The Mentalist -- S02E01 - Opening Case - Murder in Mall


--oOo--
Mereka melangkah cepat menuruni eskalator. Terburu-buru. Patrick Jane mendahului, Lisbon di belakangnya mengikuti dengan tenang. Di sebuah mall terjadi satu pembunuhan. Seorang polisi telah menunggu kedatangan mereka di ujung bawah eskalator.

“Pagi, Kapten. Agen Lisbon, ini Jane, Konsultan.” Lisbon menyapa.

Mereka bersalaman. Si Kapten adalah pria gemuk sedang berkumis. Ada emblem bintang tujuh di seragamnya.

“Terima kasih sudah datang. Unit pembunuhan berhutang budi pada kalian.” Balas si Kapten. Lalu mengajak mereka ke TKP.

Sambil jalan agak cepat si Kapten bertanya, “Jane. Kau yang cenayang itu ya?”

“Betul.”

“Aku. Aku tidak percaya omong kosong ESP. Jangan tersinggung.”

“Tidak masalah.” Jawab Jane santai.


Mereka sudah sampai di TKP. Tubuh seorang pria di atas karpet bundar. Si Kapten membuka kain putih yang menutupi korban. Tertelungkup dengan kepala berdarah. Ia memakai baju lengan panjang warna merah. “Ivor Rassmussen. Umur 34. Alamat River Park. Tidak ada tanda alat bukti pembunuhan.”

Si Kapten memperhatikan Jane yang mulai mengendus dan melihat lebih dekat ke tubuh kaku korban. “Kami sudah mengumpulkan orang-orang yang ada di sekitar sini. Kami menahan mereka di departmen furnitur.” Lanjutnya. Patrick Jane mengendus bagai anjing pelacak. Si Kapten jongkok, “Jadi, Carnac, apa yang Ivor katakan? Dia bilang siapa yang melakukannya?”

Jane bangkit dan menatap si Kapten dengan pandangan meremehkan dan sedikit seringai. “Huh.” Lalu ia mulai, “Celana kulit, kolonye, pakai perhiasan. Pria penggoda. Mengincar wanita kelas menengah yang lumayan sukses. Pengguna kokain. Main gitar, tapi tidak handal. Kerja di bagian non-kreatif pada bisnis kreatif. Periklanan mungkin. Tidak terlalu layak untuk dibunuh. Jadi dia mati karena alasan asmara. Di mana para tersangka yang kau sebut tadi?” Patrick bangkit.

Lisbon melihat si Kapten agak terpesona dengan aksi Patrick, meski masih terlihat dari wajahnya si Kapten berusaha menyangkal keahlian cenayangan Patrick.

“Maksudmu saksi?”

“Terserah.” Patrick memasang wajah menantang.

Si Kapten mengajak mereka ke bagian furnitur. Selagi turun dari eskalator, Lisbon mengingatkan Patrick “Hei, santai saja.”

“Oke. Semuanya terkendali. Kita akan menyelesaikan ini dengan cepat lalu pergi.”

Di bagian itu sudah ada beberapa orang yang duduk dan berdiri gelisah. “Halo. Kami dari CBI. Salah satu dari kalian adalah si pembunuh. Jika begitu, aku akan menemukannya.” Patrick dengan cepat meraih perhatian mereka. Ia menoleh ke dua orang di sebelahnya, berdiri memandang Patrick dengan raut cemas. Seorang wanita kulit hitam dan seorang pria tua berambut putih. Patrick menatap mata mereka sambil menudingkan dua jari telunjuknya. “Mereka berdua tak bersalah. Mereka boleh pergi.”

Lisbon menghentikan mereka. “Uh, sebentar. Kami butuh pernyataan.”

Patrick kemudian menghampiri seorang pria jangkung memakai seragam pegawai mall ia membaca nametagnya, “Neil. Kesalahan terbesar apa yang pernah kau lakukan?” bidiknya langsung.

“Pernikahan pertama.” Jawabnya seketika.

“Jawaban bagus. Kenapa begitu gugup?”

“Aku tidak.. aku hany..”

Patrick meninggalkannya ke perempuan muda cantik berwajah Thailand. “Kamu, siapa namamu?”

“Candice.”

“Candice. Aku suka nama itu. ha. Oh.” Patrick mengambil sebuah jeruk imitasi dari meja. “Nih, terima kasih.” Ia mengangsurkan buah itu ke Candice, selagi ia menerimanya Patrick ganti mengambil tas dari tangannya.

“Hei.” Candice tidak terima.

“Tidak apa. Aku konsultan.” Patrick menggeledah tas Candice. Ia mengambil setabung kecil berisi obat-obatan. “Candice, terima nasihatku. Maafkan ibumu, mungkin sakit kepalamu akan berhenti.”

“Aku sayang ibuku.” Sangkal Candice.

“Oh, aku salah. Abaikan nasehatku.” Ia mengembalikan tas Candice.

“Kamu, namamu?” Patrick menuju seorang laki-laki gemuk duduk santai seolah menunjukkan dia sama sekali tak terlibat dalam kasus ini.

“Reed.”

Seorang wanita berdiri, “permisi. Ini lelucon kan?” nada suaranya menuduh.

“Lelucon? Seorang pria terbunuh di sini. Apakah itu lucu buatmu? Apa kau senang?” tukas Patrick.

“Tidak.”

“Duduklah kalau begitu!”

Wanita itu balik ke tempat duduknya. Patrick bertanya ke Reed. “Reed, pertanyaan cepat. Green Lantern versus Thor. Siapa yang menang?”

“Thor.” Jawabnya.

“oh ya.” Patrick menyetujui. “Kenapa kau bunuh Rassmussen?”

“Aku tidak membunuhnya.” Jawabnya santai, sama seperti menjawab pertanyaan tadi.

“Baiklah.” Beranjak ke wanita empat puluhan yang modis. Yang sedari tadi tak sabar. “Sekarang, Nyonya cemberut. Apa ceritamu?”

Wanita itu menyedekapkan tangannya di dada. “Namaku Mandy Schultz. Dan aku...”

“Biarkan kutebak. Suamimu seorang yang sangat berpengaruh.”

“Iya. Memang.” Jawab Mandy sombong. “John adalah dewan kota Modesto.” Ia berdiri mengonfrontasi Patrick, berharap Patrick menciut.

“Ah.”

“Dan ini sangat tidak profesional dan tak terhormat.” Ia mengeluh. “Dan aku bisa pastikan suamiku akan mengajukan komplain ke atasanmu.”

Patrick tak menggubrisnya. “Mandy, Mandy, Mandy. Pil diet telah mengacaukan pikiranmu. Di sini Sacramento. Suamimu tak ada artinya di sini.”

“Oke. Cukup.” Si Kapten menghentikan.

“Beri dia waktu.” Lisbon menyarankan.

“Kita tidak butuh waktu. Kasus akan terpecahkan. Mandy akan mengarahkan kita ke alat bukti pembunuhan.”

“Apa?”

“Pegang tanganku. Aku butuh kontak fisik untuk membaca pikiranmu.”

“Kamu gila!”

“Buktikan. Jika aku salah, jika kita tidak bisa menemukan alat buktinya, lalu aku tampak seperti idiot.”

Mandy mempertimbangkan. “Ya.” Ia menyerahkan tangannya untuk dipegang Patrick. Patrick menyentuhkan jempol dan telunjuknya di pergelangan tangan Mandy, di bagian biasanya kita mengecek denyut nadi. “Apa yang kau...”

“Diam.” Kedua pasang mata mereka bertatapan. Patrick mengamati ekspresi wajah Mandy sambil ia menggoyangkan tangan Mandy ke sana kemari. Mereka seolah berdansa.

Seiring mereka beranjak dan berjalan perlahan mengikuti arah ke mana tangan Mandy mengarahkan, semua saksi penasaran dan mengikuti mereka.

Tatap mata Patrick menyapu keseluruhan, tidak pada Mandy saja. Ia mengamati sekitar. Mengamati mereka yang mengikuti. Patrick sampai pada area produk gelas. Ia menggoyangkan tangan Mandy. Ke atas bawah, kiri kanan. Sambil tetap mengamati sekitar dan perubahan sekecil apa pun dari ekspresi Mandy.

Patrick membuka kotak berwarna biru ukuran besar. “Voila. Alat bukti pembunuhan.” Satu set gelas anggur yang salah satu kakinya berlumuran darah.

“Ini gila. Aku tidak tahu barang itu di situ.” Mandy merasa tersudut.

“Lalu bagaimana kau bisa mengarahkan kami ke sini jika bukan kau yang menaruhnya di sini?” tuduh si Kapten.

“Aku tidak menaruhnya.” Mandy gelagapan. “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak membunuh pria itu.”

Patrick menyerahkan alat bukti ke Kapten. “Dia tidak ada sangkut pautnya dengan pembunuhan ini.”

“Apa?” Lisbon terkejut.

“Aku hanya memanfaatkannya sebagai umpan untuk memunculkan pembunuh yang sebenarnya untuk memberiku arah yang jelas.”

“Ayolah, apa yang kau bicarakan?” Kapten menyela.

“Kemanapun dia tidak menginginkan kita menuju ke arah situ, dia ke situ.”

“Pembunuh sebenarnya?”

“Ya. Kau mau tebak siapa dia?”

“Ayolah, Jane.” Lisbon mulai tak sabar dengan permainan Patrick.

“Neil.”

“Hey, Whoa.” Neil mengangkat kedua tangannya. “Maaf. Tidak, bukan, aku bahkan tidak kenal pria itu.”

“Benarkah itu? aku tebak dia sedang berselingkuh dengan istrimu yang sekarang. Kau memergokinya dan memaafkannya. Seperti pengecut. Dia melihatmu di sini. Mungkin menyeringai dan bilang sesuatu yang cerdik. Membuatmu merasa kecil.” Patrick menambahkan dengan isyarat jarinya.

Para saksi menyaksikan dengan terkesan. Tiba-tiba Neil kabur melarikan diri.

“Tangkap dia!” teriak Kapten.

“Mempermalukanmu.” Tambah Patrick.

Terdengar suara barang pecah ketika polisi mengejar Neil. Gelas-gelas pajangan terjatuh dan hancur berkeping-keping di lantai.

“Kerja bagus.” Lisbon menyindir.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA