kita tidak duduk saja.” Patrick membawa dua cangkir itu ke meja. Juniper mengambil duduk. Masih terlihat ragu-ragu. “Di sini nyaman dan tenang, ya?” Patrick mempersilakan, sambil menarik kursi. “Sunyi, menenangkan, tenang.”

Patrick menyentuhkan tangannya ke tangan Juniper. Memberi simpati. “Tenanglah.”

Juniper menarik napas. Memejamkan mata barang sejenak. Lalu mata ke mata pada Patrick. Wajah pria ini begitu menenangkan, kesan bersahabat dan begitu perhatian, dan pengertian.

“Aku mengamatimu dan suamimu dan aku ingin kau tahu bahwa aku mengerti apa yang kau rasakan saat ini.” Kata Patrick, suaranya tenang dan dalam.

Sembari menyesap tehnya dan mendengar pernyataan patrick, “Kau sama sekali tak tahu. Percayalah.” Kata Juniper.

“Sungguh. Aku tahu. Aku mengerti dan aku ingin membantumu.”

“Kau tak bisa menolongku.” Suara Juniper bergetar, air matanya pun ingin memberontak keluar dari kelopaknya. “Apa yang kau tahu?”

Patrick tersenyum, “Banyak hal. Kau hanya berpura-pura menyukai ski, kan?”

“Ya, tapi..”

“Kau senang teman baikmu berhasil menurunkan berat badan baru-baru ini. Sekitar 10 pon. Kau berharap dulunya kau lebih banyak melakukan petualangan.” Juniper menyimak, ia merasa ucapan Patrick ada benarnya. “Kau suka India, tapi kau sama sekali belum ke sana. Kau punya masalah tidur. Warna favoritmu.. adalah.. biru.”

“Aku tak mengerti. Kau... kau cenayang?”

“Ha, tidak... aku hanya memperhatikan. Dulu aku punya hidup bagus dari berpura-pura jadi cenayang. Kuberitahu kau ini karena aku ingin kau mengerti bahwa tak ada gunanya menyembunyikan hal dariku.”

Juniper menelan ludah, ia seperti ditembak ditempat, “menyembunyikan apa?”

“Kau tahu apa yang kulihat dari suamimu? Aku melihat kehangatan, cinta, pria yang baik, egois, tukang atur. Tapi pria yang layak.”

“Ya.” Juniper tahu itu benar.

“Jadi, kenapa kau mencurigainya sebagai pembunuh putrimu?”

Juniper bergetar, “aku tidak..” ia meremas tisunya. “bocah McCluskey yang melakukannya.”

“Ya, itu yang dikatakan polisi. Tapi kau beranggapan mereka salah. Kenapa?” suara Patrick begitu tenang bagai air tak tertiup angin. Begitu dingin dan juga menenangkan sekaligus menuntut.

“Aku... aku tak.. aku tak tahu..” Juniper tergagap.

“Katakan padaku.” Patrick tidak memaksa, ia mempersilakan. Mata birunya tak lepas dari Mrs. Tolliver.

Akhirnya pertahanan Mrs. Tolliver runtuh, “tahun lalu, mereka berdua terlihat begitu aneh terhadap satu sama lain. Dan dua-duanya menyangkal ada sesuatu hal yang salah. Dan kupikir..” Juniper menyentuh tumpukan selebaran putrinya, “kupikir dia pernah mencoba memberitahuku sekali, dan aku ... tidak..” Juniper berusaha menahan airmatanya agar tidak terjatuh. Akhirnya ia tak tahan, “Tuhan, oh Tuhan.”

“Apa kau menanyai suamimu jika dia membunuhnya?”

“Apa yang akan dikatakannya?”

“Kebanyakan istri bisa mengenali ketika suaminya berbohong.”

Juniper tak lagi menangis tahu kenyataan itu. “Ya. Ya. Benar.” Ia mengangguk angguk. Tak lama, ia mulai menyangkalnya lagi. “Aku tidak mau... uh.. tidak... bocah McCluskey yang melakukannya.”

“Mungkin.”

Tapi Juniper kembali lagi ke pemikirannya semula, ia menatap mata biru Patrick Jane. “Kau juga berpikiran sama?”

Patrick sedikit mencondongkan kepalanya lebih dekat, ia membiarkan kata-katanya mengalir lebih dalam lagi. “Aku percaya naluri keibuan.”

“June?” si suami datang. “Disitu kau rupanya.” Ia mendapati Patrick tengah berbincang dengan istrinya, “Hai, siapa kau?” dua tanganya di pinggang.

Patrick berdiri, berbalik dan menjabat tangan Mr. Tolliver dengan mantap, “aku polisi. Apakah kau membunuh putrimu?” tembaknya langsung.

Mr. Tolliver menanggapinya dengan bingung, tidak langsung menyangkal atau memberi lemparan pukulan ke Patrick. Juniper menyaksikan raut wajah suaminya.

“Beraninya kau?” ucapnya dengan nada tersinggung.

“Aku bertanya pertanyaan simpel, pak. Apakah kau membunuh putrimu?” Patrick menghadapi Mr. Tolliver lebih dekat dan lebih intens.

Mr. Tolliver tampak tercengang, tersinggung, namun reaksinya begitu lambat. “Tidak. Aku tidak membunuh putriku.”

Juniper menjerit, “Ohh.” Patrick melihatnya, si istri menahan emosi, mengguncang-guncang tangannya.

“Sekarang, kau keluar dari rumahku!” perkataan Mr. Tolliver tidak digubris Patrick. Sendirinya, Mr. Tolliver memperhatikan istrinya, “June? June, ada apa denganmu?”

Juniper beranjak dari meja dapur.

Tidak sabar, Mr. Tolliver berkata, “Aku akan mengambil lencanamu.”

“Seorang yang tak bersalah akan memukulku.” Ejek Patrick.

“Aku akan membuat hidupmu susah!” Ancam Mr. Tolliver. “Kau datang kemari, bicara dengan istriku, kau membuat masalah, uh..” suara Mr. Tolliver meninggi tapi kemudian berhenti. Ia lihat istrinya membawa pistol. “June.. June.. sayang, jangan...”

Terdengar tembakan lima kali. Teresa Lisbon yang berada di luar bergegas lari ke dalam rumah. “Tembakan. Di dalam.”

Bersama beberapa petugas, Lisbon menodongkan pistol, bersiaga, mendapati Patrick mengangkat kedua tangannya ke atas, Juniper memegang pistol dan tampak lega setelah menembak suaminya di dada lima kali.
“Jujur saja, ini tidak seburuk yang terlihat.” Kata Patrick, seolah tak terjadi apa-apa yang serius.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA