MENULIS BIAR JADI MANUSIA

Demi menjadi manusia, kamu ingin menulis. Itu kamu katakan saat pertama kali kamu jumpa denganku selepas aku membacakan cerita pendekku yang lucu dan penuh interpretasi tentang kelamin manusia. Kamu tertarik dengan cerita. Kamu ingin bercerita, kamu ingin menulis. Ciri khas manusia adalah bercerita, katamu.

Kamu bilang kamu belum merasa jadi manusia utuh apabila belum menuliskan cerita. Cerita tentang kehidupan manusia. Aku bertanya, bukannya kamu sekarang ini manusia? Kamu menjawab, aku memang manusia, tapi dengan menulis aku akan jadi lebih dari manusia biasa. Manusia biasa tidak menulis, katamu. Aku bilang padamu, penulis adalah manusia biasa. Kamu menolak ide itu. Penulis tentu bukan manusia biasa, katamu. Itu didukung dengan emakmu yang manusia biasa, tidak menulis. Kamu ingin jadi lebih dari manusia. Kamu ingin bercerita tentang manusia. Kamu ingin menulis tentang kemanusiaan. Maka, katamu, untuk melakukan itu, kamu ingin jadi lebih dari manusia dulu. Aku bingung, katamu tadi dengan menulis kamu akan jadi lebih dari manusia. Jadi mana yang lebih dulu? Menjadi lebih dari manusia apa menulis? Kamu mengabaikan pertanyaanku.
Aku pusing dengan perkataanmu yang tak jelas juntrungannya. Aku jelaskan padamu, kalau ingin menulis ya menulis sajalah. Kamu menolak ide itu. Katamu, kamu ingin memperdalam pengalaman menjadi lebih dari manusia. Kamu ingin berkelana ke tempat-tempat penuh celaka. Tempat di mana orang-orang malang hidup beranak pinak. Aku bilang, kamu bisa melakukannya tanpa melakukan itu semua. Kamu bisa melakukannya dengan banyak membaca. Kamu menolak ide itu. Kamu bilang pengalaman yang didapat dari membaca tentu berbeda dengan pengalaman yang didapat secara langsung. Aku bilang, terserah kamu sajalah. Kamu meminta nomorku. Aku berikan.

Aku memang tidak begitu pengin menunggumu menghubungiku. Tapi dulu waktu pertama bertemu kamu bilang ingin dibimbing dalam menulis buku. Sebenarnya aku mau saja, tapi itu tergantung kamu. Akhirnya, setelah berminggu-minggu berlalu, kamu baru menghubungiku. Kamu kembali lagi dengan pertanyaan pertamamu, bagaimana memulai menulis. Katamu, kamu sudah punya cukup bahan untuk menulis tentang manusia. Kamu selama berminggu-minggu itu, sudah numpang hidup di rumah kardus anak jalanan. Kamu bercerita banyak padaku. Kamu ingin menulisnya, tapi kamu ingin cerita dulu kepadaku. Aku manggut-manggut saja mendengar ceritamu tentang seorang gadis jalanan yang sudah bunting tiga kali dan gugur tiga kali. Di situ justru aku yang mendapat ide dan gagasan untuk menulis kisah kemanusiaan dari ceritamu. Sementara kamu masih berpanjang-panjang ria dalam bercerita pengalamanmu. Ketika aku bertanya, sudahkah kamu menuliskannya? Kamu bilang, sudah sedikit-sedikit. Lebih banyak ditulis di kepala, katamu. Aku minta tulisanmu yang sedikit-sedikit itu untuk kubaca, kamu menunjukkannya. Kamu menuliskan cerita yang sedikit-sedikit itu di kertas-kertas bon parkir swalayan. Katamu kamu sempat mengalami jadi tukang parkir, mengikuti kegiatan salah satu anak jalanan. Aku baca tulisanmu itu dan kukatakan padamu, aku seperti membaca tulisan anak SD yang baru belajar bercerita. Kamu memang tidak tersinggung. Kamu menyanggah, manusia memang memerlukan perkembangan. Aku maklumi sajalah itu. Lalu aku bertanya padamu lagi, sudahkah kamu membaca buku? Kamu jawab, belum, belum ada waktu. Dari situ aku sudah melihat, kamu memang tidak serius ingin menulis. Kamu tidak serius untuk jadi lebih dari manusia. Tapi itu kusimpan saja dalam hati.



Kamu lenyap lagi berbulan-bulan. Selama itu aku sudah menyelesaikan dua judul buku. Ketika kamu muncul kembali, kuajukan pertanyaanku lagi, sudahkah kamu membaca buku? Kamu jawab, belum, belum ada waktu. Waktuku lebih banyak untuk mengamati manusia yang lucu-lucu. Tapi apakah kamu sudah menulis lebih banyak dari dulu? Tanyaku. Kamu jawab, lumayan, sudah ada kemajuan. Aku baca tulisanmu yang kini dituliskan di buku kecil yang kamu dapat dari hotel. Sudah lumayan banyak, tapi hanya dalam bentuk kalimat-kalimat pendek, yang lebih berasa seperti baca buku harian anak baru gede. Padahal umurmu sudah sepantaran diriku. Kepala dua lebih. Kamu mengajak aku ke tempat kumuh, di tempat yang kamu bilang sebagai cerminan manusia sesungguhnya. Tempat-tempat penuh konflik. Di tempat itu kamu bilang kamu merasakan hatimu terkoyak-koyak. Tapi kubaca dari tulisanmu, tidak ada yang mengungkapkan itu secara gamblang. Kamu bilang kamu akan membuatnya jadi buku. Aku meragu, sebab kamu belum baca buku.

Kamu mengaku hati dan otakmu sudah cukup merasakan nilai-nilai kemanusiaan yang hendak kamu ungkap dalam buku khayalan benakmu. Kamu sudah ke tempat-tempat yang penuh dengan lika-liku hidup. Bahan bakar yang cukup untuk membawa dirimu ke tingkat yang lebih dari manusia biasa. Manusia biasa, katamu, adalah para pelaku. Sedangkan yang lebih dari manusia biasa, katamu, adalah yang mengamati. Kamu meletakkan dirimu seolah kamu itu malaikat pemantau. Bicaramu sudah kian tinggi dan kesemuanya jadi berkesan ambigu bagiku. Aku kembali lagi ke pertanyaan pamungkasku, sudahkah kamu mulai menulis? Kamu jawab, belum, belum ada waktu. Aku mulai kesal. Kamu tidak serius. Kamu sudah baca buku? Kamu jawab, belum, belum ada waktu. Kamu sibuk bekerja untuk dapat uang kali ini. Tapi tak sepeser pun uang kamu sisihkan untuk beli buku. Kamu beralasan emakmu lagi sakit. Aku tak bisa melawan itu. Aku sudah tidak punya emak. Dan aku punya banyak waktu. Aku bertanya lagi, kamu niat menulis buku? Kamu bilang iya, aku niat. Aku bilang padamu, niat perlu perwujudan laku. Kamu hanya mengangguk-angguk saja. Aku kesal bukan main. Aku berpikir, dengan pengalamanmu lenyap berbulan-bulan, harusnya cukup untuk menulis buku. Dan aku, diam-diam, sesungguhnya menanti karya apa yang bakal lahir dari buah pikirmu.
Hampir dua tahun kini kita tak bertemu. Aku sudah menerbitkan tiga buku. Kebanyakan isinya kuambil dari pengalamanmu dulu. Tak kusangka, kamu membaca buku-bukuku. Kamu marah padaku. Kamu marah karena justru aku yang menuliskan cerita-ceritamu. Aku bilang itu salahmu sendiri bukannya buru-buru menulis. Tapi aku bangga padamu, sedikit, sebab kamu sudah baca buku, akhirnya. Kamu bilang kamu menyesal telah bercerita banyak pengalamanmu kepadaku. Kamu mengancam akan menuntutku. Tapi kusanggah itu dengan menunjukkan laman terima kasih di buku yang mencantumkan namamu sebagai sumber referensi. Kamu malah terharu. Kamu tersedu-sedu. Kamu mengaku pada akhirnya, menulis bukanlah tujuan utamamu.
Kamu batal menjadi manusia yang lebih dari manusia biasa seperti yang kamu impikan dulu. Kamu mengaku, kamu tidak punya hasrat menulis. Aku bilang padamu, jangan bersedih, kamu hanya perlu sebuah pemicu. Seperti aku dahulu, pemicuku dulu adalah kebosanan. Aku iseng bertanya padamu, berapa lama kamu baca buku-bukuku? Aku terkejut dengan jawabanmu, kamu bilang, aku menyelesaikannya dalam seminggu, semua bukumu. Aku gembira dan terharu. Kamu bilang ceritaku bagus. Seperti yang kamu bayangkan saat kamu mendatangiku dan mengungkapkan niat untuk menulis tentang kemanusiaan. Kubilang padamu, aku masih menanti buku buah karyamu. Kamu berkata semua sudah terlambat. Otakmu sudah buntu. Aku bilang sebaliknya, baca buku lebih banyak, niscaya otakmu tidak lagi buntu. Kamu tersenyum dan menyambut ideku dengan gembira. Kali ini kamu sudah punya sedikit-sedikit untuk baca buku. Pekerjaanmu sudah memungkinkan untuk itu. Aku bilang, lanjutkan teman.

Bertahun-tahun aku tidak bertemu denganmu. Tapi diam-diam aku masih menantikan buku buah karyamu. Kamu memiliki nomorku, tapi kamu tak pernah menghubungiku. Jadi aku tak tahu sudah sampai mana kamu. Mungkin di sini aku sudah berkali-kali menjadi ‘manusia’, menuliskan kisah-kisah tentang manusia, dan kamu masih saja di situ.

Lalu aku tersentak sendiri oleh pikiranku yang termenung beberapa saat di kedai kopi harum manis. Tidak. Aku salah. Kamu sudah menjadi lebih dari manusia. Kamu telah membuatku menulis tentang manusia. Kamu pemicuku. Kamu sudah melampaui seorang manusia biasa. Kamu membuatku menulis tentang manusia. Oh sial. Pasti kamu tertawa puas di tempatmu sekarang. Sial kamu!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA