LONCENG YANG BERBUNYI SENDIRI

Penduduk lereng gunung Matasayu selama berminggu-minggu diteror oleh bunyi lonceng di gunung yang sedang ditinggal juru kuncinya untuk dicarikan juru kunci yang baru, sebab si juru kunci tua sudah merasakan ajal mau mengetuk rumahnya suatu malam nanti. Penduduk tak ada yang berani mendatangi menara tempat lonceng itu berada. Terutama karena gunung itu terkenal angkernya. Banyak saksi mata yang melihat kemunculan macan putih atau alap-alap merah di hutan yang mengelilingi menara tua peninggalan nenek moyang itu. Bunyi lonceng itu berbunyi tak henti pada tiga minggu sebelumnya, disusul oleh suara lolongan yang mengelus bulu kuduk. Memang pada saat itu, terjadi hujan badai dahsyat. Petir menyambar begitu terang dan menggelegarnya ke gunung Matasayu. Banyak yang mengira, ada roh gentayangan yang riang gembira karena juru kunci sedang pergi. Keberadaan juru kunci memang untuk menahan kekuatan-kekuatan gaib memasuki permukiman penduduk. Makin-makinlah, dengan isu yang demikian itu, penduduk mati nyali untuk memeriksa lonceng tua itu.
“Juru kunci kapan kembalinya, ya?” seorang penduduk bertanya-tanya dan berharap.
“Kau kira mencari pengganti juru kunci gunung Matasayu mudah?”
“Mengapa dia tidak mencari anak muda dari desa saja?”
“Ya karena tidak ada yang layak menurutnya. Pekerjaan menjaga gunung itu bebannya seberat gunung itu sendiri.”
“Walah, gila.”

Di suatu hari yang mendung, seorang penduduk melihat banyak sekali kelelawar dengan ukuran tak masuk akal, beterbangan keluar seperti habis dibebaskan dari gunung Matasayu. Di suatu hari yang harusnya bahagia karena ada pasangan yang mau menikah di kuil dekat lereng gunung, terpaksa bubar karena muncul bau bangkai menyengat. Di suatu hari ketika malamnya bertengger dengan semringah, bulan purnama, lolongan seperti serigala ingin kawin terdengar sampai mengorek-ngorek telinga.
Gunung Matasayu ditinggal oleh juru kuncinya, menguarkan aroma kematian begitu kuat. Tak ketinggalan pula teror makhluk-makhluk tak kasat mata setiap malam. Teror kemunculan orang-orang tak berkepala ditandai dengan munculnya asap bau sangit dari rerumputan. Penduduk pun tak ada yang berani keluar rumah. Teror bayangan macan putih yang turun gunung dan bertamasya ke gang-gang rumah.
Suatu hari, muncul seorang pemuda gagah berani yang gerah atas teror yang dimulai dari lonceng yang berbunyi sendiri. Dia mengajukan diri untuk masuk ke gunung dan menuju menara lonceng. Ditunggu tiga hari kemudian, pemuda itu tidak pulang-pulang. Penduduk menyimpulkan pemuda itu tersesat di hutan. Masuk ke dimensi lain, mungkin.
Di minggu kesekian, suara lonceng itu tak terdengar lagi. Namun teror-teror yang lain masih bergentayangan tiap menjelang sore dan tengah malam. Banyak yang berpikir untuk pindah saja, namun lantas batal, padahal baru berniat. Mereka tak bisa meninggalkan tempat kelahiran. Hati dan jiwa sudah melekat.
Setelah menunggu lama sampai berbulan-bulan, akhirnya juru kunci datang bersama bakal penerusnya. Penduduk pun melaporkan segala teror yang terjadi. Bersama juru kunci mereka mendatangi menara lonceng tua. Ternyata, lonceng tua itu tak lagi tergantung di puncak menara, melainkan telah jatuh dan menancap ke tanah. Ketika mereka menggulingkan lonceng besar itu barulah mereka tahu kisah sesungguhnya.
Kisah itu bermula berbulan-bulan lalu. Seperti cinta yang perlu dimulai dan perlu waktu untuk bersemi dan tumbuh, butuh berbulan-bulan pula. Sepasang kekasih yang memiliki riwayat keluarga saling memusuhi selama bergenerasi. Mereka secara naif berpikiran bisa menyatukan keluarga mereka yang saling bermusuhan itu dengan cinta mereka. Tapi salah. Mereka menerima gamparan di muka dan diminta untuk mengakhiri hubungan. Bila tidak, masing-masing keluarga sudah siap untuk memulai perang saudara yang niscaya berdarah-darah.
Cinta mereka kuat. Mereka berniat untuk mempertahankannya. Walau tidak jarang mereka menerima gamparan dan bahkan cambukan dari pihak keluarga masing-masing. Bagi keluarga masing-masing, jalinan hubungan di antara mereka adalah dosa yang tak termaafkan. Meski begitu, mereka tetap ingin melanjutkan kisah cinta. Mereka secara naif, masih beranggapan permusuhan yang berlangsung selama bergenerasi dapat luruh oleh kuatnya cinta mereka.
Pertentangan yang melibatkan luka tubuh dan batin, lambat laun membuat mereka sadar diri. “Kita tidak bisa bersatu di sini,” kata yang laki-laki.
“Kalau begitu, kita bersatu di dunia lain saja.”
“Maksudmu bunuh diri?”
“Bukanlah. Maksudku, kita hijrah, kita pergi ke dunia lain.”
“Di mana?”
“Di menara lonceng tua.”
Mereka pun tengah malam bertemu di sana, setelah tahu tempat itu tidak dijaga lagi oleh juru kunci yang mencari penerus. Mereka membawa bekal yang cukup. Sesampainya di sana, hujan turun, disusul petir bersahutan. Mereka berteduh di dalam menara, duduk saling memeluk di bawah lonceng besar tua. Langit kelap-kelip seperti lampu mau putus.
“Di mana dunia lainnya?” si laki-laki bertanya.
“Tunggu beberapa jam lagi. Sekarang lagi hujan badai. Mungkin pintunya belum terbuka.”
“Dunia lainnya seperti apa sih?”
“Dunia lainnya sama seperti dunia kita ini, tapi orang-orang yang ada di dunia kita ini tidak bisa melihat kita, tapi kita bisa melihat mereka. Jadi mereka tidak akan bisa memisahkan kita lagi.”
“Menarik. Baiklah, kita tunggu.”
Ditunggu dan ditunggu, yang datang malahan samberan petir yang membuat tali pengikat lonceng putus dan akhirnya lonceng besar itu meluncur turun dan memerangkap mereka berdua yang cintanya lagi berada di puncak dunia.
Jadi khalayak kemudian tahu penyebab lonceng itu berbunyi sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA