BIG HEAD REX


“Maybe everybody in the whole damn world is scared of each other.”
John Steinbeck, Of Mice and Men

 
Di sebuah kampung kecil di pojok kampung besar, dekat lereng gunung, seseorang hidup menyendiri.  

Di Kampung Lereng dia tinggal. Dalam sebuah rumah kayu lapuk. Dia ditakuti oleh para penduduk kampung Lereng. Karena satu hal: kepalanya dua kali lipat besarnya.

Jika saja dia punya ekor, dia bakal lebih mirip T-Rex. Seirama dengan namanya : Rex. Kepalanya terlampau besar, bukan karena mengidap tumor, memang dari awal kemunculannya (penduduk kampung tidak tahu menahu kapan Rex lahir dan siapa yang melahirkannya). Tangannya mungil, satu tangan utuh tapi ukurannya sepanjang bahu sampai siku tangan manusia normal. Telapak tangannya lebih kecil dari telapak tangan bayi yang baru lahir. Tapak kakinya besar. Tinggi Rex hanya sepinggul orang dewasa. Keseraman wujudnyalah yang membuat warga kampung teramat takut mendekati wilayah rumah kayu Rex.

Rex sudah ada sebelum kampung itu dihuni penduduk. Tidak ada yang tahu pasti kapan. Dan selama itulah, Rex tak pernah berinteraksi dengan manusia. Seringkali di sebuah rapat, Kepala Desa menghendaki Rex itu diusir. Penduduk berjengit ngeri mendengar usul itu, “jangan pak, nanti kualat. Dia sudah lama berada di sini sebelum nenek moyang kita.” Rupanya Kepala Desa itu bukan warga asli kampung Lereng. Kepala desa itu dimutasi dari kampung tetangga.

Pada suatu malam Kepala desa yang masih muda, berumur tiga puluhan itu mengintai dari balik pohon. Rumah kayu Rex diterangi pijar petromaks. Remang – remang yang bikin bulu kuduk berdiri. Hampir jam satu malam, Kepala Desa tetap di tempatnya sampai tak disadari dirinya mengantuk. Saat terjaga, Rex ada di hapadannya. Menyeringai menyeramkan sambil membawa obor, dikepit oleh dua tangan yang tak bisa menggenggam. Kepala desa itu mengadu bahwa yang dilihatnya adalah T-Rex.  “Bayi T-Rex! Bagaimana bisa kalian hidup berdekatan dengan dinosaurus itu?”

“Dia bukan Dinosaurus pak! Dia manusia. Sama seperti kita.” Kata perempuan yang paling tua di desa. “kami sudah bersumpah tidak akan mengganggunya.”

Besoknya Kepala Desa itu kabur. Jabatannya digantikan oleh perempuan paling tua di desa. Sesepuh Nyinyi namanya.

Di bawah kepemimpinan Sesepuh Nyinyi, warga diajarkan untuk tidak takut terhadap Rex. Melainkan lebih menghormati keberadaannya. Seburuk apa pun makhluk, mereka semua memiliki alasan untuk hidup di dunia ini. Jika memang kita semua tidak tahu asal usul Rex, maka biarkanlah seperti itu. Mungkin itu jalan yang terbaik supaya tercipta kedamaian.

Di dalam sebuah komunitas, pasti ada saja yang kontra, kelompok kecil yang senang menebar isu teror, tukang provokasi massa.

Mereka terdiri dari bapak – bapak licik, pemuda jail dan pengincar kekuasaan. Mereka membisikkan kepada warga, bahwa Rex berbahaya. Mereka bakal tidak aman jika Rex tetap di desa itu.

Katanya suatu malam mereka mendapati Rex mencuri anak ayam milik seorang bapak. Lalu memakannya langsung. Mereka sampai menunjukkan bukti bulu ayam yang jatuh di tanah dekat rumah kayu Rex.

“Kalau dibiarin terus seperti ini bisa – bisa ternak kambing kita diembatnya. Bahaya itu.”

Sesepuh Nyinyi diam mendengarkan, dia tahu betul bahwa itu bohong, bahwa isu itu rekaan komplotan provokator yang tidak senang dengan Rex dan dirinya sendiri. Ia hanya tersenyum datar mendengarkan hasutan mereka. Banyak juga warga yang termakan isu itu.

“Dengarkan. Lihat kantong jaket pemuda itu! bulu ayam juga ada di dalamnya. Ini bohong. Mereka memfitnah Rex. Dengar. Rex tidak akan mengganggu kita selama kita tidak mengganggunya.”

Pemuda itu menciut, seorang hansip menggeledah kantongnya dan benar ada bulu ayam di situ dan di kantong sebelah kiri ada bungkusan plastik yang isinya ternyata anak ayam yang hilang, sudah mati lemas kehabisan napas. Bapak pemilik ayam memukul pemuda itu dengan sapu lidi, lalu dia diarak ke tempat pengasingan desa bagi warga yang melakukan kejahatan, sebuah gubuk tak berjendela di dekat kawasan rumah Rex. Dua hari pemuda itu dikurung. Setiap waktu tak dilewatkannya tanpa rasa takut. Saat keluar si pemuda tak pernah berulah lagi. Kini komplotan itu kehilangan satu anggota.

Selama beberapa waktu komplotan itu tidak beraksi lagi. Tapi Sesepuh Nyinyi tahu mereka sedang mempersiapkan sebuah agenda.

Betul saja!

Si pemuda mantan anggota komplotan ditemukan tewas di depan rumah kayu Rex. Leher pemuda itu tersayat. Matanya membelalak. Jejak darah tercetak dari mayat si pemuda sampai titian tangga teras rumah Rex. Sebuah golok tergantung di pegangan pintu. Telunjuk pemuda itu menunjuk ke satu arah.

Di balik pohon, Rex bersembunyi, selama ini dia tak pernah bertampang seperti itu. Rex yang misterius dan menakutkan justru terlihat gemetar karena takut.

“Lihat! Rex membunuhnya!” teriak salah satu anggota komplotan ketika ramai-ramai warga berkerumun di TKP. Polisi bersarung tangan dengan hati-hati memindahkan mayat pemuda ke kantung jenazah. Para penyidik memotret TKP.

Sesepuh Nyinyi tak bisa berbuat apa-apa. Agenda komplotan telah meracuni pikiran warga. Damai yang sebentar telah hilang berganti kecemasan luar biasa. Saat polisi hendak memborgol Rex, sesepuh Nyinyi mencegahnya. “Jangan tangkap Rex. Jangan kurung dia di tahanan. Biarkan dia kami kurung di desa kami.”

Pak Polisi menimbang, ada betulnya. Sosok ganjil Rex pasti bakal menakut-nakuti napi lain. “Baiklah. Akan kami bawakan kerangkeng untuknya.”

Rex takut terhadap teriakan warga yang terlanjur percaya bahwa ia pembunuh. Sebongkah batu mengenai kepalanya yang besar, darah segar mengalir. Tangan mungilnya berusaha mengusap mata yang menangis, namun tak sampai. Sesenggukan Rex, melolong seperti suara anak sapi.

“Dasar pembawa sial!”

“Rex itu kutukan!”

“Pembunuh tak berperasaan!”

Hati sesepuh Nyinyi sakit mendengar kata-kata itu. ia tak kuasa membendung amarah warga. Maka yang bisa ia lakukan adalah berbicara kepada penyidik. Menceritakan segalanya yang ia tahu tentang Rex.

Gagal. Si penyidik sama saja seperti warga lain. Mereka enggan untuk menyelidiki kembali kasus pembunuhan ini. Karena bukti yang mereka dapat sudah lengkap dan semua mengarah ke Rex. Yang sangat memberatkan adalah, ada noda darah di telapak mungil Rex. Cocok dengan darah si pemuda.

Jadilah Rex dikurung dalam kerangkeng besi. Digantung di atas pohon. Hukumannya tak hanya itu, warga merubuhkan rumah kayunya dengan alat berat. Sesepuh Nyinyi marah besar, namun tak digubris oleh warga.

Rex sesekali diturunkan untuk diberi makan oleh Sesepuh Nyinyi. Ia menangis acapkali melakukannya. “Akan kucarikan keadilan untukmu. Walau sampai ke ujung dunia.”

Kasih sayang yang diberikan Sesepuh Nyinyi menyentuh hati Rex. Ya, Rex juga punya hati. Itulah pertama kalinya Rex berucap. “Panggilkan Penyihir Putih Warugan.”

Sesepuh Nyinyi awalnya kaget, “bagaimana aku memanggilnya? Aku tak tahu siapa dia.”

Tangan mungil Rex menunjuk kalung bandul batu di lehernya. “Batu ini.”

Sesepuh Nyinyi mencabut kalung itu dari leher Rex. Ia memencet batu itu. Segaris cahaya muncul menembus hutan. Cahaya putih gemilang.

Sehari setelah malam itu, sesosok pria jangkung berjubah putih dengan topi kerucut, berjanggut panjang sepinggang, membawa tongkat putih mendatangi desa. Semua orang terheran-heran. Ia berteriak. “Semua warga kumpul di hutan! Sekarang!”

Suaranya menggelegar, mensugesti semua warga untuk mematuhinya. Bahkan para komplotan pun tak kuasa menolak. “Siapa kau?”

“Tak penting siapa aku. Yang terpenting adalah kebenaran. Kalian semua bedebah telah melakukan kesalahan besar. Dan kalian akan mendapatkan akibatnya.”

Sesepuh Nyinyi keluar dari rumah, “itukah Penyihir Putih Warugan?” tanyanya kepada diri sendiri. “sepertinya betul.” Ia lalu berlari mendekati penyihir itu.

“Ah, Nyinyi, lama tak jumpa.”

“Apa aku mengenalmu?”

“Ya, di kehidupan yang lalu. Nah, sekarang mari kita selamatkan sahabat kita.”

Semua warga akhirnya berkumpul di hutan tempat Rex dikrangkeng. Dengan sentakan tongkat putih, krangkeng Rex turun perlahan. Gemboknya terbuka.

Warga terperanjat. Takut bila Rex mengamuk. “Kau penyihir!” teriak salah satu komplotan.

“Sudah kubilang tidak penting siapa aku. Yang penting adalah kebenaran. Kalian bedebah telah melakukan kesalahan besar. Rex bukanlah pembunuh, dia adalah penyembuh!”

“Hah? Penyembuh? Dasar tolol.”

“Kau yang tolol!” suara Warugan menggelegar, menyebabkan rasa takut yang menjalar.

“Dia pembunuh!”

“Bukan! Dasar tolol. Apa kalian yakin buktinya sudah benar? Apa kalian tidak mempertanyakan kemungkinan bahwa Rex dijebak? Aku tahu pembunuh asli pemuda itu ada di sini. Itu dia orangnya!” Warugan menunjuk seorang bapak tua berkumis tipis. “Kumis itu palsu!”

Yang ditunjuk tampak gusar. Sesepuh Nyinyi menghampiri orang itu dan mencabut kumisnya. “Kau, mantan kades!”

“Nah, kebetulan ada polisi di sini. Coba cek bawah kukunya, aku melihat masih ada bekas darah di situ. Dia jorok, penjahat bodoh yang tidak membersihkan bawah kukunya.”

Polisi meringkus mantan kades itu. Membawanya untuk diperiksa.

“Nah, sekarang sudah terbukti bahwa Rex bukanlah pembunuh.”

“Tapi kau bilang dia penyembuh, mana buktinya?”

Warugan tertawa terpingkal-pingkal. Saat dia selesai, dia menunjuk dengan tongkat putihnya, seorang anak kecil yang digendong oleh ibunya. “Anak itu baru patah kakinya kan?”

Si ibu mengangguk.

“Bawa ia ke sini.”

Si ibu menurut.

“Nah, Rex, silakan lakukan keajaiban.”

Tangan mungil Rex berusaha menyentuh kaki anak itu, walaupun kepalanya menyenggol dada si Ibu. Tidak lama, ia mengangguk, ada sesuatu yang berubah dari diri Rex. Tangannya memanjang. Hampir normal.

Dan si anak pun sembuh. Kakinya bisa digunakan. “Hore bu! Aku sudah bisa jalan lagi.” Si anak berterima kasih kepada Rex. Rex pun tersenyum.

Warga terperanjat sejadi-jadinya. Semuanya melongo.

“Adalagi yang sakit?”

Tiga hari kemudian.

Polisi mengumumkan bahwa mantan kades dan dua orang dari komplotan adalah pelaku pembunuh si pemuda. Mereka menjebak Rex. Akhirnya kebenaran terungkap.

Di hutan, warga berbondong-bondong mendirikan ulang rumah kayu Rex. Karena pasien berdatangan setiap waktu. Bahkan dari luar daerah. Rex dengan senang hati membantu. Setiap kali ia menyembuhkan penyakit orang, satu perubahan terjadi padanya. Kepalanya mulai mengecil, jari-jarinya mulai normal, telapak kakinya menyusut ke ukuran normal manusia. Rex tak lagi dikenal sebagai makhluk T-Rex yang misterius dan menyeramkan. Sekarang ia dikenal sebagai Rex si Penyembuh. Ada juga yang menyebut “Tabib Rex”, “tangan ajaib Rex” dll

Di sore hari sambil ngopi dan makan tempe mendoan, Warugan bercerita kepada sesepuh Nyinyi. “Rex adalah seorang pangeran yang dikutuk oleh penyihir. Ia dikutuk menjalani kehidupan yang tak kunjung usai. Dikutuk menjadi makhluk buruk rupa yang dijauhi manusia. Di mana pun dia tinggal, dia akan mendapati kejadian  yang tak jauh beda dengan yang terjadi di sini.”

“Apa kesalahannya waktu itu?”

“Oh, sama seperti si mantan kades itu, dia menuduh seorang perempuan tak berdosa mencuri perhiasan di kerajaannya. Padahal perhiasan itu dia sendiri yang menghilangkan. Hukuman yang diterima perempuan itu tidak setimpal. Tapi dia ikhlas, hingga akhir hayatnya dia tidak dendam pada si pangeran. Kaulah perempuan itu Nyinyi.”

“Hah? Aku? Di kehidupan yang dahulu?”

“Iya. Kau adalah abdi kerajaan.”

“Lalu, siapa penyihir yang mengutuknya?” Sesepuh Nyinyi sudah menebak dalam hati.

“Aku.” Warugan menjawab. “Dan kupikir semua dosanya telah terhapus sekarang. Dia telah merasakan pahitnya dituduh melakukan kejahatan yang tak dilakukannya. Aku mengangkat kutukanku melalui penyembuhan. Dan sekarang, jika dia sudah kembali ke bentuk semula, seorang pangeran tampan, dia akan mendapat kehidupan normal. Dia bisa merasakan kematian pada akhirnya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA