SANTAP

Sudah telat baginya untuk kembali menjadi manusia.

Sebut saja namanya Beruk. Ia sebatang kara. Tak punya orang tua. Banyak yang bilang ia dilahirkan sebongkah batu tempat perancap memuntahkan cairan klimaks renjana. Tentu saja itu tidak benar. Ia anak manusia. Siapa pun boleh bilang begitu. Oleh orang budiman yang ekonominya kurang baik, ia diangkut dari gang kumuh lalu diantar ke panti asuhan. Di sana ia tumbuh menjadi anak yang aneh.

Ia kurang teman, sebab ia aneh. Sebenarnya nama pemberian ketua yayasan kepadanya cukup bagus, tapi orang sudah banyak yang lupa, sebab mereka suka memanggilnya Beruk. Mukanya mirip beruk. Ia tumbuh dengan merasakan banyak cemoohan, itu membuatnya membenci orang-orang. Ia pikir orang-orang itu semuanya baik. Tapi kenyataannya terbalik. Banyak orang jahat kepadanya, sebab ia anak yang aneh. Ia benci orang-orang itu karena menganggapnya aneh. Si Beruk Aneh.
Ia kecewa dengan kehidupan, pengasuh pertamanya sudah mangkat dari tempatnya diasuh. Hanya beliau satu-satunya yang pernah baik kepadanya. Semenjak pengasuh itu pergi, Beruk jadi aneh. Keanehannya itu disebabkan kekecewaan. Ia lampiaskan itu dengan memakan jangkrik-jangkrik peliharaan ketua yayasan. Waktu itu ia baru umur enam. Ia makan jangkrik-jangkrik itu karena berisik. Esoknya ketua yayasan marah-marah dan menghukum semua anak asuh yang ada di panti, karena tak ada satu pun yang mengaku.



Panti asuhan itu didirikan sebuah yayasan, dan yayasan itu punya sekolah. Si Beruk sekolah di sana. Di sana ia tak punya teman. Temannya hanya sedikit. Sedikit itu yang jelek mukanya. Jelek muka tidak apa-apa asal mereka baik kepadanya.
Temannya yang sedikit itu kagum kepada Beruk yang dapat menirukan suara jangkrik dengan fasih. Seisi kelas pada kebingungan ketika pelajaran matematika yang menuntut kesunyian, pecah karena ada suara jangkrik yang nyaring. Guru matematika ngamuk dan memeriksa semua tas murid. Tentu tidak ketemu. Karena suara jangkrik itu berasal dari pita suara Beruk. Teman-teman muka jelek si Beruk ketawa sehabis pelajaran berakhir. Mereka merayakannya dengan mengoplos minuman. Kegiatan aneh itu cocok dengan Beruk yang kadung dianggap aneh oleh siapa pun.

Beruk berpikir bagaimana ia dapat menirukan suara jangkrik. Hal itu diketahuinya saat mencoba bersiul, lha kok seperti jangkrik. Jadinya ia keterusan, karena siul yang berubah jadi kerik jangkrik itu lucu. Pertama kali itu ia merasa istimewa, teman-temannya yang jelek mukanya itu terhibur. Semakin dilatih semakin fasih bunyinya. Jawaban itu datang tatkala ia jalan kaki pulang sekolah. Bersumber dari tulisan slogan di sebuah badan truk pengangkut produk makanan “you are what you eat” si Beruk paham bahasa Inggris. Itu artinya “kamu adalah yang kamu makan”. Oh, jadi kalau Beruk makan jangkrik, ia berubah jadi jangkrik. Jawaban itu bagai petir gagasan yang menyambarnya. Sambaran itu menjadi panduan hidupnya. Ia memercayai slogan itu sepenuhnya. Slogan itu seolah jadi agama barunya.

Si Beruk jalan kaki setiap hari demi berangkat sekolah. Uang jajannya sangat sedikit karena uang pemberian donatur kerap ditilap oleh ketua yayasan kemudian ditilap lagi oleh pengasuh. Tapi tak mengapa. Di sepanjang jalan itu Beruk dapat merenung dan mendalami agama barunya. Bahwa benar adanya kalimat “kamu adalah yang kamu makan”. Namun dengan satu kondisi, si Beruk baru paham karena ia tak bisa berkokok walaupun ia sudah makan ayam goreng hambar buatan tukang masak yayasan, “Kamu adalah yang kamu makan” hanya berlaku kalau yang kamu makan itu masih hidup ketika kamu makan.

Sering ketika hujan, Beruk tak peduli walau bajunya kebasahan, ia jalan terus di pinggiran sawah. Ia mendengar suara kodok bernyanyi menyambut hujan. Berisik mengusik tapi asik. Di sekolah, teman-teman yang mukanya jelek itu sudah bosan dengan suara jangkrik si Beruk. Parahnya, guru matematika yang galak juga sudah tahu suara jangkrik pengganggu keheningan kelas berasal dari si Beruk. Maka dari itu, si Beruk ingin punya suara yang baru. Suara kodok. Teok teok teblung.
Si Beruk mencemplungkan diri ke sawah dan berburu kodok. Susah memang. Ia memakan hidup-hidup kodok yang ia tangkap setelah tubuhnya berlumuran lumpur. Si Beruk tak peduli walau rasanya buruk. Ia senang mendengar derita kodok yang menggeliat luar biasa saat ia menggigit kaki mungilnya sampai putus. Agama barunya memberi pemahaman baru lagi. Makanan yang kamu makan harus hidup dan sadar ketika kamu makan. Harus ada kengerian yang membuat makananmu ketakutan. Barulah kamu bisa menjadi apa yang kamu makan.
Teok teok teblung. Teman-teman muka jeleknya bertepuk tangan kegirangan dengan suara baru si Beruk. Kamu adalah yang kamu makan. Si Beruk bahkan bisa melompat seperti kodok. Teok teok teblung peculut! Teman-teman muka jelek meledak tawa sampai sakit perut.

Rupanya keahlian melompat ala kodok itu bermanfaat baginya di bidang olahraga. Dengan enggan, guru olahraga mendorongnya ikut perlombaan lompat jauh. Untuk waktu yang singkat, si Beruk senang dengan antusias teman-teman muka jeleknya yang mendukungnya sepenuh hati. Maka ia malam-malam keluar membawa senter diikat di kepala, berburu kodok di sawah. Tengah malam saat bulan purnama, anak manusia berpanggilan Beruk, melahap puluhan kodok. Teman sekamarnya mengira cairan hijau yang mengalir di bibir Beruk adalah iler. Si Beruk lupa mengelap mulutnya sehabis kenyang makan kodok.

Kegiatan memakan kodok itu membawa si Beruk jadi juara lompat jauh. Ia jadi tenar, namun kemudian orang-orang jadi memanggilnya si Kodok. Memang benar, sekali dirundung, terus dirundung, tak peduli prestasi yang telah diraih. Si Beruk yang tadinya sudah melompat hati karena bangga, jadi makin benci. Ya kecuali teman-teman muka jeleknya yang setia mendukung. Si Beruk jadi ogah ikut perlombaan lagi, ketika ditawari oleh guru olahraganya, ia melempari guru itu dengan tahi kucing. Oleh karena tindakan kurang ajar itu si Beruk dihajar sampai mukanya tambah jelek. Ketua yayasan dipanggil ke sekolah, si Beruk kemudian dihajar lagi di belakang panti karena telah membuat malu. Si Beruk yang sudah jelek makin jelek dan makin jelek lagi.

Si Beruk kesal dan ingin balas dendam. Tak mungkin dengan jiwa kodoknya ia akan melakukan pembalasan itu. Ia ingat, ketika dihajar habis-habisan itu ia setengah mati ingin menggigit telinga si penghajar sampai putus. Dari penjaga warung sebelah panti, ia tahu tokek dapat menggigit sangat kuat. Ia ingat hewan tokek. Dulu sekali, di gudang kosong panti tempat pengasuh yayasan mencabuli salah satu gadis panti, ia mendengar ada bunyi tokek. Tok tok tokek. Maka di sore hari sepi, ia memanjat ke loteng dan mencari-cari tokek. Tidak ketemu dalam sekali pencarian. Ia terus mencari waktu sepi, dan ketika ia menyaksikan si pengasuh mencabuli gadis panti di suatu sore, si tokek muncul. Si tokek rupanya suka menyaksikan kegiatan cabul itu. Langit-langit gudang kosong itu berlubang, tangan si Beruk menjangkau si tokek, membuat kaget si pengasuh, tapi tidak ketahuan. Tokek itu berusaha menggigitnya, tapi ia berhasil menggigit sampai lepas kepala tokek itu terlebih dahulu. Bukaan mulutnya lebih lebar daripada si tokek.

Sudah tiga jenis hewan yang ia makan hidup-hidup. Itu semua membuatnya merasa menjadi mereka. Setiap hewan yang ia makan hidup-hidup meninggalkan sejejak jati diri hewan itu ke diri si Beruk. Setelah makan tokek, si Beruk merasa kuat. Rahangnya terasa mantap dan kokoh. Ia mencoba mengigit kawat besi. Berhasil sampai putus. Rahang dan giginya jadi kuat. Agama baru yang dianutnya ini benar-benar berfaedah. Sekarang, tinggal ia rencanakan acara pembalasan kepada dua orang yang membuatnya babak belur sampai jelek. Bahkan teman-temen muka jeleknya pun sampai tak mengenali.
Ketika memar dan hidung patah sembuh, terlebih dahulu ia memamerkan tiruan suara tokek kepada teman-teman muka jeleknya. Mereka menertawai, kata mereka semua orang pun bisa menirukan suara tokek sebab itu terlalu mudah. Si Beruk hampir saja menghajar temannya itu kalau tidak segera disusul ucapan teman satunya yang mengatakan suara tokek Beruk lebih mirip tokek sungguhan. Selain dari suara tokek dan kuatnya rahang, ternyata khasiat makan tokek bisa membuatnya memanjat lebih lihai. Si Beruk seperti menempel di dinding. Ia sendiri pun kagum. Temannya bilang ia mirip spiderman, tapi ia bantah, spiderman itu laba-laba, bukan tokek.
Setiap pelajaran olahraga si Beruk selalu membayangkan dirinya menggigit jari-jari si guru sampai putus. Ia penasaran sekencang apa teriakan kesakitan lelaki sok jagoan itu. Oh, betapa ia akan menikmati itu. Si Beruk tidak memberikan kepuasan kepada si guru olahraga ketika ia dipukuli. Ia hanya diam menahan segala sakit yang menimpa mukanya. Memar dan hidung patah tidak akan menandingi rasanya putus jari-jari. Haha.

Si Beruk terus makan tokek sampai ia bisa menunaikan dendamnya. Ia kerap kali nongkrong di loteng gudang kosong. Bersuara seperti tokek ketika si pengasuh datang dan mencabuli gadis panti yang lain lagi. Si Beruk tidak merasa bagaimana-bagaimana ketika menyaksikan perbuatan mesum si pengasuh. Lebih karena ia tidak peduli. Terhitung sudah ada empat gadis berbeda yang dicabuli di tempat itu, si Beruk tetap bertokek-tokek ria sembari mencari mangsa tokek yang lain. Si tokek pasti punya keluarga atau sejawat yang bisa dimakan.

Untunglah ada acara kemah di sekolah. Si Beruk sudah merencanakan akan ikut, tak peduli ketua yayasan melarang. Tunggu saja pak ketua yayasan, jari atau telingamu akan menyusul putus. Acara kemah itu menurutnya sangat membosankan dan menyiksa batin. Teman-teman muka jeleknya yang ikut hanya sedikit. Sementara anak-anak yang ia benci, banyak yang ikut. Si Beruk jadi ladang olok-olok. Walhasil, ia jadi berniat menggigit putus jari-jari mereka. Tentunya setelah ia mengigit putus si guru olahraga. Si Beruk tidak mau ceroboh, aksi ini tidak boleh langsung terungkap ia pelakunya. Dengan memakai sarung sebagai topeng ia beraksi. Ia menyelinap masuk tenda guru itu setelah sebelumnya menunggu sampai pukul dua dini hari. Suara mengorok menandakan si guru sudah terlelap. Seperti gerakan tokek, si Beruk tidak menimbulkan suara sama sekali. Rahangnya menjadi berkali lipat lebih kuat dari kali pertama memakan tokek, ia mengigit jari si guru olahraga sekuat ia mampu mematahkan batang besi dengan rahangnya.

Ada dua lolongan kesakitan di malam kemah itu, membuat semua peserta dan guru pendamping panik. Dua jari telunjuk yang berbeda menggantung di tiang bendera, ditemukan pada pagi hari. Satu milik guru olahraga satu lagi milik murid populer ganteng yang suka meledek. Kemah itu terpaksa dibubarkan setelah si guru dan si murid ganteng dibawa ke rumah sakit. Rekan guru dengan ngeri menurunkan bendera yang ada dua jari telunjuk menggantung di ujung kain. Rumor yang beredar adalah ada serigala jadi-jadian yang berkeliaran di sekitar sekolah. Si Beruk menyeringai diam-diam menikmati hasil balas dendamnya. Topeng sarung yang ia kenakan memang dibuat agar menghasilkan bayangan seperti serigala. Uh, andai saja ia bisa makan serigala. Untuk saat ini itu tak mungkin. Ia tak pernah bertemu serigala dan kemungkinan ia akan habis dimakan serigala dulu sebelum memakan si serigala.
Bahkan teman-teman muka jeleknya ikut ketakutan oleh isu serigala jadi-jadian itu. Si Beruk bungkam, ia berpura-pura tidak tahu, aksinya tak boleh terbongkar. Menuju pembalasan berikutnya. Si Beruk berpindah ke gedung perpustakaan yang sama suwung dan kosongnya dengan gudang belakang. Perpustakaan itu kadang jadi saksi diterimanya cinta sepasang anak panti yang masih bau kencur, buku-buku usang dan bau menyaksikan bibir amatir berpagutan. Di situ ada tokek banyak. Si Beruk seperti berpesta. Kemampuannya menempel di dinding dan bersuara seperti tokek membuat tokek-tokek tidak merasa terganggu. Tokek yang mengintip di pojokan ruang gelap tidak bergerak ketika didekati si Beruk. Hap. Tangkapan tangan si Beruk begitu cepat dan langsung dilumat kepala tokek itu. Dengan masih berlumuran darah tokek segar, si Beruk menuju kamar ketua yayasan. Ketua yayasan ngoroknya paling kencang. Seperti ada derum mobil mogok. Si Beruk menyelinap masuk ke kamar itu melalui langit-langit. Gerakannya tanpa bunyi. Ia merayap di dinding dan membuka selimut, si ketua yayasan tidur tanpa pakai celana. Si Beruk banyak ingat laku kasar si ketua yayasan kepadanya, dengan kesal dan geram ia gigit sampai putus dua jari sekaligus. Si ketua yayasan menjerit kesakitan dan melolong. Si Beruk menutup muka si ketua yayasan dengan bantal, lalu ia mengincar telinga. Ia gigit pula sampai putus. Si Beruk tentu memakai kain sarung sebagi topeng. Si ketua yayasan melolong kesakitan dan menyumpah-nyumpah. Dengan kekuatan yang ia peroleh dari memakan banyak tokek, si Beruk membungkam si ketua yayasan dengan pukulan menggunakan vas bunga. Walhasil, darah merembesi tempat tidur si ketua yayasan. Pagi harinya si ketua yayasan ditemukan sudah lewat nyawanya. Pembalasan dendam sungguh manis, bahkan darah yang berlumuran di mulut si Beruk rasanya sungguh manis. Si Beruk jadi ketagihan.

Tak ada rasa bersalah. Yang ada hanya kepuasan.

Di malam si Beruk menuntaskan nyawa si ketua yayasan, ia menyempatkan pula menyerang si pengasuh. Entah mengapa, ada dorongan tiba-tiba yang meminta si Beruk untuk memberi pelajaran kepada si pengasuh. Mungkin dirinya tidak sepenuhnya tidak peduli kepada gadis-gadis korban mesum si pengasuh. Malam itu si Beruk memastikan si pengasuh tak akan pernah berbuat cabul lagi. Ya, si Beruk menggigit putus penis si pengasuh. Haha.

Di malam itu si Beruk mendapatkan pencerahan. Ia harus pergi dari tempat itu. Tapi harus menunggu dulu sampai keributan yang diciptakannya mereda. Rumor yang muncul sama juga seperti di acara kemah sekolah. Semua karena serigala jadi-jadian. Ah, hal itu jadi membuatnya ingin makan serigala. Mungkin nanti kalau ia sudah dewasa dan memiliki kekuatan berkali-kali lipat dari sekarang, ia bisa makan serigala, atau bahkan buaya. Si Beruk membuat dirinya menghilang tanpa disadari. Ya, ia adalah bocah yang tak diperhitungkan. Ia membuat dirinya jarang muncul di panti, hingga membuat penghuni panti lain tak merasakan kehadirannya. Pada malam purnama setelah ia mencuri uang miliki ketua yayasan baru yang sama bobrok moralnya, ia kabur.

Agama barunya menjadi pandu jalannya. Ia yakin ia akan bertahan. Ia hidup di jalanan, di pasar, di terminal, di mana-mana. Di setiap tempat ia memakan hewan  yang berbeda. Di jalanan, ia makan tikus, sehingga ia bisa menyelinap dan mencuri dengan cepat. Di pasar, ia makan kucing, ia jadi bisa berlari dan memiliki cakar yang membuat iritasi, ia bahkan tak perlu mandi pakai air, sebab air liurnya sudah cukup, si Beruk mandi dengan menjilati tubuhnya. Di terminal, akhirnya, ia makan monyet. Monyet itu milik tukang topeng monyet keliling yang suka menendangnya saat tidur di emperan masjid. Ia memakan monyet itu mulai dari ekornya, sambil ia jerat pakai rantai belenggu, ia mematahkan tulang monyet dan mencubit kulit sampai robek dan ia mengorek daging si monyet pakai kuku tajam. Kini, si Beruk bisa memanjat seperti monyet. Ia bahkan jadi doyan makan kutu di kepalanya. Agar ia tidak jadi kutu, ia memakan kutu itu setelah ia matikan si kutu. Itu agar dirinya tetap menjadi monyet.

Kamu adalah yang kamu makan. Lama-kelamaan, si Beruk jadi tidak doyan makan nasi dan lauk matang. Ia jadi lebih suka makanan mentah. Ia sudah makan lima ekor monyet. Satu ekor monyet bisa bertahan dalam perutnya selama berminggu-minggu, itu berguna agar dirinya tidak tergoda makan hewan hidup lain selama ia belum perlu menanggalkan jati diri monyet dalam dirinya. Sebab lain juga, tukang topeng monyet jadi makan jarang.

Si Beruk tumbuh besar di lingkungan liar. Ia dikenal oleh pengamen-pengamen sebagai si Buas. Ia hanya akan menggeram kalau diajak bicara. Ketika ia dibuat risih, tak segan ia mencakar dan menggigit si pengganggu. Kamu adalah yang kamu makan.

Kemudian ia tidak menemukan lagi monyet untuk dimakan. Untung saja ada penggantinya segera. Ia mendengar ada banyak ular berkeliaran di komplek-komplek rumah di perkotaan. Ia ikut bersama remaja-remaja tangguh penangkap ular. Kelihaian seekor monyet masih membekas di dirinya, itu membuatnya dapat mengumpulkan ular lebih banyak dari remaja yang lain. Ia dapat hadiah dari ketua RT, cukup untuk mentraktir teman-teman pengamen di terminal minum bir oplosan. Sementara teman-temannya minum bir oplosan, si Beruk makan ular hasil tangkapannya seperti sedang makan mie rebus. Kulitnya jadi bersisik dan lidahnya membelah. Pupilnya pun memipih. Itu dilihatnya ketika ia bercermin.

Suatu hari di terminal ia bertemu dengan teman lama muka jeleknya. Si teman itu mengenalinya. Si Beruk pun masih ingat. Mereka berbincang sekenanya. Tapi ada hal yang mengusik si Beruk. Kamu adalah yang kamu makan. Ia harusnya adalah seekor ular. Ia memang merasakan kulitnya menjadi sisik, lidahnya membelah, pupilnya memipih. Untuk orang-orang dengan penalaran umum, harusnya perwujudan si Beruk dapat membuat histeris. Nyatanya temannya itu tidak risih sama sekali. Seperti halnya si Beruk adalah manusia pada umumnya. Tidak. Kamu adalah yang kamu makan.

Maka untuk pertama kalinya si Beruk mengalami krisis identitas. Ia yakin sepenuh iman dirinya adalah ular karena yang terakhir kali ia makan adalah ular. Di cermin ia masih melihat wajahnya seperti ular. Lehernya panjang dan kehijauan, ia dapat meliukkan kepalanya. Ia bergerak melata. Tapi kenapa temannya itu masih menganggapnya sebagai manusia? Sebuah pertanyaan besar menghinggap dan mengganggunya siang malam. Apakah agamanya mulai mengkhianatinya?
Ah tidak, harusnya tidak. Agamanya sudah berkata benar sampai sekarang ini. Ah, ini mengesalkan. Apakah ia harus jadi manusia lagi? kemudian mengulang lagi memakan dari hewan-hewan kecil? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya tidak bisa tidur. Ya, ia harus jadi manusia lagi.

Kamu adalah yang kamu makan. Maka si Beruk mengincar salah seorang bos pengamen. Ya, ia tidak boleh tanggung-tanggung memilih mangsa. Ia dulu sudah pernah membunuh ketua yayasan. Dengan kemampuan membelit seperti ular, ia menjerat si bos pengamen saat membuang air seni di balik pohon. Ia seret bos preman yang pingsan itu ke toilet tak terpakai tempatnya tidur sehari-hari. Di sana ia memakan si bos pengamen mulai dari hidung. Mulut si bos pengamen ia sumpal pakai sempak agar jeritannya tidak terdengar. Daging manusia itu alot dan tidak enak. Makanya si Beruk menghabiskan makanannya yang satu ini sangat lama. Ia tidak keluar dari toilet selama tiga hari. Ia tidak akan berhenti sampai habis tuntas tak bersisa. Tulang-tulang akan ia hancurkan dan lumat sampai jadi bubuk. Itu memakan waktu empat hari lagi. Selama seminggu si Beruk tidak menunjukkan batang hidungnya di terminal. Meski begitu, tidak satu pun orang yang mencarinya. Mereka tidak mau berurusan dengan anak aneh dan buas macam si Beruk.

Tapi perbuatannya memakan bos pengamen itu tidak mengembalikannya jadi manusia. Di cermin, masih didapatinya wajahnya seperti ular. Ia coba keluar dan orang-orang masih melihatnya sebagai manusia. Aaarggghhh. Aku ini adalah yang aku makan. Tapi ia mendapat kesan dunia tak sepakat dengannya. Ia hanyalah manusia pengangguran pembuat onar.
Apa mungkin ia harus makan bayi? Makhluk polos tanpa dosa. Siapa tahu dapat mengembalikan dirinya jadi manusia. Jadi bukan ular lagi yang ia lihat di cermin. Kebetulan ada pedagang asongan perempuan yang baru melahirkan dan ia bawa anaknya itu untuk berdagang, dengan harapan bahwa orang akan mengasihani dan membeli dagangannya yang tak seberapa dan banyak yang mau kadaluarsa itu. Si Beruk jadi sering mendekati si pedagang itu. Ia duduk diam agak jauh, tapi si pedagang tahu ada si Beruk di dekatnya. Si Beruk memantau tanpa lepas kepada si bayi. Si Beruk akan beraksi ketika si pedagang menitipkan bayinya kepada tukang asongan yang tak pedulian untuk pergi buang air sebentar. Si Beruk mengambilnya dengan mudah, karena si tukang asongan lagi ngantuk-ngantuk tak sadar. Si Beruk membawa kabur bayi itu dengan menutupinya pakai jaket lusuh. Ia berlari kencang.
Terminal kemudian ribut-ribut. Si pedagang sadar bayinya hilang. Ia pun langsung menuduh si Beruk pelakunya. Puluhan pengamen, tukang asongan dan preman mengerahkan tenaga mencari tempat persembunyian si Beruk. Baru mau mengigit leher si bayi, si Beruk sudah digerebek. Ia kemudian dihajar habis-habisan sampai tidak punya muka yang jelas lagi. Untung polisi datang dan mengamankannya. Belum sempat si Beruk merasakan jadi manusia lagi, ia sudah dipenjara. Di retakan cermin di ruang selnya ia melihat  dirinya masih seperti ular, kadang berubah jadi monyet, lalu tokek, lalu kucing, lalu jangkrik.
Polisi berhasil menguak si Beruk adalah pelaku pembunuhan bos pengamen terminal. Di toilet tempat Beruk tidur, ditemukan daun telinga yang lupa ia makan. Polisi mendesak si Beruk mengatakan yang sebenarnya. Polisi mempertanyakan perbuatan Beruk kepada si bos pengamen. Si Beruk menjawab bahwa ia telah memakannya dan itu karena ia ingin jadi manusia lagi. Si Beruk akhirnya ditaruh di sel tersendiri dan jarang sekali dibukakan selnya.
Si Beruk masih dihantui keinginan untuk menjadi manusia. Hanya saja tak ada manusia yang bisa ia makan kalau ia dikurung begini.

Akhirnya di suatu malam ketika perenungan dalamnya tentang agama makan memakan ini menemukan titik temu, ia memutuskan untuk memakan dirinya sendiri.

Oleh Haditha
Ide didapat ketika duduk sempit-sempitan di metromini. Penulis sedang lapar waktu itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA