BERDARAH-DARAH MENGGUGAT BULAN


 Pungguk tidak lagi merindukan bulan, sekarang Pungguk ingin menggugat Bulan. 


Nama asli Pungguk adalah Agung. Karena dia suka sekali nongkrong di dahan pohon sampai malam larut, dan lebih lama lagi ketika bulan purnama tayang di langit, lama-lama dia dipanggil demikian. Ketika dia duduk bertengger, orang-orang melihat siluetnya, terutama ketika bulan purnama tayang di langit, seperti pungguk. Seperti pungguk merindukan bulan.

Pungguk mencintai gadis bernama Bulan di kampung. Dari kecil ingusan dia sudah mengejar gadis berparas elok seperti bulan purnama itu. Ketika dicandai teman-temannya karena cintanya tak berbalas, Pungguk tak pernah sakit hati. Baginya, mencintai Bulan meski tak kunjung berbalas, adalah sebuah seni, adalah sebuah pelajaran hidup, adalah apa yang menjadikan hidupnya bergairah. 

“Aku ini adalah Putera Kayangan yang turun ke bumi untuk mencari sekuntum mawar putih untuk kupersembahkan kepada Puteri Bulan. Sayang, aku melanggar pantangan ayahku, sehingga aku dikutuk tinggal di sini, dan berakhir dalam tubuh anak lelaki berwajah seperti pungguk ini.” Benar, wajah Agung alias Pungguk, mirip burung pungguk.

Pungguk menyandang identitas dengan penuh bangga. Di acara festival kampungnya, dia berdandan sebagai pungguk. Semua orang terkesima melihatnya. Pungguk begitu pandai memanfaatkan daun-daunan kering, kain perca bekas jahitan, sabut kelapa, dan apa pun benda-benda terbuang lainnya menjadi kostum. Meski dia tidak juara satu pada festival itu, ada satu orang yang terkesima padanya melebihi yang lain.

Dia adalah Bulan.

Suatu malam, Pungguk merasakan bulan di langit bersinar lebih terang. Dia duduk termenung, mengagumi keindahannya. Pada permukaan bulan yang terang, Pungguk melihat wajah si Bulan. Senyumnya merekah. Pungguk menjulurkan tangannya, mau memeluk Bulan. Lalu… seseorang menepis tangan Pungguk. Sekonyong-konyong mengagetkan Pungguk. 

“Heiii!!” Pungguk protes.

Lalu dia terdiam. Dia terpana. 

Malam ini Pungguk tidak sendiri. Bulan yang selama ini dia kejar-kejar akhirnya datang mengabulkan keinginan hati. “Ini,” kata Bulan, menyodorkan sesuatu ke Pungguk. Pungguk terlalu terpana sehingga dia tak melihat apa yang disodorkan Bulan. Bulan purnama di langit langsung Pungguk cueki. Yang ada di hadapannya jauh lebih indah.

“Hei, bengong saja,” tegur Bulan. 

Pungguk bersin. Rupanya Bulan iseng menggelitiki hidung Pungguk pakai setangkai bunga mawar putih yang dari tadi disodorkan tapi diabaikan oleh Pungguk.

“Aku… cinta kamu,” Pungguk keceplosan.

Bulan tertawa. Manis. Mengagumkan. Mendebarkan.


“Yah, tidak seru lagi, nih,” kata teman-teman Pungguk, soalnya Pungguk tidak lagi merindukan Bulan, karena sekarang sudah di pelukan.

Di kampung yang miskin itu, benih cinta Pungguk dan Bulan jadi perbincangan. Sebagian menyebut mereka pasangan si cantik dan si buruk rupa, sementara yang lain melihat bahwa cinta tak pernah memandang paras. 

“Kita jadi panutan, nih” kata Bulan.

Meski sudah berbulan-bulan lamanya mereka berpacaran, Pungguk masih tak percaya dia bisa mendapatkan hatinya Bulan. “Panutan?”

“Iya, orang-orang percaya pada kekuatan cinta.”

“Tapi kita masih miskin.”

“Dengan kekuatan kita berdua, kita bisa melakukan perubahan,” kata Bulan dengan yakin. Pungguk menatap pacarnya dengan takjub.

Bulan mengajak Pungguk mengaitkan jari kelingking. 

“Apa ini?”

“Aku mau kita berdua bergerak untuk membuat kampung kesayangan kita ini lebih maju,” kata Bulan.

Pungguk butuh waktu untuk berpikir. Selama ini dia tidak merasa masalah dengan kampungnya yang bisa dibilang ketinggalan jauh dari kampung tetangga. Mereka sudah lebih mendekati suasana kota ketimbang kampung ini, sebut nama kampung Pungguk dengan Kampung Oloketoro, yang udik dan ketinggalan jaman. Anak-anak di sini sekolahnya mentok di SMP, kalau ada yang sampai SMA berarti anak itu sangat niat. Pemuda-pemuda di sini lebih memilih berkeliaran di pasar, jadi tukang angkut barang. Sebagian yang lain beredar di kampung-kampung sebelah, menyerobot lahan parkir untuk dijaga. Sebagian yang lain, beredar dari terminal ke terminal, dari perempatan ke perempatan, menjadi pengamen. Kalau dibandingkan dengan kehidupan kampung sebelah yang lebih kota, pemuda-pemuda di sini memang madesu, alias masa depan suram.

Pungguk mencintai Bulan. Pungguk tak akan menolak permintaan Bulan. Kalau Bulan minta Pungguk pergi ke bulan, apa pun caranya Pungguk akan lakukan.

“Buat kampung ini lebih maju. Aku setuju,” jawab Pungguk.

Senyum Bulan merekah, dan cahayanya menyinari wajah Pungguk. Untuk sesaat wajah Pungguk berubah rupawan. Mereka berciuman.

Ciuman itu adalah yang pertama kali, dan itu cukup buat Pungguk menuruti semua permintaan Bulan. 

“Kita pergi mencari ilmu di kota. Lima tahun kita akan kembali ke sini membawa perubahan. Mengaplikasikan bekal ilmu yang kita peroleh. Jangan khawatir kalau di tengah jalan kita akan berpencar jalan, karena jalan setiap orang untuk membawa perubahan tidak pernah sama.”

“Lima tahun lagi kita akan bertemu,” ucap Pungguk.

“Kita pasti akan bertemu. Itu janjiku,” kata Bulan.

Keduanya berjanji subuh-subuh akan bertemu di terminal. Namun, sesampainya Pungguk di sana, dia tak mendapati Bulan. “Mungkin dia sudah berangkat?” kata salah satu supir bus. 

“Ke Kota,” kata Pungguk, memberi ongkos ke supir bus. 

Pungguk tidak tahu kalau bus yang Bulan naiki beda jurusan kotanya. Ternyata lebih jauh dari yang Pungguk naiki.

Belasan tahun Pungguk sabar menunggu Bulan. Barang lima tahun lagi, itu bukan masalah.

Sesuai perjanjian semestinya Pungguk mengejar ilmu. Sayangnya dia tidak lolos masuk kampus bahkan sejak dari gerbang. Di kampung Pungguk tidak sekolah, mana bisa punya ijazah SMA? Huruf alpabet saja dia tidak hapal. Tapi kalau urusan duit, itu urusan lain. 

Demi memenuhi janjinya pada Bulan, Pungguk akan tetap mengejar ilmu, tapi bukan di bangku sekolah. Dia memutuskan nongkrong di warung-warung tempat anak kuliahan berkumpul. Dia mencuri dengar perbincangan mereka. Sesekali ikut menimpali dengan pertanyaan. Anak-anak kuliahan menyambutnya, mengajaknya ikut perkumpulan. Sejak dari situ Pungguk aktif dalam aktivisme, ikut demo, ikut tawuran sesekali, ikut mabuk-mabukan, ikut berorasi, ikut melempar batu melawan barisan aparat, ikut menggulingkan rektor. Hanya dua hal yang dia tidak bisa ikut: wisuda dan pergaulan bebas. Cintanya masih dijaga murni hanya untuk Bulan. Dan cinta meliputi hati dan raga.

Pungguk cukup belajar mengenai sosialisme dan keadilan. Bekal itu cukup buatnya untuk mengubah kampung Oloketoro. Tapi, ini belum lima tahun, dia belum bisa pulang. Sambil mengisi waktunya, Pungguk mencari keberadaan Bulan di kota-kota seberang. Kata Bulan mereka akan berpisah jalan, Pungguk hanya tak menyangka mereka berpisah bahkan sejak di terminal. Kerinduannya sudah memuncak, dia ingin tahu kabar Bulan di kota. 

Pungguk tak menemukan Bulan di kampus-kampus di kota-kota seberang. Pungguk tak menemukan jejak Bulan di internet. Pungguk akhirnya terdampar di sebuah pasar. Di sana sedang terjadi pertikaian antara preman dengan pedagang. Menggunakan ilmu yang diperolehnya dari anak-anak kuliah, Pungguk datang sebagai juru selamat. Pungguk dihormati, dan tak butuh waktu lama, dia dinobatkan sebagai ketua pasar. 

Langit kini memajang bulan purnama ke-60 semenjak perjanjian itu dibuat. Pungguk memutuskan pamit dari pasar yang menjadikannya ketua, untuk pulang ke kampung Oloketoro.

Menginjakkan kaki di kampung halamannya, Pungguk melongo tak percaya. Kampung halamannya berubah. Gapura nama kampung yang dulu bobrok dibiarkan sekarang sudah megah dibuat dari batu dan semen berkualitas. Pungguk masih tak bisa membaca, tapi dia mengenali bentuk huruf yang merangkai nama Oloketoro, dan gapura kali ini sama sekali berbeda. 

Masuk ke dalam, Pungguk tak mendapati wajah-wajah familiar. Kampung Oloketoro sudah total berubah. Ini bukan lagi kampung. Ini kota. Penuh bangunan beton, trotoar lebar, mobil-mobil, rumah serupa saling berjajar. Di mana rumah Pungguk yang terbuat dari anyaman bambu dan sabut kelapa itu? Pungguk tak menemukannya, bahkan setelah mencapai ujung. Pungguk seperti masuk ke dunia lain. Seperti ke dunia yang orang-orang sebut sebagai kota Saranjana. Semua serba modern. Orang-orang pada berpakaian bagus. 

Pungguk gelisah. “Pohonku!” dia mencari ke segala tempat, mengira-ngira di mana letak pohonnya karena semua penunjuk arah yang dia akrabi sudah tak ada di tempatnya. Akhirnya, Pungguk menunggu malam, menunggu bulan purnama. Akhirnya dia menemukan pohon kesayangannya. Ternyata letaknya di balik pagar beton tinggi yang membatasi kota ini. Pungguk memanjat, dan mendapati pemandangan yang membuat hatinya tertinju. 

Kampung yang diingatnya tinggal puing-puing, tersisihkan di luar pagar beton tinggi ini. Di sana dia melihat sobat-sobat lamanya sedang mengais sampah. Hati Pungguk teriris. Seandainya saja dia tidak pergi.

“Hei, penyusup!” petugas patroli memergokinya. “Pergi dari kota Becikegeden!” Pungguk kena tembakan setrum, lalu jatuh ke reruntuhan kampung Oloketoro.

 Kepala Pungguk benjut, tangannya terkilir. Dia dirawat oleh teman-temannya. Syukurlah mereka masih mengingat Pungguk. “Apa yang terjadi?” tanya Pungguk begitu siuman.

“Pacarmu, tuh,” kata salah satu teman. 

“Hah?”

Lalu temannya menjelaskan panjang lebar sembari ditemani pisang goreng dan kopi panas. Versi ringkasnya begini: 

Bulan mengingkari janjinya. Sebelum lima tahun dia sudah kembali ke kampung Oloketoro. Entah bagaimana dia bisa melakukannya, Bulan berhasil masuk ke lingkungan para pemegang kebijakan. Tahu-tahu, sejak enam bulan ke belakang, kampung Oloketoro direnovasi besar-besaran. Awalnya warga senang karena mengira kualitas hidup mereka akan naik. Bajingannya, ternyata pembangunan ini bukan buat warga asli. Renovasi ini untuk orang-orang kota yang mencari tempat tinggal di pinggiran, yang lebih tenang dari hiruk pikuk kota, tapi dengan tidak meninggalkan kenikmatan kota yang biasa mereka nikmati. Hasilnya, warga asli yang dianggap hama dipukul mundur. Mereka semua disingkirkan. Yang melawan dihancurkan. Bulan naik menjadi walikota.

Pungguk yang selama lima tahun ini akrab dengan pergerakan melawan ketidakkeadilan, teraduk-aduk perutnya. Tak mungkin Bulan berbuat begitu. Kan dia menginginkan perubahan?

“Meleklah kawan, Bulan memang tak pernah bisa digapai. Standarnya jauh dan amat berbeda dari kita semua. Perubahan yang kalian mau kejar sangat berbeda. Memangnya kalian tidak membicarakan itu dulu?”

“Aku pikir perubahan untuk kebaikan,” Pungguk tertunduk.

“Kebaikan versimu dan versinya beda, kawan.”

Karena ketidakadilan ini, Pungguk tidak lagi merindukan bulan, sekarang Pungguk ingin menggugat Bulan. 

Seperti halnya yang dilakukan Pungguk waktu menjadi ketua pasar, Pungguk menggalang massa. “Demi keadilan! Kita rebut kembali hak kita! Rebut kembali tanah kita!”

Massa yang berjumlah lima puluh orang itu terbakar semangat. Bersama-sama mereka menembus barikade petugas keamanan Becikegeden menuju gedung walikota. Pungguk paling depan sembari terus berorasi. “Maju! Maju!”

Pungguk maju bersama tuntutan keadilannya, tapi di sisi hatinya yang lain, dia hanya ingin bertemu Bulan. Ingin bertanya, kenapa Bulan mengambil jalan ini.

Bagai pungguk merindukan bulan, perbedaan kekuatan massa Pungguk dan petugas keamanan Becikegeden sejauh langit dan bumi. Baru dua menit perlawanan, massa Pungguk sudah terpukul mundur, sebagian besar luka parah. 

Pungguk tak mau menyerah. Dia menyelinap kabur dari kericuhan. Hal yang dirancangnya sejak awal bersama massa perlawanan. Pungguk menyamar, menggunakan seragam petugas keamanan setelah melumpuhkan salah satunya. Berbulan-bulan tinggal di pasar, Pungguk belajar bela diri dari para jagoan. Pungguk mengerahkan semua jurusnya.

Gedung walikota adalah bangunan paling megah di komplek pemerintahan kota Becikegeden. Untuk mencapai pintu lobinya saja harus melewati ratusan anak tangga. Gedung walikota rasa istana para dewa. Pungguk akhirnya sampai di anak tangga paling dasar, dan dia bersiap menghajar petugas yang menghadangnya. Satu per satu anak tangga dia lewati. Satu per satu tongkat baton dia tangkis. Satu per satu bogem dia halau. Satu per satu peluru dia hindari. Namun, sesakti-saktinya manusia, pada akhirnya akan tumbang juga. 

Tinggal lima belas lagi anak tangga, dan Pungguk bisa melangkah ke pintu lobi. Namun, tubuhnya sudah menyerah. Pungguk berdarah-darah. Petugas keamanan masih berdiri dengan gagah. 

“Bulan…” lirih Pungguk, wajah menempel ke lantai anak tangga. 

Segalanya berubah gelap. 

Semilir sadar, Pungguk melihat kekasih rindunya. Dia telah dipindahkan ke sebuah ruangan. Dengan baju kehormatan seorang walikota, Bunga membangunkannya. “Pungguk.”

“Bulan…”

Bulan tidak tersenyum. Wajahnya dingin.

“Kenapa?”

Pertanyaan Pungguk tak pernah terjawab sebab dia napasnya sudah lewat. Yang dia lihat terakhir kali adalah wajah menawan Bulan. Wajah cantik itu tak pernah berubah. 

Namun tuntutan keadilan Pungguk terus menggema. Mati satu tumbuh seribu. Pergerakan massa Pungguk menyebar ke kampung-kampung seberang yang juga dirampas haknya. Pasukan-pasukan perlawanan baru telah lahir dan siap meneruskan perjuangan Pungguk. 

Lambat laun, pepatah pungguk merindukan bulan berubah kekal menjadi pungguk menggugat bulan.


~~~



Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA