CRYING STONEMAN


~oOo~
 “Forgiveness is the fragrance that the violet sheds on the heel that has crushed it.” 
 
Mark Twain

Di karang di tepi pantai, sebuah patung dengan muka merana berdiri. Tubuh batunya itu sudah rapuh diterjang badai dan disambar petir. Tapi hukuman abadinya masih harus berjalan. Sudah beratus tahun lamanya kisah itu berlalu, tentang seorang anak durhaka yang dikutuk ibunya menjadi batu. Karena kisah itu, banyak orang yang sengaja datang dan mengambil hikmah dari peristiwa naas itu. Jangan durhaka sama ibu.
Tapi patung merana itu tidaklah tak memiliki jiwa. Bukan patung biasa hasil pahatan. Memang, tentu saja, karena penciptaannya melibatkan kutukan. Amarah ibu adalah murka dewata. Jiwa yang ditanggungkan itu, tersiksa oleh penyesalan mendalam. Api siksanya berbahan bakar sesal. Mendidihkan hati hingga mencair menjadi air mata. Air mata yang merembes keluar dari mata patung itu meninggalkan jejak erosi.
Setiap hari sepanjang hidupnya tak berhenti ia memohon ampun kepada dewata dan sang ibu. Walau tahu sendiri dosa durhaka sulit dimaafkan, kecuali sang ibu telah meridhoi. Meski sang ibu telah memaafkan, dewata perlu memberi pelajaran. Bukan hanya kepada si pendurhaka, melainkan juga kepada insan lain. Jangan sakiti ibu.

Waktu mulanya anak pendurhaka itu yang angkuh tak mengakui ibunya dikutuk masih dalam keadaan berdiri. Baru ketika tahu kakinya mulai mengeras batu, ia kemudian bersujud memohon maaf. Terlambat. Tangannya meraih kaki ibunda. Tapi ibunda pergi menjauh, sembari mengisak tangis. Semua yang menyaksikan terperangah ngeri. Kala itu petir menyambar-nyambar penuh murka dewata. Ombak menggulung mengancam. Gemuruh terakhir guntur menyamarkan teriakan terakhirnya, “Ibu! Maafkan Malin!” kemudian ia jadi patung batu utuh, bersujud merana meminta ampun.
Lalu, mengapa kini patung itu berdiri?
Dewata sengaja melakukannya, Malin dirubah posisinya menjadi berdiri supaya merasakan panasnya sengatan petir dan hantaman badai ombak. Neraka Malin di dunia. Jiwa Malin tak berhenti memohon ampun dan menyesal. Dewata masih belum puas. Hukuman masih akan berlangsung seumur hidup, bahkan seumur hidup selanjutnya. Bergenerasi bergulirnya waktu.
Kedurhakaan Malin sempat menjadi amarah penduduk tepi pantai. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu marah dengan perilaku Malin sewaktu pulang dari merantau. Malin yang dahulunya adalah anak berbakti, selalu membantu ibu menjual ikan, yang sopan dan santun. Yang begitu itu memang tak selamanya bertahan, jika seorang insan terbuai oleh dunia, apa saja bisa berbalik arah. Gelimang harta bisa membutakan, gengsi bisa membuat lupa dari rahim siapa kita lahir. Malin merantau selama lima tahun, ke pulau seberang katanya, kembali ke tempat lahir naik kapal layar bersama istri. Malin dikenali oleh seseorang yang dahulu pernah ngemong waktu kecil. Segera orang itu memberi tahu ibu Malin. Bergegaslah ibu Malin yang teramat rindu anak semata wayangnya, lari menuju pantai.
Malin mengenali ibunya, tapi kaget mengapa ibunya menjadi sedemikian lusuh dan miskin. Malin malu, pula karena terbutakan mata hati, terbuai gengsi. Jadi ketika si ibu berseru, “Maliin! Akhirnya kau pulang nak!”
“Itu siapa? Kok memanggil nama kamu?”
“Aku tidak kenal dia.” Malin membuang muka.
“Itu ibu kamu?”
“Kubilang bukan! Tak mungkin aku lahir dari orang miskin itu.”
Ibu Malin yang kian dekat, memelankan laju langkah. “Malin, ini ibu nak. Kamu pulang mau ketemu ibu kan? Ibu rindu nak.” Si ibu menyerbu mau memeluk, tapi Malin menyingkir dan mendorong si ibu.
“Hei. Jangan sembarangan kau ya orang miskin udik kotor bau.”
Ibu Malin tersungkur. Kalimat yang barusan diucapkan Malin seperti sambaran petir, melukai hati ibu.
“Malin, kamu kok kasar sekali.” Kata si istri.
“Dia itu pengemis. Nanti pakaianku jadi kotor.” Kata Malin angkuh.
Ibu Malin menangis. “Nak, kamu tega sekali bilang begitu. Ini ibu kamu, yang melahirkan kamu, Malin.”
Orang-orang pasar ikan mendekat, melihat ribut-ribut. Malin mulai membentak-bentak kasar. Orang-orang yang mendekat itu, banyak pula yang mengenali Malin.
“Malin, kau jangan durhaka. Itu ibumu. Ayo kau minta maaf.” Kata si bapak berkumis.
“Enak saja. Memang aku salah apa. Aku juga tidak kenal kau. Aku tidak kenal ibu itu.” Malin menggaet tangan istrinya. “Ayo kita pergi dari sini.”
Seseorang menghadang. “Hei, aku kenal kau dari orok nak. Jangan macam-macam. Jangan lukai perasaan ibu kamu.”
Malin yang telah menguasai ilmu bela diri dengan mudah membanting orang itu sampai lehernya patah. Seketika amarah warga bangkit. Mereka menyerang Malin. Istri Malin menyingkir, membantu ibu yang tersungkur sambil tersedu itu.
Sementara Malin bertarung dengan para nelayan berbadan kekar, istri Malin menanyai si ibu. “Ibu benar ibunya Malin?”
“Betul, Malin adalah anakku.” Jawabnya terisak.
“Ibu punya bukti?”
Maka ibu Malin membeberkan banyak hal tentang Malin. Tentang kesukaannya, tentang tabiatnya, tentang tanda di atas pantat. “Sumpah demi dewata, ibu ini adalah ibu kandung Malin.”
“Tapi kata Malin, ibunya adalah orang kaya yang sudah lama meninggal.”
Mendengar itu ibu Malin bersedih hati.
Tak disadari, Malin sudah melumpuhkan orang-orang yang mengeroyoknya. Menarik tangan istri dan memaksa pergi.
“MALIIIN!” si ibu meraung.
Malin kaget dibuatnya.
“Aku ini ibumu nak.”
“Tidak sudi aku punya ibu seperti kamu.” Malin berucap kasar.
Ketika Malin menggerakkan kaki untuk pergi, ibunya merangkul kakinya. Malin yang risih kemudian menendang perempuan tua itu hingga berdarah hidungnya. Orang yang berbondong datang melihat itu dan mencaci Malin.
“Malin, tapi ibu itu tahu tentang kamu. Dia itu ibumu.” Kata si istri.
“Ah, kamu ini. Kau ditipu. Ibuku sudah lama mati.”
Orang yang mengenal ibu malin tercengang mendengar itu. Beberapa mengenal Malin sejak kecil. “Malin! Jaga omonganmu. Nanti dewata marah. Segeralah minta maaf. Sebelum terlambat.”
“Diam kau!” tangan Malin menuding. Lalu ia menjunjung tangan tinggi ke langit. “Sumpah demi Dewata aku tak kenal ibu itu!”
Seketika langit menjadi kelam dan penuh gemuruh. Semua orang menjadi takut.
Ibu Malin bangkit. Dan menunjukkan jati dirinya. Raungannya bukan lagi suara manusia biasa. Gelegar petir mengelilinginya. Tangan menunjuk Malin. “Sumpah telah diucapkan. Sumpah palsu. Sumpah pembuat murka dewata! Seorang anak tak mengakui ibunya. Maka kutuklah ia menjadi batu!”
Orang-orang lari tunggang langgang. Sementara setelah mengutuk putranya menjadi patung, si ibu berjalan terseok-seok kehabisan tenaga, kembali ke gubuk reyot.
Rumor itu benar ternyata. Ibu Malin adalah penyihir. Hal ini pun pernah didengar Malin. Sempat dahulu semasa kecilnya ada tetangga usil yang memfitnah ibu Malin. Tapi banyak warga yang tak percaya. Ibu Malin adalah orang baik-baik, yang senantiasa membantu kesulitan warga. Ibu Malin merupakan tabib penyembuh. Berarti, ilmu yang dimilikinya, yakni sihir, digunakan untuk kebaikan. Bagaimanapun, amarah ibu adalah murka dewata. Sihir baik itu berubah menjadi kutukan mengerikan. Seluruh kekuatan yang dimilikinya dilimpahkan seluruhnya untuk memberi pelajaran anak semata wayangnya. Serta merta tubuhnya menjadi ringkih dan peyot. Separuh nyawanya sudah dikeluarkan. Kini tinggal menunggu hayat. Padahal sejatinya, ibu Malin telah hidup beratus tahun. Dan hanya Malin-lah putranya. Ketika ia memutuskan untuk berbaur bersama manusia biasa, menyalurkan bakatnya demi kebaikan. Jatuh cinta kepada manusia fana, yang kemudian meninggal akibat terjangan badai, di empat bulan ia mengandung Malin.
Telat bagi Malin menyadari kesejatian ibunya. Telat baginya menyadari kedahsyatan kutukan itu. Telat baginya untuk tidak menyakiti hati ibu.
Kini waktunya habis untuk mereguk penyesalan, dibakar petir, dihantam badai. Dipikirnya tubuh batunya ini akan hancur dan usai sudah penderitaannya. Tidak. Tubuh batunya ketika mulai hancur di suatu bagian, mewujud lagi. Dari luar memang tampak seperti batu, tapi sesungguhnya itu adalah kulitnya. Petir membakar begitu panas. Rasanya ia pikir sudah mati, tapi ternyata masih hidup untuk menjelang hari esok dan penyiksaan berikutnya.
Ia menyaksikan pula, setelah peristiwa dirinya dikutuk itu, istrinya pulang kembali ke pulau seberang naik kapal layar miliknya yang dinamai Jalu Segara. Tapi di tengah laut, kapal itu karam dihantam badai. Malin diperdengarkan teriakan maut istrinya. Pembalasan memang berkali-kali lipat.
Belum lagi setiap kali orang-orang melintasinya, sengaja untuk mempermalukannya dengan melempari kotoran dan sumpah serapah. Orang-orang benci dirinya. Ada bahkan yang mencoba menghancurkan patung batu Malin dengan godam raksasa. Hancur memang. Tapi esok malam bangkit lagi. Berkali-kali orang-orang tepi pantai melakukannya, untuk membalas dendam karena Malin membunuh beberapa nelayan. Sampai mereka berhenti sendiri, karena tiap kali hancur, patung batu Malin terbentuk kembali.
Malin menangis. Tangisannya merembes ke muka batu. Hanya anak kecil yang bisa melihat aliran tangis itu, tiap kali mereka memberitahu orang tuanya, orang tua menjawab “Jangan sampai kau durhaka seperti Malin.” Dan tiap bulan purnama, terdengar jerit tangis Malin membelah malam. Membikin merinding penduduk desa.
Di hari keseribu dirinya menjadi batu, ibu Malin datang mengucap perpisahan. Perpisahan dengan kehidupan.
“Malin. Semoga kau dimaafkan dewata. Ibu sudah memaafkanmu. Kau hanya khilaf. Ibu telah memohonkan ampun untukmu, tapi dewata berkata lain. Ibu sudah lelah, separuh nyawa ibu telah menjadikanmu patung. Maafkan ibu. Kini ibu hendak menghadap dewata. Semoga kau dimaafkan dewata.”
Ibu Malin menghembuskan napas terakhir di kaki patung Malin. Pagi-pagi seorang nelayan menemukan jasad Ibu Malin basah karena air yang merembes dari mata patung Malin.
Dewata mengabulkan secuil permohonan ibunya. Siksa Malin berkurang. Ia tak lagi disambar petir tiap tengah malam. Hanya saja terjangan ombak masih menghantam.
Bergenerasi waktu berlalu. Kisahnya menjadi pelajaran bagi manusia. Bahkan menjelma menjadi sekedar dongeng semata. Bahwa tubuh patungnya ini hanyalah fenomena alam yang memahat batuan menjadi serupa tubuh manusia.
Suatu hari langit menjadi gelap sejadi-jadinya. Gemuruh angin berpusar mengerikan. Petir menggelegar lebih dahsyat daripada yang pernah disaksikan. Kilat membenderangkan seolah menjadi siang selama sekian detik. Satu larik petir dahsyat menyambar patung Malin. Menghancurkannya menjadi serpihan hangus.
Setelah gonjang-ganjing kelap kelip yang berlangsung semalaman itu, penduduk desa digegerkan mengenai adanya bayi mungil di antara serpihan patung batu legendaris itu.
Malin dihidupkan kembali. Untuk menebus dosa durhakanya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA