STORM OF STARS
-oOo-
“Yours is
the light by which my spirit's born: - you are my sun, my moon, and all my
stars.”
― E.E. Cummings
― E.E. Cummings
“The
problem with promises is that once you've made one, it's bound to be broken.
It's like an
unspoken cosmic rule.”
― Bree Despain, The Dark Divine
unspoken cosmic rule.”
― Bree Despain, The Dark Divine
Janji yang telah ia
ucap kala itu senantiasa ia simpan hingga kini. Sebuah janji untuk melihat
bintang jatuh bersama yang terkasih. Sebuah janji harus
ditepati, itulah prinsip yang ia miliki. Jangan bilang ia tak menepati janji, hanya
karena waktu sudah terlampau lama. Jangan biarkan waktu membujukmu untuk
berpikir ia berucap janji palsu. Karena sebuah janji perlu waktu dan usaha
untuk mewujudkan. Memang, seperti hutang, janji harus
dibayar lunas.
Janganlah sampai engkau
terbujuk rayuan waktu yang menyeret pikirmu bahwa ia pendusta. Apalagi jarak
pun menambah kegalauan tersebut. Ingatlah satu hal, ia tak pernah ingkar,
bilamana ia masih diberi umur panjang, niscaya ia akan tetap berusaha
mewujudkannya. Bukanlah sikap ia untuk beringkar janji.
Namanya Lintang.
Seorang pemuda yang tengah dimabuk asmara. Ia berjanji kepada pujaan hati, ia
akan membuktikan bahwa dirinya bisa menyebabkan hujan bintang.
“Kau tak percaya?”
tanyanya pada sang pujaan.
Kartika, sang pujaan,
menggelengkan kepala. “Ah, itu kan perihal mustahil.”
“Siapa bilang? Di dunia
ini tak ada yang mustahil.”
“Tentu saja ada. Janjimu
itu mustahil Lintang. Mana ada orang yang bisa menyebabkan bintang jatuh?”
Mereka tengah duduk di
hamparan bukit hijau, menatap langit malam berbintang. Lintang tersenyum simpul
mendengar pernyataan Kartika. “Mau bukti?”
“Coba saja.”
Lintang menarik
punggung Kartika supaya mereka berbaring, menatap langit lebih leluasa. “Lihat
ini.” Lintang menggariskan jarinya pada langit. Segaris komet melintas di
antara bintang-bintang. “Kau lihat barusan?”
“Komet melintas. Oh,
aku sudah membuat pengharapan.”
Lintang sekilas kecewa
pujaan hatinya salah fokus. “Itu tadi aku yang menyebabkan.”
“Ah, masa? Itu
kebetulan saja ah. Kebetulan saja waktunya pas.”
“Kau ini susah sekali
ya dibuat percaya?”
“Ya iyalah. Omonganmu
itu mustahil. Mungkin kau harus memeriksa otakmu itu.” Kartika menunjuk kening
Lintang. “Nampaknya ada yang error.” Lalu ia tertawa.
Lintang membungkam
Kartika dengan kecupan yang cukup lama dan syahdu. Kemudian ia berbisik. “Aku
berkata yang sebenarnya.” Sembari tangannya menunjuk langit. Dua komet
melintas. Kartika terlalu sibuk menyimak gerak bibir Lintang dan menatap
matanya dalam-dalam. Lebih memilih momen syahdu yang mendebarkan jantung.
Jalinan asmara antara
Lintang dan Kartika terbentuk karena rasa nyaman. Awal mula bersahabat, saling
mendukung satu sama lain dalam tiap laku, bercerita panjang tentang perihal apa
saja bahkan sampai yang absurd, berjalan bersama, pegangan tangan, berpelukan,
lalu saling menyatakan diri. Bukanlah ini sebuah hubungan yang datang dan
pergi. Mereka yakin, yang datang karena proses natural akan bertahan lama. Ah,
siapa bilang? Belum ada ujian yang mereka tempuh.
Bila belum teruji,
jangan katakan itu akan bertahan lama. Ujian pertama mereka datang ketika masa
sekolah menjelang usai. Seperti adat kebiasaan, pemuda-pemuda desa diharuskan
merantau mencari peruntungan di kota. Tak terkecuali Lintang. “Yakinlah,
Kartika, cinta ini kuat. Tanamkan sebagai akar yang kokoh membenam ke dalam
hati. Niscaya tak akan tercerabut oleh apa pun itu.”
“Aku takut, Lintang.”
“Takut mengapa?”
“Jarak memisahkan kita.
Di tempat baru, kukira akan terdapat godaan. Aku takut kau terhanyut. Dan aku
takut diriku pun akan hanyut di sini. Ujian jarak itu sulit.”
Lintang memeluk Kartika
erat-erat. “Aku berjanji padamu, Kartika. Jarak bukanlah apa-apa. Kita akan
tetap berhubungan. Hubungan ini sangat manis. Tak akan kutergoyahkan oleh
godaan di luar sana. Yakinlah janji suciku. Dan janjiku yang belum sempat
kupenuhi. Kartika, aku akan kembali, aku akan menulis dan menelponmu, aku akan
datang dan kau akan melihat ribuan bintang bersinar terang di malam hari
dihiasi oleh hujan komet.”
“Lintang, tak usah kau
berjanji yang muluk-muluk. Datanglah saja dan tetaplah manis. Aku tak butuh kau
memberiku hujan bintang.”
“Apakah itu artinya kau
masih tak percaya padaku?”
“Bukan itu masalahnya
Lintang. Aku hanya menginginkan yang realistis.”
“Tapi aku telah
berjanji, bukanlah sikapku untuk ingkar. Janji telah terucap, tak bisa
dibatalkan, aku akan membuktikan itu. Karena cintaku padamu sebanyak
bintang-bintang di langit. Tak terhitung jumlahnya.”
Kartika mendorong
pelukan Lintang. Ia tersenyum dengan sorot mata yang sedih. “Kau ini keras
kepala. Tapi terserah kau saja, Lintang. Aku hanya mengharapkan kau kembali.
Berusahalah yang sebaiknya di kota. Aku akan setia menunggumu.”
Tak dipungkiri, Lintang
sebetulnya sedikit kecewa dengan ketidakantusiasan Kartika terhadap janjinya.
“Kupastikan aku akan kembali.”
Kecupan singkat
mengantarkan Lintang naik kereta ekonomi yang penuh sesak. Baru berapa kali
roda kereta bergulir bergerak, rindu itu sudah menggerogoti. Sepanjang jalan
Lintang mengucap nama Kartika dan membayangkan dengan jelas wajahnya,
senyumnya, kecupnya. Membenamkan akar kokoh ke dalam hati dalam-dalam.
Untunglah ia sudah sempat berfoto bersama, selembar foto kecil ia selipkan
dalam dompet.
Foto itu didapatnya
sewaktu ada pasar malam di lapangan luas di desa. Sebuah photobox
tersedia di sana. Tanpa panjang pikir mereka ambil kesempatan mengabadikan
wajah sumringah penuh asmara. Dan disempatkan oleh Lintang untuk menghias
langit pasar malam dengan beberapa kali kilasan bintang jatuh. Kartika tak
melihatnya karena sibuk dengan permainan lempar gelang. Hanya beberapa anak
kecil yang mendongak ke langit dan menggoyangkan tangan ibunya sambil menunjuk.
“Bintang jatuh. Bintang jatuh.”
Lintang duduk dekat
jendela. Mengawasi langit malam dan pesisir pantai. Hawa dingin menyeruak.
Sambil menggambari kaca gerbong yang mulai berembun, ia berfokus pada bintang
di atas sana. Sekali dua ia memunculkan bintang jatuh. Acapkali ia melakukan
itu, nama Kartika melintas berpuluhan kali.
Kartika. Masihkah kau
membuka mata dan memikirkanku? Aku di sini membayangkan wajahmu. Melalui foto
ini, kurasakan hadirmu. Betapa denyut jantungmu yang cepat itu kala pertama
kumenciummu, di bawah pohon yang tak kita ketahui namanya itu. Digigiti nyamuk,
dan kau malu-malu sambil jinjit.
Lintang tersenyum
mengenang.
Di sebelah Lintang
seorang anak kecil mengamati tak putus-putus. Bocah laki-laki umur lima tahun,
sedang rebah nyaman di dada ibundanya. Si bocah menunjuk langit. Lintang
menggerakkan bibirnya mengucap tanpa suara, bintang jatuh. Lalu ia
menggoreskan jari di kaca gerbong. Setelah goresannya, melintaslah satu bintang
jatuh. Si bocah kecil takjub dan menyeringai girang lebar.
Lintang mengacungkan
jempol. Lalu memejamkan mata. Namun lelap tak kunjung menyergap. Terlalu bising
di dalam gerbong ini, hilir mudik pedagang asongan melangkahi kaki-kaki
penumpang yang berhimpitan. Tangisan bayi-bayi di bangku lain juga meriahkan
suasana gerbong. Kipas tak berfungsi.
Lintang butuh udara
segar. Ia beranjak dan mempercayakan tempat duduknya kepada ibu di sebelahnya.
Menuju sambungan gerbang ia hendak menghirup udara. Di situ pun berjibun anak
muda tengah duduk di lantai. Lintang mengucap permisi melangkahi mereka. Pintu gerbong
dibuka. Angin menyerbu masuk.
Adalah langit sebagai
peraduan Lintang. Sedari kecil dulu, langit selalu menjadi perhatian utamanya.
Rasa ketertarikan yang begitu kuat. Mau siang, mau malam. Ia sempatkan banyak
waktu mendongakkan kepala.
Di rumah neneknya, di
desa, Lintang kecil suka naik ke genteng dan tiduran santai di sana
malam-malam. Seringkali ditemani nenek. “Coba kau hitung bintang-bintang itu,
Lintang. Dan beritahu nenek ada berapa jumlahnya ya. Nenek sudah mencoba
hitung, tapi tak pernah ketemu jumlah pastinya. Nenek selalu putus hitungan.”
“Akan Lintang coba
Nek.” Telunjuk Lintang mulai menunjuki sambil menghitung. “Duh, betul nek. Baru
sampai berapa hitungan sudah kehilangan jejak hitungannya sampai bintang yang
mana tadi.”
“Kamu mau tahu ada
berapa bintang di langit?”
“Mau nek, ada berapa?”
“Ada
buaaaanyaaaaaaaak.” Nenek tertawa.
“Nenek bisa saja.”
“Lintang, sesungguhnya
sewaktu kamu menatap langit yang kau lihat adalah kenangan. Banyak bintang yang
sudah mati di waktu lampau, dan bintik kerlap-kerlip itu baru sampai di mata
kita.”
“Karena saking jauhnya
jarak bintang-bintang ya Nek.”
“Iya.”
“Tapi bintang itu
menepati janjinya pada bumi, sejauh apa pun dia, akan tetap sampai dan
dinikmati kerlipnya oleh kita. Meski sudah lama ia sirna.”
Ucapan itu yang
senantiasa diingat Lintang. Selama ini janji sepele apa pun selalu ia tepati.
Misalnya ia pernah berjanji kepada neneknya untuk mengiriskan belimbing menjadi
potongan bintang-bintang.
Yang tak pernah
diberitahukannya kepada siapa pun, bahkan kepada neneknya, adalah sewaktu
malam-malam di atas genteng itu ada seekor burung putih berukuran ganjil dan
bisa berbicara, seringkali menemaninya ketika mengawasi langit sendirian.
Kehadiran burung putih itu menghadirkan rasa damai seorang kawan sejati. Bahkan
saat pertama ia muncul, Lintang tak merasa perlu bertanya macam-macam.
“Kau punya anugerah.”
Kata burung putih berjambul kuning itu.
“Anugerah apa?”
“Kau memiliki anugerah
langit. Kau Lintang pelintas bintang.”
Kemudian burung itu
terbang meninggalkannya seorang diri. Kembali lagi esok malam dan mengatakan
hal yang sama.
Sampai terbukti benar
ucapannya. Lintang bisa memunculkan bintang jatuh. Jika benar mitos tentang
harapan yang terucap lalu melintaslah bintang jatuh maka harapan itu akan terwujud,
Lintang mempunyai misi.
Acapkali ia berkumpul
bersama kawan di malam perkemahan jaman sekolah. Bila ada temannya yang
melontarkan harapan, Lintang memejamkan mata dan menunjuk langit. Bintang jatuh
melintas. Si teman itu langsung riang gembira. Menyenangkan bisa membuat orang
makin melambung harapannya. Harapan, sesuatu yang bisa mendorong orang
menjalani hari dengan positif.
Lain hal dengan
Kartika. Gadis itu jarang sekali menengok langit. Sudah berapa kali Lintang
mengutarakan keindahan malam, Kartika tak terlalu terpesona. Ia lebih menyukai
pesona lembah kehijauan, matahari terbenam, dan air terjun.
Tak terasa sudah berapa
jam ia melamun di sambungan gerbong. Para penumpang banyak yang mendengkur.
Yang berdiri sayup-sayup mengantuk bersandar di dinding gerbong. Dua jam lagi
Lintang tiba di kota tujuan.
Ia kembali dan
mendapati tempat duduknya dipakai oleh ibu dan bocah cilik penikmat bintang
jatuhnya. Lintang tersenyum, tak berani mengusik ketenangan itu. Ia pun kembali
lagi ke pintu. Sisa waktu tanpa kantuk itu ia manfaatkan untuk mengenang
Kartika.
Kartika. Aku
mencintaimu. Walau kau tak sepenuhnya menyukai apa yang kusukai. Bukan menjadi
masalah. Suka terhadap sesuatu itu tak boleh dipaksakan. Yang penting hati kita
masih terus-terusan bergetar apabila bertemu dan di saat merindu.
Saat bunyi bel stasiun
perhentian berbunyi, Lintang mengambil tasnya, dan saat ia menjejak kakinya di
peron stasiun, di situlah segala sesuatunya bagai buru sergap. Membuatnya
khawatir tak bisa mewujudkan janji akbarnya.
Lintang dibekuk tiga
orang. Tangannya seketika diikat dengan kabel tis. Lintang sama sekali tanpa
persiapan melawan. Tiga orang itu berpakaian ala tentara, namun lorengnya lebih
gelap. Bertopikan baret merah dan kacamata pilot hitam. “Anda ikut kami.” Nada
suara itu mendikte.
“Mau dibawa ke mana
saya? Salah saya apa?” Lintang bertanya keras. Berusaha meronta namun
tengkuknya dipukul.
“Semuanya akan
dijelaskan di kantor kami.”
Lintang yang kesakitan
tengkuknya, mulai memutar otak. Menelisik kembali apa yang telah dilakukannya
selama ini. Mengapa ia tiba-tiba dibekuk saat turun dari kereta. Tindak
kriminal apa yang pernah ia lakukan. Orang-orang hanya melihat saja, bahkan
memilih menyingkir.
Lintang dibawa ke mobil
jeep besar. Orang itu mendorongnya kasar masuk ke jok belakang. Belum saja ia
mau mengutarakan kata, mulutnya dibekap dengan sapu tangan berbius. Di ambang
kesadaran yang mulai menurun drastis, Lintang merasa kepalanya tengah ditutupi
karung kain.
Kegelapan dan suara
statis yang kemudian mengisinya untuk beberapa waktu.
Lintang terbangun
dengan tangan kiri terborgol rantai yang mengunci di satu tiang di tengah
ruangan. Pakaiannya telah berubah serba oranye dan di saku kirinya terbordir
kode yang tak dikenalinya. Ruangan itu berpenerangan minim, tanpa jendela dan
di satu sisi dindingnya terpampang cermin besar yang diduganya dua arah. Geraknya
terbatasi, tak mampu menyentuh cermin itu, bilamana ia hendak menghantamkan
diri hingga cermin itu pecah.
“Di mana aku?” Lintang
memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri.
Pintu menjeblak
terbuka. Lintang mengira tadi ruangan ini tak berpintu sama sekali. Sosok
tegap, kekar, mengenakan setelan jas rapih, botak, kulit kehitaman, berdagu
belah seperti pantat. Melangkah masuk sambil membawa satu gelas kertas kopi.
“Selamat pagi, Lintang. Ini kopi buatmu memulai hari.” Orang itu meletakkan
gelas kopi di dekat Lintang.
“Siapa anda? Tempat apa
ini dan kenapa saya ada di sini?”
Orang itu bersikap
santai dan memegang kendali. “Kau boleh memanggilku Agen X. Ini adalah
fasilitas pemerintah untuk meneliti orang-orang sepertimu. Namanya BPMA: Badan
Penelitian Manusia Anomali. Kau paham kan?”
Lintang mengernyit.
“Apa maksudmu?”
“Jangan belaga bodoh,
Lintang. Kami tahu kau memiliki keanomalian yang berbahaya. Tugas kami untuk
mengetahuinya dan mencari cara untuk mengendalikannya. Mengendali-kanmu, karena
apabila kau terlepas begitu saja, bahaya mengintai orang-orang awam.”
“Apa-apaan ini? Aku
berbahaya? Aku ini datang ke kota mau mencari pekerjaan.”
Si Agen X tertawa singkat. “Oh, kau bisa bekerja
di sini dengan mulai bekerjasama dengan kami. Ungkapkan apa yang kau miliki.”
Yang Lintang pikirkan
adalah Kartika. Betapa sungguh rencananya buyar. Ia tak bisa mengiriminya
surat. Tempat ini bagaikan penjara. “Berapa lama aku akan di sini?”
“Tergantung.”
“Tergantung apa?”
“Apakah kau akan
mengijinkan kami menelitimu atau tidak. Atau lebih mudahnya, sebutkan saja
keanomalianmu saat ini.”
Tidak. Lintang tidak
mau. Ia ingat pesan neneknya. “Orang-orang itu takut terhadap apa yang mereka
tidak mengerti. Berbuat kelewatan untuk menaklukkan apa yang mereka tak pahami.
Mereka paranoid. Mereka justru malah berbuat kerusakan.”
Maka ia bertekad untuk
tetap tutup mulut. “Aku bukan anomali seperti yang kalian kira. Aku ini manusia
biasa. Kalian salah tangkap.” Mengatakan itu, Lintang berpikir ada orang-orang
berkemampuan khusus seperti dirinya di luar sana, atau di tempat ini di ruangan
lain. Orang-orang istimewa teranugerahi.
“Kami tidak pernah
salah, Lintang. Darahmu mengatakan kau berkelainan, kau anomali. Kami sudah
mengecek. Jadi, tiada guna kau berdusta.” Orang botak itu keluar dan menendang
sampai tumpah gelas kertas isi kopi. Lintang merutuk. Ia haus. “Kita lihat
apakah kau mampu bertahan jika berteguh dalam dusta.”
Saat pintu menutup
Lintang berteriak. “Keluarkan aku dari sini!” Lintang bangkit menyerbu ke pintu
namun langkahnya tertahan oleh rantai yang menegang, membuatnya jatuh
menggeblak. “Sialan.”
Lintang mendekam lama.
Entah sudah berapa hari ia di dalam ruangan itu. Siang dan malam tiada bedanya.
Di sudut ruang yang bisa dijangkau terdapat toilet duduk. Susah payah Lintang
buang air dengan tangan terborgol rantai begitu.
Makanan diantarkan dua
kali sehari, bila ia bisa menyatakan itu sebagai satuan hari. Satu bongkah roti
dan satu gelas air putih. Menurut hitungannya, ia sudah mendekam satu bulan dan
orang botak itu belum muncul-muncul kembali. Hanya di hari kelima belas,
petugas berbaju putih dikawal oleh dua orang berbadan besar berbaju loreng,
memeganginya untuk diambil darah. “Kau Anomali. Belum berubah.” Ucap si
petugas. Tapi ada sesuatu yang diselipkan ke balik lengan baju Lintang.
Agak lama setelah
perginya petugas itu Lintang memunggungi cermin, ia memeriksa apa yang diselipkan
ke lengan bajunya. Sebuah benda kecil berbentuk bulat. Ada titik merah yang
menyala. Segera ia tahu apa benda itu. Sebuah alat dengar. Ah, petugas itu
hendak membantunya. Lintang akhirnya dapat pengharapan. Segera dipasangnya
benda itu ke lubang telinga sebelah kanan, gerakannya dibuat-buat seolah dia
tengah menggaruk kuping.
Seperti dibodohi, ditunggu
lama-lama sampai berminggu-minggu. Benda kecil itu tak berfungsi. Orang yang
memberi pun tak tampak datang lagi. Lintang makin resah. Bagaimana cara ia
kabur dari sini?
Agen X datang
bolak-balik untuk menuntut kejujuran Lintang. Lintang tetap bungkam menyebabkan
si Agen hilang kesabaran, kemudian memukulnya hingga babak belur.
Perawat datang untuk
membenahi luka Lintang. Perawat perempuan yang manis, pikir Lintang. Perawat menyuntikkan
cairan kehijauan ke lengan Lintang.
“Untuk apa itu tadi? Aku
kan cuma memar-memar.” Protesnya.
Si perawat menyentuh
tangan Lintang yang menggenggam benda kecil tak berguna. “Belum aktif.” Ia memencet
suatu tombol tersembunyi. “Sudah aktif.” Bilangnya berbisik.
Lintang pura-pura
menggaruk telinga memasang alat itu. Suara denging menjadi nada pembuka. “Lintang
lintang. Tes tes.”
“Tes diterima.” Lintang
memosisikan diri berbaring dengan tangan menutupi muka supaya tak tampak
kamera.
“Aku akan membantumu
keluar dari tempat laknat itu. Suntikan yang kau terima tadi adalah serum
pemancar. Mengaktifkan sambungan ini. Kau mau keluar Lintang?”
“Tentu saja sialan. Aku
mau keluar.”
“Baik. Buat marah Agen
X dan perawat manis itu akan menginjeksimu dengan serum lain. Itu kuncimu untuk
keluar.”
Meski tak tahu
maksudnya apa itu, Lintang menyetujui. Maka ketika Agen X datang untuk
menginterogasinya lagi, Lintang mengeluarkan jurus-jurus kebun binatangnya. Mengata-ngatai
Agen X dan ibunya yang sundal. Agen X mengamuk dan menembakkan peluru,
untunglah cuma menggores kulit. Tembakannya meleset. Agen X ditarik oleh rekan lainnya.
Si perawat datang dan
menyuntikkan serum. Lintang tersenyum bergairah. Si perawat manis memberi
kecupan singkat. “Sampai jumpa.”
“Tes tes Lintang
lintang.” Suara dari alat dengar.
“Iya tes diterima. Apa lagi?”
“Tunggu serumnya
bereaksi.”
“Sebetulnya serum apa
ini?”
“Itu serum pembangkit
adrenalin. Kekuatan anomalimu akan naik berlipat ganda. Kau akan menjadi tak
terkendali. Bintang jatuh akan menghantam tempat itu, itu kuncimu keluar.”
Lintang baru sadar. Ia dimanfaatkan!
“Brengsek! Berani-beraninya kau!” tapi terlambat. Serumnya mulai bereaksi. Jantung
Lintang memompa cepat. Kepalanya menjadi pusing sangat. Ia menggeliat
kesakitan. Matanya mengerjap-ngerjap tak tahan. Lintang menjerit.
Ia tenggelam dalam
derita. Ia seperti terhimpit lalu dihempas ke jagad raya. Tangannya bercahaya
terang. Di dalam penglihatan kaburnya ia melihat ribuan bintang mendekatinya.
Terjadi ledakan. Gedung
tempatnya disekap mulai runtuh. Listrik padam dan memercik. Bunyi bising
terdengar. Gelegar menggempar. Bintang-bintang itu menyasar lokasi Lintang.
JDUARRR!!
Lintang terhempas. Masih
menggeliat kesakitan. Satu komet menghantam dan menghancurkan lokasi
penyekapannya. Gedung bertingkat itu runtuh dan lebur dengan tanah,
meninggalkan api membara. Lintang jatuh pingsan.
Saat sadar dan melihat
sekitarnya penuh api, reruntuhan bangunan, Lintang bangkit dengan luka yang
parah. Ia berjalan tertatih-tatih ke jalanan. Para pemadam kebakaran telah
ramai datang.
Ia melihat sekitar. Ia menyadari
ini bukanlah kota tempat tujuannya mencari peruntungan. Ini kota di pulau
seberang!
Hawa menjadi teramat
dingin. Angin menggempur kencang. Lintang mencoba bertahan dalam pijaknya. Tapi
tak terelakkan lagi. Badai terbesar melanda. Pertama serbuan ombak laut yang
tingginya dua puluh meter. Lintang terhanyut. Ia mencoba bertahan dengan satu
pikiran: Kartika.
Ia menggapai-gapai
dikepung air bah. Lalu sesuatu terjadi lagi. Sesuatu yang teramat buruk hingga
ia berpikir inilah akhirnya.
Banjir bah itu membeku.
******
5 tahun setelahnya.
Ia tak kenal tempat
ini. Ia mengerjap-ngerjap. “Di mana aku?” ingatan terakhirnya adalah hawa
dingin dan bayangan Kartika.
“Kau di tempat aman.”
Lintang ingat. Itu perawat di tempatnya dahulu disekap.
Lintang bangkit dari
tempat tidur. Memeriksa tubuhnya. Pulih seperti tak pernah terluka. “Di mana
aku?”
“Kau aman sekarang.”
“Ah, kau ini! Aku mau
pergi. Aku mau pulang ke kampung halaman.” Lintang berdiri dan mencapai meja. Ia
melihat kalender, dan kaget sendiri mendapati tanggalnya. Lima tahun telah
berlalu. “Oh tidak.” Lintang menjabak rambut. “Badai. Es. Beku.” Lintang
mengingat.
“Kau tertidur dalam es,
Lintang. Kami menyelamatkanmu saat es mencair.”
“Aku harus pergi. Aku harus
menemui seseorang.”
Si perawat tak tampak
mencegahnya. Lintang keluar menyusuri lorong bangunan. Keluar dari tempat itu. Ia
dapati keberadaannya di kota yang memang menjadi tujuannya. Tapi ia ingat, sudah
tak punya harta benda lagi. Maka ia kembali ke perawat itu yang ternyata masih
belum beranjak dari tempat tidur Lintang.
“Aku mau pergi. Tapi aku
butuh uang.” Kata Lintang tak peduli.
“Kau bisa pakai ini.” Si
perawat menyerahkan kartu kredit miliknya.
“Kenapa kau tidak
mencegahku?” tanya Lintang.
“Karena kau telah
melaksanakan tugas yang kami titipkan kepadamu. Ini adalah wujud terima kasih
kami.”
“Hmm. Terserahlah. Ngomong-ngomong,
terima kasih.” Lintang cabut.
Ia menaiki kereta
menuju kampung halaman. Satu nama di benaknya: Kartika.
Kartika, masihkah kau
menungguku?
Maafkan aku terlalu
lama menghilang..
Kuharap kau masih
menungguiku..
Janjiku akan kutepati..
Aku akan kembali.
Yang didapati Lintang
di kampung halaman sungguh membuatnya hancur hati.
“Maafkan aku Lintang.” Kata
Kartika sambil tersedu-sedu.
Kartika telah menikah
dengan pria lain!
“Kau lama sekali tak
ada kabar. Aku takut kau sudah tergoda dan melupakanku. Lima tahun bukan waktu
yang sebentar Lintang. Aku butuh kepastian.”
Lintang tak mampu
berkata-kata. Jelas-jelas di depan pintu rumah itu Kartika dan suaminya.
Lintang merasa bak hantu. Hampa.
Barulah ketika malam
menjelang. Setelah memikirkan banyak hal, Lintang mengamuk sejadi-jadinya. Bila
satu janji tak bisa ia tepati. Maka masih ada janji lainnya.
Malam itu Lintang
menuju puncak bukit dan menengadahkan tangan ke langit.
“Hujan bintang untukmu
Kartika.”
Komentar
Posting Komentar