LOKA / LOCA? - PART 3 - "KARANTINA" (Bagian Awal)


“Join the madhouse when the walls are made of stone... and asylum we call home.”
― Arkarna, Your Psycho

 

Sudah begitu lama rasanya semenjak tulisan terakhir. Selain karena memori yang tak kunjung menjelas dan juga kesibukan lain, segenap perhatianku teralihkan ke naskah novel ketiga yang telah seperempat jalan. Dan Part III ini sering menagih dalam setiap kesempatan, jadi daripada dia terus – terusan datang lebih baik kutunaikan saja.

 

Sisa – sisa matahari yang membakar kulit, menampakkan koreng – koreng akibat kulit yang terkelupas. Di setiap kulit yang terkelupas itu tersimpan kenangan yang melelahkan, membakar daging dan memeras keringat. Ramai – ramai kami bergantian mencukur botak rekan seangkatan. Baik menggunakan alat cukur listrik maupun cukur kumis silet. Yang ketika terbasuh air, perihnya minta ampun.

Saat itu awal Ramadhan.


Kami disibukkan dengan pembersihan najis dari pakaian ospek. Masih kikuk ketika berpapasan dengan kakak tingkat. Masih kaku menyapa rekan seangkatan bahkan sekamar. Berbarengan dengan pembagian kelas dan grup, kami juga berganti rekan sekamar. Aku masih di kamar 3B bersama dengan Bambang, Fauzi, dan Adi.

Awal Ramadhan itu hari Sabtu. Kakak tingkat menjelaskan mengenai piket – piket dan perkenalan dengan lingkungan LLK beserta ruang diklatnya.

Ada banyak area untuk dibagi piket per-orang. Kak Jefri menjelaskan. Masing – masing kamar mendapat empat area. Dalam beberapa kali rotasi nanti akan ada satu kamar mendapat piket off. Alias libur.

Bagi tingkat satu, ada piket khusus, yakni piket botol. Yang tugasnya adalah membangunkan anak seasrama, menyiapkan form tanda tangan kantin dan mengganti galon air minum.

Ada kejadian menarik. Fauzi, rekan sekamarku limbung tiba – tiba pada saat gladi resik peresmian siswa baru LLK-BS. Waktu itu memang, melatih kami tidak mudah, butuh kerja keras untuk menyelaraskan gerak kami dari duduk hingga berdiri tegap. SIAP. HORMAT.SELESAI.

Mungkin kenangan berat ketika ospek masih menggerayangi otot di sekujur tubuh Fauzi. Menggelitiki setiap syaraf sampai kaku. Fauzi jatuh, kolaps, dan kejang – kejang. Kami semua panik. Sie Or (seksi olahraga) dan Sie Asrama datang menolong. Membopong Fauzi ke kamar untuk dirawat. Setelah beberapa hari sakit ia akhirnya dibawa pulang ke Majalengka untuk dirawat intensif. Aku pernah satu kali menjaganya pada jam tarawih.

Sore hari, kami latihan senam Taiso (Taiso itu artinya senam). Dipimpin oleh Sie Or Kak Muhtadi. Yang berpenampilan rapi, harum, dan sok galak. Sosoknya mengingatkanku pada hal – hal yang melambai.

Ada begitu banyak gerakan dan urutan aba - aba dalam senam itu. Push up 20 kali. Yang masih terasa berat pada awalnya. Lari serempak menuju ujung komplek lalu balik lagi. Setelah senam lanjut pull up. Otot-otot masih kaget dan sulit untuk diajak bekerja sama.

Ada satu istilah. Yaitu Bintang. Satu bintang setara dengan dua puluh push up. Sewaktu masih ospek, kakak-kakak senior sudah ada yang mengenalkan istilah itu dan membanjiri per anak di buku tulisnya dengan jumlah bintang. Bintang-bintang itu akan dianggap hutang. Harus dibayar setiap malam menjelang tidur. Faktnya adalah, hutang-hutang itu sulit untuk dilunaskan. Setiap anak minimal dapat 50 bintang. Bahkan ada yang sampai 100. Angkanya pun bertambah seiring hari berjalan. Kesalahan sedikit akan ditambah beberapa bintang. Tergantung kebaikan hati sang senior.

Rutinitas selama ramadhan adalah seperti ini; piket botol akan membangunkan sahur seluruh penghuni asrama. Sahur makan di kantin. Kemudian sholat subuh berjamaah di masjid Bridgestone. Mandi, piket, sampai senam seperti biasa. Belajar selama sehari penuh. Minggu-minggu awal aku belajar Teknik Dasar Listrik. Sore hari, orang kantin mengantarkan puluhan rantang ke asrama. Lalu piket botol membagikan ke seluruh kamar. Kadang senior suka memilih dan mengintip menu di dalamnya, lalu mengambil duluan. Siswa junior dibagi menjadi empat grup, sesuai dengan jurusan masing-masing, untuk menyiapkan takjil di masjid. Menata gelas dan piring dan mengisinya dengan jajanan, gorengan dan minuman yang telah disiapkan oleh DKM masjid.

Salah satu anak berkewajiban untuk mengumandangkan adzan maghrib tanda buka. Ingat, jangan rakus ketika menyantap takjil. Perutmu akan kekenyangan duluan sebelum menyantap makanan buka yang telah disiapkan di asrama. Biasanya akan jadi masalah bagi junior bila memakan santapan buka lewat pada waktunya. Senior sih bebas.

Di masa karantina, siswa junior dilarang menonton televisi, jika ketahuan, bintang akan bertambah, plus hukuman piket tambahan.

Dilarang makan sambil berjalan, apalagi menggunakan tangan kiri. Pernah suatu ketika Ali mengunyah permen sambil berjalan di lorong kamar mandi, ketahuan oleh Kak Puji. Dapat masalahlah dia.

Hari-hari awal sungguh terasa. Yang kemudian menjadi kebiasaan, yaitu ngantuk di jam pelajaran berlangsung. Ini menjadi alasan bagi instruktur untuk menegur dengan segelas air disiramkan ke kepala. Basah kuyup kedinginan karena AC.

Cobalah untuk tetap terjaga ya.

Pelantikan berjalan sedikit kurang lancar karena Nico sebagai komando pelafalan janji Siswa LLK-BS mengalami ketersendatan hapalan. Kami berfoto di panggung bersama orang Jepang. Atasan di pabrik. Kemudian foto bersama di depan Diklat. Foto-foto itu bisa kau jadikan kebanggaan nantinya, bisa kau tunjukkan kepada sanak saudara dan teman-teman di luarmu bahwa kau pernah berfoto dengan orang Jepang.

Siswa junior dilarang keluar pada hari Minggu, kecuali yang kedapatan piket belanja. Banyak yang menitip biskuit Roma. Karena murah dan banyak isinya. Ingat, di jalan, kau dilarang berbicara dengan orang. Apalagi menelpon atau berkirim pesan. Handphoneku masih disita. Dan aku malu, kakak yang memegang handphone mengetahui pesan pembuka pada saat handphone itu dinyalakan isinya “I Love Miyabi” aku menjadi bulan-bulanan oleh senior. Sialan!

Minggu pertama senam dipimpin oleh siswa senior agar siswa junior memperhatikan dan terbiasa. Tidak begitu sulit untuk menghapal gerakan karena Sie OR Muhtadi mengajari kami dengan baik. Aku suka caranya mengajari.

Bulan Ramadhan tidak serta merta menjadi bulan yang tenang dan dipenuhi berkah. Tidak selalu. Karena ada saja kesalahan yang membuat Senior marah dan menghukum kami. Tidak tanggung-tanggung, setelah takjil dan sholat Maghrib kami dikumpulkan di depan Asrama dan dihukum, posisi nomor sembilan sampai Isya menjelang, Senior berteriak-teriak menyebut kesalahan kami. Misalkan, ada yang masih makan sambil berjalan ketika di masjid. Ada yang berbicara dengan orang pabrik (kupikir ini absurd, kenapa tidak boleh bicara dengan orang?)

Ada juga kesalahan berupa Junior selonong boy, yaitu lewat atau papasan dengan kakak tingkat tidak mengucap salam.

Capek dihukum. Bintang pun bertambah dan setiap malam harus mengunjungi ke kamar kakak tingkat yang memberi vonis bintang itu. Ingat, jangan bicara keceplosan! Jaga mulut. Apalagi membicarakan teman seangkatan lain. Karena kaukira senior sedang beramah tamah denganmu, ternyata mereka mencatat itu. Bicara secukupnya saja.

Ada pada suatu malam, siswa junior dikerjai oleh senior. Selagi masih tidur enak di malam hari, tiba-tiba bel berbunyi keras dan bunyi galon dibanting, mereka marah-marah karena piket botol bangun telat. Buru-buru mereka yang mendapat giliran piket botol membangunkan seisi asrama, anehnya, kenapa hanya siswa Junior yang bangun dan berangkat ke kantin untuk sahur.

Anehnya lagi, jam di masjid dan di kantin menunjukkan pukul setengah dua malam. Ahhhh, sabotase! Ada oknum senior yang sengaja menyetel ulang jam asrama dan jam alarm piket botol.

Kena deh!

Orang kantin pun terheran, untung saja, makanan sahur sudah tersedia, jadi kami makan satu angkatan sendirian. Konyolnya lagi, ketika kami kembali ke asrama, pintu gerbang dikunci gembok. Sial! Kampret! Kita tidak bisa masuk.

Akhirnya kami duduk-duduk di depan diklat, ada yang latihan push up, ada yang latihan senam. Bahkan, kita semua ikut latihan senam. Memanfaatkan waktu.

Pada waktu jam sahur seharusnya, barulah siswa senior keluar dan membukakan pintu. Mereka cekikikan, ada pula yang sok rahasia, tidak tahu menahu, padahal aku yakin mereka satu angkatan telah menyiapkan siasat ini.

Di masa depan, cerita ini menjadi cerita yang asyik untuk diobrolkan, mengenang masa lalu.

Ada Ramadhan ada pula mudik.

Minggu akhir Ramadhan kami was-was apakah kami nanti diijinkan pulang mudik atau tidak. Karena menurut cerita kakak tingkat mereka bilang mereka tidak diijinkan pulang. Perbincangan itu santer terdengar di antara kami. Bahkan para instruktur menggoda kami. Bahwa kami harus tetap tinggal di asrama dan takbiran di atap.

Tapi, kita diijinkan pulang kok.

Seisi asrama sibuk menyiapkan diri untuk menyambut hari raya, bertemu sanak keluarga, mereka-mereka yang satu daerah berkoordinasi supaya bisa berangkat bersama-sama. Aku, Sutrisno, Indra. Grup arah Timur. Bersama kakak senior, Aldino, Repto, Verianto, dan Hendro. Kami berangkat bersama menuju stasiun senen. Mereka bilang, sudah di luar asrama, bersikaplah akrab kepada mereka. Tapi tetap saja, rasanya masih kikuk. Ada perasaan sedikit terancam bila saja salah berkata.

Aku sih mencoba mengakrabkan diri. Bahkan di waktu duduk-duduk di peron aku bercanda dengan kak Aldino. Aku dibilang songong lu. Tapi untungnya di depan, itu tidak dijadikan masalah.

Ada kekompakan di sana. Kakak tingkat membantu kami mendapatkan gerbong dan tempat duduk yang satu tempat. Di sana, kita semua hanyalah anak-anak perantau, yang menguji nasib.

Jika diingat kembali, itu menjadi momen yang cukup menyenangkan. Mudik. Sampai di desa, bercerita kepada sanak saudara, berbangga diri karena bisa belajar di pabrik ban ternama Bridgestone.

Tapi, aral masih melintang di depan mata. Menanti dengan murah senyum.

 

 

 

~~~ berlanjut ke episode PART 3 bagian tengah “SABTU KELABU”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA