CRYING STONEMAN
~oOo~
Di karang di tepi pantai,
sebuah patung dengan muka merana berdiri. Tubuh batunya itu sudah rapuh
diterjang badai dan disambar petir. Tapi hukuman abadinya masih harus berjalan.
Sudah beratus tahun lamanya kisah itu berlalu, tentang seorang anak durhaka
yang dikutuk ibunya menjadi batu. Karena kisah itu, banyak orang yang sengaja
datang dan mengambil hikmah dari peristiwa naas itu. Jangan durhaka sama ibu.
Tapi patung merana itu tidaklah
tak memiliki jiwa. Bukan patung biasa hasil pahatan. Memang, tentu saja, karena
penciptaannya melibatkan kutukan. Amarah ibu adalah murka dewata. Jiwa yang
ditanggungkan itu, tersiksa oleh penyesalan mendalam. Api siksanya berbahan
bakar sesal. Mendidihkan hati hingga mencair menjadi air mata. Air mata yang
merembes keluar dari mata patung itu meninggalkan jejak erosi.
Setiap hari sepanjang hidupnya
tak berhenti ia memohon ampun kepada dewata dan sang ibu. Walau tahu sendiri
dosa durhaka sulit dimaafkan, kecuali sang ibu telah meridhoi. Meski sang ibu
telah memaafkan, dewata perlu memberi pelajaran. Bukan hanya kepada si
pendurhaka, melainkan juga kepada insan lain. Jangan sakiti ibu.
Waktu mulanya anak pendurhaka
itu yang angkuh tak mengakui ibunya dikutuk masih dalam keadaan berdiri. Baru ketika
tahu kakinya mulai mengeras batu, ia kemudian bersujud memohon maaf. Terlambat.
Tangannya meraih kaki ibunda. Tapi ibunda pergi menjauh, sembari mengisak
tangis. Semua yang menyaksikan terperangah ngeri. Kala itu petir menyambar-nyambar
penuh murka dewata. Ombak menggulung mengancam. Gemuruh terakhir guntur
menyamarkan teriakan terakhirnya, “Ibu! Maafkan Malin!” kemudian ia jadi patung
batu utuh, bersujud merana meminta ampun.
Lalu, mengapa kini patung itu
berdiri?
Dewata sengaja melakukannya,
Malin dirubah posisinya menjadi berdiri supaya merasakan panasnya sengatan
petir dan hantaman badai ombak. Neraka Malin di dunia. Jiwa Malin tak berhenti
memohon ampun dan menyesal. Dewata masih belum puas. Hukuman masih akan
berlangsung seumur hidup, bahkan seumur hidup selanjutnya. Bergenerasi bergulirnya
waktu.
Kedurhakaan Malin sempat
menjadi amarah penduduk tepi pantai. Mereka yang menyaksikan peristiwa itu
marah dengan perilaku Malin sewaktu pulang dari merantau. Malin yang dahulunya
adalah anak berbakti, selalu membantu ibu menjual ikan, yang sopan dan santun. Yang
begitu itu memang tak selamanya bertahan, jika seorang insan terbuai oleh
dunia, apa saja bisa berbalik arah. Gelimang harta bisa membutakan, gengsi bisa
membuat lupa dari rahim siapa kita lahir. Malin merantau selama lima tahun, ke
pulau seberang katanya, kembali ke tempat lahir naik kapal layar bersama istri.
Malin dikenali oleh seseorang yang dahulu pernah ngemong waktu kecil. Segera orang
itu memberi tahu ibu Malin. Bergegaslah ibu Malin yang teramat rindu anak
semata wayangnya, lari menuju pantai.
Malin mengenali ibunya, tapi
kaget mengapa ibunya menjadi sedemikian lusuh dan miskin. Malin malu, pula
karena terbutakan mata hati, terbuai gengsi. Jadi ketika si ibu berseru, “Maliin!
Akhirnya kau pulang nak!”
“Itu siapa? Kok memanggil nama
kamu?”
“Aku tidak kenal dia.” Malin
membuang muka.
“Itu ibu kamu?”
“Kubilang bukan! Tak mungkin
aku lahir dari orang miskin itu.”
Ibu Malin yang kian dekat,
memelankan laju langkah. “Malin, ini ibu nak. Kamu pulang mau ketemu ibu kan? Ibu
rindu nak.” Si ibu menyerbu mau memeluk, tapi Malin menyingkir dan mendorong si
ibu.
“Hei. Jangan sembarangan kau ya
orang miskin udik kotor bau.”
Ibu Malin tersungkur. Kalimat yang
barusan diucapkan Malin seperti sambaran petir, melukai hati ibu.
“Malin, kamu kok kasar sekali.”
Kata si istri.
“Dia itu pengemis. Nanti pakaianku
jadi kotor.” Kata Malin angkuh.
Ibu Malin menangis. “Nak, kamu
tega sekali bilang begitu. Ini ibu kamu, yang melahirkan kamu, Malin.”
Orang-orang pasar ikan mendekat,
melihat ribut-ribut. Malin mulai membentak-bentak kasar. Orang-orang yang
mendekat itu, banyak pula yang mengenali Malin.
“Malin, kau jangan durhaka. Itu
ibumu. Ayo kau minta maaf.” Kata si bapak berkumis.
“Enak saja. Memang aku salah
apa. Aku juga tidak kenal kau. Aku tidak kenal ibu itu.” Malin menggaet tangan
istrinya. “Ayo kita pergi dari sini.”
Seseorang menghadang. “Hei, aku
kenal kau dari orok nak. Jangan macam-macam. Jangan lukai perasaan ibu kamu.”
Malin yang telah menguasai ilmu
bela diri dengan mudah membanting orang itu sampai lehernya patah. Seketika amarah
warga bangkit. Mereka menyerang Malin. Istri Malin menyingkir, membantu ibu
yang tersungkur sambil tersedu itu.
Sementara Malin bertarung
dengan para nelayan berbadan kekar, istri Malin menanyai si ibu. “Ibu benar
ibunya Malin?”
“Betul, Malin adalah anakku.” Jawabnya
terisak.
“Ibu punya bukti?”
Maka ibu Malin membeberkan
banyak hal tentang Malin. Tentang kesukaannya, tentang tabiatnya, tentang tanda
di atas pantat. “Sumpah demi dewata, ibu ini adalah ibu kandung Malin.”
“Tapi kata Malin, ibunya adalah
orang kaya yang sudah lama meninggal.”
Mendengar itu ibu Malin
bersedih hati.
Tak disadari, Malin sudah
melumpuhkan orang-orang yang mengeroyoknya. Menarik tangan istri dan memaksa
pergi.
“MALIIIN!” si ibu meraung.
Malin kaget dibuatnya.
“Aku ini ibumu nak.”
“Tidak sudi aku punya ibu
seperti kamu.” Malin berucap kasar.
Ketika Malin menggerakkan kaki
untuk pergi, ibunya merangkul kakinya. Malin yang risih kemudian menendang
perempuan tua itu hingga berdarah hidungnya. Orang yang berbondong datang
melihat itu dan mencaci Malin.
“Malin, tapi ibu itu tahu
tentang kamu. Dia itu ibumu.” Kata si istri.
“Ah, kamu ini. Kau ditipu. Ibuku
sudah lama mati.”
Orang yang mengenal ibu malin
tercengang mendengar itu. Beberapa mengenal Malin sejak kecil. “Malin! Jaga omonganmu.
Nanti dewata marah. Segeralah minta maaf. Sebelum terlambat.”
“Diam kau!” tangan Malin
menuding. Lalu ia menjunjung tangan tinggi ke langit. “Sumpah demi Dewata aku
tak kenal ibu itu!”
Seketika langit menjadi kelam
dan penuh gemuruh. Semua orang menjadi takut.
Ibu Malin bangkit. Dan menunjukkan
jati dirinya. Raungannya bukan lagi suara manusia biasa. Gelegar petir
mengelilinginya. Tangan menunjuk Malin. “Sumpah telah diucapkan. Sumpah palsu. Sumpah
pembuat murka dewata! Seorang anak tak mengakui ibunya. Maka kutuklah ia
menjadi batu!”
Orang-orang lari tunggang
langgang. Sementara setelah mengutuk putranya menjadi patung, si ibu berjalan
terseok-seok kehabisan tenaga, kembali ke gubuk reyot.
Rumor itu benar ternyata. Ibu Malin
adalah penyihir. Hal ini pun pernah didengar Malin. Sempat dahulu semasa
kecilnya ada tetangga usil yang memfitnah ibu Malin. Tapi banyak warga yang tak
percaya. Ibu Malin adalah orang baik-baik, yang senantiasa membantu kesulitan
warga. Ibu Malin merupakan tabib penyembuh. Berarti, ilmu yang dimilikinya,
yakni sihir, digunakan untuk kebaikan. Bagaimanapun, amarah ibu adalah murka
dewata. Sihir baik itu berubah menjadi kutukan mengerikan. Seluruh kekuatan
yang dimilikinya dilimpahkan seluruhnya untuk memberi pelajaran anak semata
wayangnya. Serta merta tubuhnya menjadi ringkih dan peyot. Separuh nyawanya
sudah dikeluarkan. Kini tinggal menunggu hayat. Padahal sejatinya, ibu Malin
telah hidup beratus tahun. Dan hanya Malin-lah putranya. Ketika ia memutuskan
untuk berbaur bersama manusia biasa, menyalurkan bakatnya demi kebaikan. Jatuh cinta
kepada manusia fana, yang kemudian meninggal akibat terjangan badai, di empat
bulan ia mengandung Malin.
Telat bagi Malin menyadari kesejatian
ibunya. Telat baginya menyadari kedahsyatan kutukan itu. Telat baginya untuk
tidak menyakiti hati ibu.
Kini waktunya habis untuk
mereguk penyesalan, dibakar petir, dihantam badai. Dipikirnya tubuh batunya ini
akan hancur dan usai sudah penderitaannya. Tidak. Tubuh batunya ketika mulai
hancur di suatu bagian, mewujud lagi. Dari luar memang tampak seperti batu,
tapi sesungguhnya itu adalah kulitnya. Petir membakar begitu panas. Rasanya ia
pikir sudah mati, tapi ternyata masih hidup untuk menjelang hari esok dan
penyiksaan berikutnya.
Ia menyaksikan pula, setelah
peristiwa dirinya dikutuk itu, istrinya pulang kembali ke pulau seberang naik
kapal layar miliknya yang dinamai Jalu Segara. Tapi di tengah laut, kapal itu
karam dihantam badai. Malin diperdengarkan teriakan maut istrinya. Pembalasan memang
berkali-kali lipat.
Belum lagi setiap kali
orang-orang melintasinya, sengaja untuk mempermalukannya dengan melempari
kotoran dan sumpah serapah. Orang-orang benci dirinya. Ada bahkan yang mencoba
menghancurkan patung batu Malin dengan godam raksasa. Hancur memang. Tapi esok malam
bangkit lagi. Berkali-kali orang-orang tepi pantai melakukannya, untuk membalas
dendam karena Malin membunuh beberapa nelayan. Sampai mereka berhenti sendiri,
karena tiap kali hancur, patung batu Malin terbentuk kembali.
Malin menangis. Tangisannya merembes
ke muka batu. Hanya anak kecil yang bisa melihat aliran tangis itu, tiap kali
mereka memberitahu orang tuanya, orang tua menjawab “Jangan sampai kau durhaka
seperti Malin.” Dan tiap bulan purnama, terdengar jerit tangis Malin membelah
malam. Membikin merinding penduduk desa.
Di hari keseribu dirinya
menjadi batu, ibu Malin datang mengucap perpisahan. Perpisahan dengan
kehidupan.
“Malin. Semoga kau dimaafkan
dewata. Ibu sudah memaafkanmu. Kau hanya khilaf. Ibu telah memohonkan ampun
untukmu, tapi dewata berkata lain. Ibu sudah lelah, separuh nyawa ibu telah
menjadikanmu patung. Maafkan ibu. Kini ibu hendak menghadap dewata. Semoga kau
dimaafkan dewata.”
Ibu Malin menghembuskan napas
terakhir di kaki patung Malin. Pagi-pagi seorang nelayan menemukan jasad Ibu
Malin basah karena air yang merembes dari mata patung Malin.
Dewata mengabulkan secuil
permohonan ibunya. Siksa Malin berkurang. Ia tak lagi disambar petir tiap
tengah malam. Hanya saja terjangan ombak masih menghantam.
Bergenerasi waktu berlalu. Kisahnya
menjadi pelajaran bagi manusia. Bahkan menjelma menjadi sekedar dongeng semata.
Bahwa tubuh patungnya ini hanyalah fenomena alam yang memahat batuan menjadi
serupa tubuh manusia.
Suatu hari langit menjadi gelap
sejadi-jadinya. Gemuruh angin berpusar mengerikan. Petir menggelegar lebih
dahsyat daripada yang pernah disaksikan. Kilat membenderangkan seolah menjadi
siang selama sekian detik. Satu larik petir dahsyat menyambar patung Malin. Menghancurkannya
menjadi serpihan hangus.
Setelah gonjang-ganjing kelap
kelip yang berlangsung semalaman itu, penduduk desa digegerkan mengenai adanya
bayi mungil di antara serpihan patung batu legendaris itu.
Malin dihidupkan kembali. Untuk
menebus dosa durhakanya.
Komentar
Posting Komentar