DIBUNUH OLEH WAKTU

Bila diberi waktu, manfaatkan dengan baik, ngek. Jangan seperti si Damput yang bilangnya ingin menulis buku tapi lebih sering bilang, “Belum ketemu waktunya.” Si Damput ini, ngek, nasibnya tragis. Tragis yang tidak melibatkan darah, ngek. Dia dibunuh dengan kejam oleh si waktu. Dia termakan sendiri oleh ucapannya, ketika bapaknya yang tak sabar ingin membaca karya anaknya, menanyai kabar tulisannya, si Damput menjawab, ngek, “Nanti pak, tulisannya sudah ada di kepala. Tinggal dituangkan. Masalahnya, waktunya belum ketemu, aku sibuk. Coba kalau aku diberi waktu yang panjaaaang, aku pasti bisa selesaikan.”
Bapaknya kemudian berdoa di depan patung berpenis besar sembari mengisap rokok bergantian dengan mulut dower si patung, “beri anakku waktu yang panjang, Tuan.”

Ngek, kubilangin, hati-hati sama doanya orang-orang yang kaujanjikan sesuatu lalu orang itu senantiasa menantinya. Doanya bisa saja manjur. Seperti doanya bapak si Damput. Pagi-pagi, Damput bangun dan mendapati semua orang di rumah diam seperti patung. Bapaknya masih tidur dengan mulut terbuka dan rokok di selipan jari. Ibunya sedang membalik telur mata sapi di wajan. Adik laki-lakinya baru mau mengeluarkan sepeda buat pergi sekolah. Adik perempuannya yang baru masuk usia remaja, sedang mandi, terlihat oleh si Damput, tetek adiknya yang baru berbentuk seperti apem gendut. Gila, Damput terheran. Ia mengecek, menepuk, mencubit, menyiul, meniup di telinga, membentak, menggampar, menendang, menyiram. Semua yang dilakukannya tidak membuat semua orang yang ada di rumah bergerak layaknya manusia normal. Semua masih seperti patung. Bahkan air yang baru mau turun dari gayung adik perempuannya yang lagi mandi, airnya itu, ngek, berhenti di udara. Memang masih terasa seperti air saat si Damput menyentuhnya. Tapi, ngek, airnya juga tidak bergerak.
“Bangsat, ada yang mengirimiku kutukan,” kata si Damput.
Terpaksa, ngek, aku bilangin si Damput. “Heh! Jangan ngaco kamu. Ini buah dari doa seseorang yang kau beri janji. Coba ingat-ingat janjimu.” Ngek, lupa kita, dia tidak bisa mendengar kita. Ya sudah biarkan dia tahu sendiri. Kan bukannya lebih asik begitu?
Si Damput lalu keluar rumah. Dia mendapati seluruh kota semuanya dalam keadaan diam. Ya, seperti patung. Dia tidak terasa sudah berjalan keliling kota. Dia lihat jam tangannya, ngek, tidak bergerak. Dia kegerahan, ngek, karena di realitas yang waktunya tidak bergerak, tidak ada pergerakan, tidak ada angin kan. Di sini, cuma tubuh si Damput saja yang punya skema waktu. Buat minum pun, walau sudah memencet dispenser galon, airnya tidak mau keluar. Kasian, ngek, dia. Jadinya dia menyeburkan muka ke kolam dan bersusah payah menyedot air yang tak mau bergerak itu. Kasian, ngek, dia. Sudah keliling satu negara. Semua orang didapatinya pada diam semua, seperti patung.
“Wah, aku terjebak di waktu ini. Apa iya ini mimpi?” si Damput baru berpikir waras, ngek. Waktu kelaparan, dia tahu listrik dan api tidak bekerja, akhirnya dia masuk ke swalayan yang ada dan mengambil makanan ringan bungkus plastik juga yang kaleng. Si Damput kesenangan, ngek, dia malah ngerampok swalayan-swalayan itu. Mengambil barang-barang yang selama ini dia impikan. Toh, semua orang gak bisa bergerak. Dia tidur di sembarang tempat, ngek, sudah kejauhan dari rumah. Dia malah keasikan, ngek, secara dia jomblo. Otaknya mulai konslet lagi. Dia menciumi basah satu per satu perempuan cantik yang dia temui di dunia dengan waktu yang berhenti ini. Sableng ya dia. Haduh.
Si Damput mulai frustasi, ngek. Ya iya, mana ada orang yang bakal betah dengan realitas yang beku seperti ini. Mengetahui hanya diri sendiri yang bisa bergerak. Si Damput merasa kesepian, ngek. Dia menangis. Dia kehilangan arah mau pulang. Dia lupa jalan. Dia terlena oleh kesenangan yang semu di waktu yang beku. Dia bertanya-tanya sampai kapan ini berlangsung. Dia menanti, ketika waktu yang beku ini kembali berjalan seperti semula. Kasihan, ngek, dia benar-benar lupa jalan pulang. Tapi, ngek, itu memang kita sengaja, kita buat dia kehilangan arah sampai sadar akan janjinya.
Perjalanan pulangnya ke rumah di dunia dengan waktu yang beku ini, malah membawanya tersesat semakin jauh. Dia tersesat ke tempat-tempat yang dulu hanya ada di dalam pikiran dan selebaran perjalanan wisata. Kita pengin tahu, ngek, apa dia dapat inspirasi setelah ini. Belum, ngek, belum. Dia malah keasikan lagi. Dia sudah tidak peduli lagi dengan waktu, sudah berapa lama dia terjebak hingga membuatnya mungkin untuk pergi sejauh itu.
Tapi, ngek, hal itu tidak berlangsung lama. Dia kemudian merasa kesepian lagi. Dia rindu rumah. Rindu keluarga. Dia ingin pulang. Tapi kakinya diajak melangkah, malah selalu membuatnya menjauh. Nah, di sini yang membuat kita senang, akhirnya dia sadar. “Sekarang aku ada waktu, lebih baik aku memanfaatkannya. Bukankah di sini waktu jadi milikku seorang? Barangkali, kalau aku memanfaatkannya dengan benar, waktu bisa berjalan normal kembali.”
Di sini, ngek, mukanya sudah setua bapaknya. Dia baru menulis. Dia menuliskan perjalanannya yang semakin jauh. Karena listrik tidak berfungsi di dunia dengan waktu yang beku ini, terpaksa dia menulis menggunakan mesin tik. Sembari menuliskan kisahnya, dia melangkahkan kaki untuk kembali pulang. Perlahan-lahan, sebanyak lembaran yang sudah ia tulis, ia bisa berbahagia karena jalan pulangnya sudah benar.
Saat bukunya selesai, setebal ribuan halaman. Mukanya sudah lebih tua dari orang tua bapaknya, si Damput baru sampai ke rumah. Semua masih dalam kondisi semula saat waktu mulai berhenti. Bukunya sudah jadi, ngek, tapi waktu belum berjalan normal.
      Baru kemudian, ketika waktu kembali normal, bapaknya menemukan buku tebal ribuan halaman dalam pelukan seorang tua renta yang tak bernapas lagi, meringkuk di tangga dalam rumah. Waktu baru kembali berjalan normal ketika si Damput sudah mati, ngek. Apes sekali itu orang. Haha.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA