SELENDANG LANGIT


~oOo~
“Two things are infinite: the universe and human stupidity; and I'm not sure about the universe.” 
 
Albert Einstein
“I'm sure the universe is full of intelligent life. It's just been too intelligent to come here.” 
 
Arthur C. Clarke

Seberapa jauh  keingintahuan seorang pemuda mampu mendorongnya untuk membongkar rahasia langit? Apa pun akan dilakukannya. Semenjak kecil kepalanya telah disumpali banyak dongeng mengenai makhluk-makhluk langit yang turun ke desa. Katanya mereka turun meluncuri pelangi sehabis hujan badai.
Jaka yang yatim piatu tinggal bersama kakeknya, dari kakeknya itulah kisah-kisah menakjubkan tentang makhluk langit ia dengar. Sampai-sampai ia sepenuh hati mempercayai. Karena dari cara kakeknya bertutur, begitu teratur, sembari mempraktikkan akupuntur. Kakeknya itu bernama Ki Olorupo. Memang mukanya buruk rupa, tapi keahliannya mengobati  sangat dijunjung tinggi. Ki Olorupo menguasai ilmu mantik, ilmu falak, ilmu perbintangan. Semua ilmu itu menunjang praktiknya sebagai ahli syaraf tubuh. Bilik-bilik dalam rumah senantiasa ramai orang hendak disembuhkan. Ia sangat  hapal titik pada tubuh manusia. Hal itu membuatnya unggul dalam menghadapi para begundal yang tak jarang datang menggerecoki. Sekali totok, mereka semua lumpuh. Kalau sangat meresahkan, Ki Olorupo terpaksa menghancurkan pembuluh darah mereka. Supaya masyarakat desa ikut tenang.
Jaka selalu takjub terhadap kakeknya itu. Ia ingin bisa seperti kakeknya. Jaka ingin sakti!
Kakeknya itu senantiasa ia ikuti. Sampai-sampai orang-orang menyebut Jaka sebagai Olountut (buntut/ekornya ki Olo). Di telinga Jaka itu terdengar seperti kentut. Tak peduli, Jaka mau melihat tiap kali kakeknya menyembuhkan orang dengan jarum-jarum. Sampai beranjak remaja, Jaka terus melakukan itu, tapi tak juga kakeknya membagi ilmu. Hanya di sela-sela pengobatan itu kakeknya bertutur kisah.
“Rahasia semesta ada dalam diri kita. Perlu dibuka. Nah dibukanya itu merupakan tantangan besar. Kau harus mengenali dirimu sendiri.” Itu yang paling sering. Kalau tidak, “di balik gunung Widodari, seringkali turun tujuh cahaya dari langit. Tujuh cahaya itu datang beberapa tahun sekali. Untuk menyucikan air terjun.”
“Kakek pernah melihat tujuh cahaya itu?”
Waktu kecil dulu tiap kali Jaka menanyakan itu kakeknya tak mau menjawab, hanya senyum simpul yang penuh misteri.
 Baru ketika beranjak dewasa pertanyaan itu dijawab dengan pertanyaan. “Mau kau tahu rahasia langit?”
Si Jaka mengangguk dalam. “Aku juga ingin mewarisi ilmu kakek.”
“Loh, selama ini kau tidak memperhatikan? Ilmu yang kukuasai ini bukan ilmu yang bisa diwariskan sekali tiup ke ubun-ubun, Jaka. Kau harus belajar. Mengamati. Merasakan. Berempati.”
“Aku menunggu kakek mengajariku.”
“Jangan menunggu. Kau harus belajar sendiri. Ah, kupikir kau sudah belajar.”
Jaka menunduk, kecewa.
“Tapi jangan khawatir. Ada cara cepat kau menguasai ilmuku.”
Jaka mengangkat kepala cepat sekali. “Apa itu apa itu? Beritahu aku kek!”
Maka kakeknya berkisah. “Tujuh cahaya yang turun dari langit itu adalah kuncinya. Datanglah kau ke gunung dan tunggui mereka. Saksikan sendiri dengan matamu. Tapi sebelumnya kau harus membuka mata dengan bertapa di balik pohon besar dekat air terjun.” Kemudian kakeknya membeberkan apa yang harus dilakukan Jaka. Yang pertama adalah mencuri selendang. Jaka mencatat lekat pada benak. Tak mau sedikit pun lengah terhadap penjelasan kakeknya.
“Semoga beruntung.” Ucap kakeknya saat Jaka berangkat ke gunung Widodari.
Ia melakukan apa yang diperintahkan Ki Olorupo. Jaka memanjat pohon besar dan bertapa di antara dahan berkelindan rumitnya. Ia memusatkan penuh pada hitungan dan pernapasan. Kata kakeknya ia harus senantiasa menyelaraskan energi putih dan hitam. Tujuh hitungan untuk energi hitam, lima hitungan untuk energi putih. Begitu berulang-ulang sampai ia tahu dirinya sudah seimbang.
Hari berganti minggu berganti bulan berganti tahun. Jaka menunggu datangnya cahaya dari langit. Dia tak beranjak sama sekali dari tempatnya bertapa. Tak merasakan sama sekali lapar dan haus. Karena penyeimbangan energi itu mampu memberinya kekuatan.
Benar apa yang dikata kakeknya, tujuh cahaya muncul di malam gelap tanpa bulan. Sinarnya merobek kekelaman. Jaka membuka mata. Inilah saatnya. Ia bersembunyi di balik batu besar. Ia tengok ke atas dan takjub terhadap apa yang dilihat.
Sebuah piring raksasa menyorotkan cahaya yang tampak padat. Lalu dari situ bermunculan tujuh cahaya warna warni. Menuju mata air. Jaka menajamkan penglihatan. Ya benar, mereka semua mengenakan selendang. Tapi wujud mereka sungguhlah aneh. Tidak seperti manusia kebanyakan. Inikah makhluk langit? Pikir Jaka.
Tubuh mereka abu-abu kepucatan. Badan mereka tinggi dan ramping. Kepala mereka besar dan lonjong ganjil. Bola mata mereka hitam mengkilat. Tak punya lubang hidung dan bermulut tanpa bibir.
Tapi yang mengejutkan Jaka adalah ketika mereka melepas selendang. Masing-masing berubah wujud menjadi gadis-gadis cantik jelita dengan tubuh yang menggoda iman. Mereka berubah jadi manusia! Jaka gembira riang. Dia pun menancapkan pandang kepada satu yang berselendang hijau. Ia awasi yang satu itu lebih lama dari yang lain. Mereka telanjang bulat menceburkan diri di mata air. Mandi dan bercanda riang saling mencipratkan air. Di situ pula Jaka mendengar ada lantunan mantra. Menggunakan bahasa yang tak dikenalnya.
Jaka bergerak diam-diam. Dia sudah ahli dalam bergerak tanpa terdeteksi. Ia cari tumpukan selendang yang berwarna hijau. Ia gulung dan sembunyikan di balik pohon tempatnya bertapa. Di situ pula ia menghabiskan waktu menikmati pemandangan makhluk langit mandi.
Ketika tampaknya mereka usai mandi dan melakukan ritual penyucian mata air dan air terjun, kesemuanya mengenakan kembali selendang warna warni dan berubah menjadi makhluk ganjil. Satu yang diincar Jaka kebingungan tak menemukan selendang. Sementara matahari mulai mengintip dari batas cakrawala. Kawan-kawannya sudah tak sabar, mereka kehabisan waktu, si gadis selendang hijau menangis ditinggal kawannya menuju piring terbang raksasa.
Si gadis belum berhenti menangis ketika hari sudah terang. Jaka turun dan beraksi.
“Hai, kenapakah kau?”
Gadis itu tampak kaget. Aduhai, dengan tampang bingung dan takut begitu saja dia sungguh jelita, apalagi tersenyum. “Ada  yang mencuri selendangku dan kawanku meninggalkanku sendiri. Aku tidak bisa pulang.”
“Oh begitu, sayang sekali, kawanmu kok jahat begitu. Tidak adakah cara supaya kau bisa pulang?”
“Tidak bisa. Aku hanya bisa pulang jika memakai selendangku.” Dan kembali menjadi makhluk aneh itu. Pikir Jaka.
“Menepilah. Kau nanti kena penyakit dingin. Aku kawanmu sekarang. Aku akan membantumu mencari selendang.”
“Betulkah? Kau mau melakukan itu untukku?”
“Tentu. Aku tak tega hati membiarkanmu sendirian ditinggal begini. Ayo menepilah dan pakailah jubahku untuk menutupi tubuhmu.”
Si gadis berenang menepi dan menerima jubah Jaka. Jaka mengamati tanpa berkedip melihati lekuk tubuh gadis dari langit itu. “Siapa namamu?” Jaka bertanya.
“Namaku Nawulan. Kau?”
“Aku Jaka.”
“Terima kasih Jaka. Jadi, ayo kita cari selendangku.”
Jaka mengingat petunjuk kedua dari kakeknya. “Aku akan menolongmu tapi dengan syarat.”
“Syarat? Syarat apa? Baiklah, asalkan kau mencarikanku selendang dan aku bisa pulang kembali. Aku tak pantas berada di sini. Bisa berbahaya.”
“Syarat pertama kau harus bersedia kukawini. Aku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama. Syarat kedua adalah kau tidak perlu ikut aku mencari selendangmu, biar aku saja. Tempat ini berbahaya buatmu.”
“Baik. Aku terima syarat itu.” Gadis itu memeluk dan mencium Jaka. Malam itu juga Jaka mengawini Nawulan, di sebuah rumah kayu yang dipersiapkan ki Olorupo untuknya.
Maka dimulailah rutinitas baru Jaka. Siang hari ia berpura-pura mencari selendang. Lalu pulang sore hari dan memberitahu kenihilan usahanya. “Maafkan aku Nawulan. Hari ini belum ketemu juga.” Kemudian malam hari mereka bercinta. Begitu berulang-ulang sampai Nawulan berhenti bertanya di mana selendangnya. Malah makin jatuh cinta sama Jaka. Buat dia jatuh cinta. Adalah petunjuk Ki Olorupo.
Akhirnya Nawulan hamil. Jaka kegirangan. Satu langkah lagi buatnya untuk menguasai rahasia langit. Dirawatnya Nawulan, dimanja dan dipenuhi segala keinginan aneh-aneh saat ngidam. Sembilan bulan yang penuh keseruan. Kehidupan baru membuat mata kunci semakin berfungsi berlipat ganda.
Ki Olorupo yang membantu persalinan Nawulan. Mereka dianugerahi seorang putri, yang Jaka beri nama Nawangsih. Putri yang mungil dan jelita. Nawulan tampak bercahaya dan bahagia. Ia susui Nawangsih dengan penuh kasih.
Nawulan sebagai makhluk langit memiliki kemampuan yang membantunya menghemat beras di lumbung. Jaka tahu itu tapi tak mau memergoki. Nawulan menaruh sebutir beras dalam kuali lalu ditutup. Beberapa saat kemudian isinya melimpah nasi putih pulen. Satu langkah lagi… Jaka terus mengingat. Rahasia langit akan menjadi milikku.
Nawangsih tumbuh sebagai anak yang periang. Dia cantik seperti Nawulan. Satu yang menjadi pikiran Jaka, apakah Nawangsih seperti ibunya? Bila diberi selendang akan berubah menjadi makhluk berkepala besar dan bermata hitam mengkilat.
Ini saatnya. Tindakan kelima. Tindakan puncak. Kala itu Nawangsih sudah berumur tiga tahun. Malam-malam Jaka mengajak Nawulan bercinta untuk yang terakhir kali. “Nawulan, kau sungguh cantik. Aku mencintaimu. Tapi, aku harus melakukan ini. Maafkan aku.” Sebilah pisau dihunjamkan ke dada Nawulan.
Mulut Nawulan memuncratkan darah sebelum ia sempat berkata karena syok. Jaka memuntir pisau membuat lubang. “Aku butuh ini.” Kata Jaka sambil membenamkan tangannya ke dada Nawulan. “Jantungmu.” Betul kata kakek, jantung Nawulan bentuknya seperti kelereng yang menampakkan langit malam berbintang. “Mata kunci langit.” Lalu Jaka mencongkel mata kanannya, ia tahan sekuat tenaga, lalu ia tukar bola matanya dengan jantung Nawulan. Seketika langit seperti terbuka baginya. Jaka mampu melihat menempus lapisan tujuh langit bumi.
Peristiwa naas itu ia dalihkan sebagai perampokan berdarah. Ia menceritakan itu kepada Nawangsih yang menangis menjerit melihat ibunya bersimbah darah. Jaka berkata ada perampok jahat yang melukai matanya dan membunuh Nawulan. Penduduk desa pun dibuat percaya olehnya.
Lama membuat Nawangsih melupakan kejadian itu. Dia tumbuh sebagai anak pendiam dan murung. Di lain hal, Jaka memperoleh apa yang diinginkannya. Benaknya dibentangi semesta. Rahasia-rahasia langit dibeberkan ke dalam otaknya. Ia jadi tahu, bahkan lebih tahu daripada Ki Olorupo. Dibukalah olehnya sebuah praktik pengobatan, seperti yang dilakukan kakek.
Orang-orang datang berbondong-bondong dengan beragam keluhan penyakit. Tanpa menggunakan jarum, Jaka mampu menyembuhkan mereka semua. Dan itu membuat pundi-pundi rejekinya bertambah kian hari. Jaka menyewa pengasuh untuk Nawangsih. Tiap malam Jaka mengunci kamarnya untuk bersemadi, membuka mata kunci langit dan membebatkan selendang Nawulan di kepalanya. Kekuatannya bertambah berkali lipat.
Seiring waktu Jaka makin terkenal melebihi Ki Olorupo. Namanya termahsyur ke seluruh negeri. Itu berarti pundi-pundi emasnya kian menggunung. Jaka membangun rumah yang lebih besar dengan bilik praktik lebih banyak lagi. Nawangsih yang pendiam hanya bengong melihat perubahan begitu cepat ini. Jaka banyak membelikan barang-barang mewah buat Nawangsih.
Nawangsih bingung mau bersikap bagaimana. Sikap ayahandanya dirasa agak aneh. Semakin ada jarak di antara keduanya. Nawangsih hanya dekat dengan si pengasuh. Nawangsih suka menjelajah rumah barunya. Menilik bilik-bilik pengobatan. Dilihatnya ayahandanya cuma memindai tangan ke tubuh orang yang sakit, orang itu tahu-tahu sembuh. Nawangsih jadi takjub. Ayahnya sakti!
Sikap ayahnya pula dirasa penuh rahasia. Nawangsih bertekad untuk sedikit demi sedikit menguak rahasia itu. Nawangsih belajar mengendap sendiri. Langkahnya begitu ringan tak menimbulkan sedikit suara pun.
Suatu malam, Nawangsih berjalan di depan kamar Jaka. Dilihatnya pintu bercelah dan menyorotkan sinar kemerahunguan. Nawangsih mendekat, rupanya ayahandanya lupa mengunci pintu. Apa yang dilihat Nawangsih begitu mengejutkan. Di kamar Jaka, seperti berubah menjadi angkasa, banyak bintang bertebaran dan galaksi merangkai jaring-jaring rumit yang berdenyar-denyar nyala. Dilihatnya Jaka mengenakan selendang diikat di kepala. Nawangsih yakin pasti karena selendang itu. “Aku harus mencobanya.”
Untuk melancarkan aksinya itu Nawangsih harus menunggu lama saat Jaka pergi berkunjung ke Ki Olorupo, kakeknya. Kesempatan itu adalah emas, karena sangat jarang sekali Jaka pergi dari kediaman. Nawangsih menyelinap masuk ke kamar Jaka. Mencari berjam-jam sampai akhirnya menemukan peti berisikan selendang ajaib itu. Segera Nawangsih kenakan.
Terkejutlah ia. Kebenaran terungkap. Angkasa terpampang di depan matanya berikut kilasan masa lalu yang begitu cepat terserap. Kebenaran yang mengguncang! Nawangsih baru tahu bahwa ayahandanya adalah pembohong keji! Jaka membunuh Nawulan! Gelora dendam membakar dari dasar jiwa Nawangsih. Ia menjerit marah.
Nawangsih menyembunyikan selendang. Ia kemudian menunggu Jaka pulang. Di depan pintu ia menanti. Ketika terdengar langkah kaki ayahandanya mendekat Nawangsih langsung berdiri dan memasang senyum termanis. Dibukakan pintunya dan Jaka terkejut. “Nawangsih, kau cantik sekali. Kau mengingatkan aku pada ibumu.” Jaka memeluk Nawangsih.
“Ayahanda pasti kelelahan. Biar Nawangsih pijat, mau ya.” Nawangsih sudah berumur tiga belas tahun. Tangannya sudah cukup kuat. Ia giring Jaka masuk ke kamar dan memulai pijat, dari kaki ke punggung. “Ayahanda tidurlah.”
“Terima kasih Nawangsih.” Jaka terlelap.
Nawangsih memandangi ayahandanya untuk yang terakhir kali sebelum ia menggorok leher Jaka di tengah malam. Darah membanjir dan tubuh Jaka kejet-kejet. Nawangsih tertawa histeris. “Kubalaskan dendam ibuku! Kau bajingan tengik tak berperasaan!”
Nawangsih menyingkirkan mayat Jaka dan mengenakan selendangnya. Dia mendapat penglihatan bahwa di bawah ranjang Jaka terdapat sesuatu. Ia singkirkan tubuh tak bernyawa Jaka dan menjungkirkan ranjang. Terdapat bilah papan yang menutupi lubang. Nawangsih buka dan terkejut ia mendapati tubuh ibunya masih awet dan tersenyum. “Ibu!”
Selendang berbisik lagi. Nawangsih mencongkel mata kanan Jaka, mencabut kembali yang ternyata adalah jantung ibunya. Nawangsih tahu, bila ia kembalikan itu ke rongga dada ibunya, ibunya akan hidup kembali. Tahu begitu Nawangsih gemetar dan menangis, ia taruh jantung kelereng itu ke dada Nawulan.
Cahaya seperti melingkupi mereka, lalu disusul kabut. Nawangsih terjengkang ke belakang melihat ibunya bangkit dari kubur di bawah ranjang. “Nawangsih. Terima kasih telah menghidupkan ibu kembali. Mari nak, kita pulang ke langit. Tempat kita sebenarnya.”
Nawangsih tak sanggup berkata-kata. Ini sangat di luar kuasa otak remajanya. Nawulan menyambut tangan Nawangsih. Meski baru bangkit dari kubur, Nawulan tak sedikit pun kehilangan keanggunannya. Malam itu juga Nawulan mengajak Nawangsih ke gunung Widodari. “Kita kirim pesan ke kawan-kawanku.”
Di mata air Nawulan dan Nawangsih menceburkan diri. Nawulan mengenakan selendangnya kembali dan melingkarkannya juga ke pundak Nawangsih. Mereka seketika berubah menjadi makhluk berkulit abu-abu, berkepala besar dan bermata bola kehitaman mengkilat. “Kita pulang. Tempat kita bukan di sini. Manusia-manusia tolol yang tak tahu diri.”
Nawangsih melihat langit membelah menyorotkan sinar silau. Ia dapati piring terbang raksasa menaungi. Nawulan menggamit tangan Nawangsih dan mereka pun terbang, bergabung dengan enam cahaya lainnya.
Ki Olorupo menyaksikan peristiwa itu dari jendela bilik. “Jaka, Jaka. Kau gagal nak.”



Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA