KISAH KI WARUGAN
Adalah Ki Warugan, seorang bekas anggota paguyuban sihir Randang
Gageh, kini menapakkan diri di sebuah wilayah dengan ketimpangan sosial begitu
kentara. Semenjak lama setelah ribut-ribut terakhir di paguyuban sihir yang
menyebabkan anggotanya tercerai berai, ia mengabdikan diri untuk kemanusiaan.
Sihir yang dianugerahkan kepada dirinya termasuk dalam kategori sihir natural,
yakni yang berasal dari darah, bawaan
ragawi lahiriah. Tidak banyak yang terlahir dengan bawaan sihir natural
seperti itu di paguyuban sihir Randang Gageh, kecuali satu, seorang yang
namanya bila diingat akan menyebabkan luka lama kambuh kembali.
Sudah terhitung ratusan
tahun dia hidup menyendiri. Mengelana dalam naungan dan bimbingan kebajikan.
Satu pandu yang meyakinkan diri untuk jangan dahulu moksa. Umat manusia
membutuhkan uluran sihir baiknya. Bila kau tengok apa yang senantiasa
bergejolak di antara umat manusia, niscaya kau akan percaya Ki Warugan ini
bakalan hidup selamanya. Betapa tidak, manusia mana yang hidup dalam satu jalur
saja? Jalur kebaikan? Nihil. Selalu saja ada bentrok. Ki Warugan hadir dari
balik tabir muslihat untuk memperbaiki itu.
Selama ratusan tahun dia
menjelajahi dunia yang tak bersudut, sudah tak terkira berapa wilayah yang dia
singgahi untuk diberi pertolongan. Dirinya pun tak mau menghitung, demi
menghindari ujub. Hal yang pantang bagi penyihir beraliran putih. Ki Warugan
senantiasa mewujud diri sebagai rakyat jelata, pelancong yang rehat di kedai,
bahkan pengemis dengan muka melas dan koreng di sekujur tubuh. Demikian itu
agar ia dapat mendengarkan keluh kesah rakyat kecil yang ditindas kasta
menengah dan tinggi.
Jadilah penolong yang tak
terlihat. Begitu diri selalu mensugesti. Biarlah pertolongannya ini disangkakan
sebagai kebaikan Ilahiah yang turun dari langit, karena memang demikian adanya,
dirinya hanyalah sebagai perpanjangan tangan. Bukankah setiap insan harus saling
membantu? Karena dalam sihir yang dianutnya, sekali saja sikap tinggi hati
mendera akibat seseorang tahu dialah yang menolong, maka itu sudah akan menodai
kemurnian maksud. Nanti-nanti niat mulai berubah. Itulah yang disimaknya dari
pengembaraan di setiap wilayah yang kebetulan terdapat salah satu dari
murid-murid mantan anggota paguyuban penyihir Randang Gageh yang selamat dari
petaka terakhir. Murid-murid itu menamakan diri sebagai dukun, orang pintar,
paranormal dan lain sebagainya. Menjadikan diri mereka sebagai satu tempat yang
selalu dituju orang yang lagi dirundung sial, pemburu untung, dan pemalas yang
mengharap rejeki instan. Mereka-mereka itu pelaku sihir laknat yang melakukan
tipu-tipu. Sesungguhnya mereka itu tak berkemampuan sihir sama sekali,
melainkan melakukan persekutuan dengan bangsa jin. Persekutuan jenis itu adalah
terkutuk. Maka mudah saja bagi Ki Warugan memutus koneksi persekutuan itu. Ilmu
sihir natural memungkinkan Ki Warugan membuka dan menutup portal dimensi dan
menguncinya. Menjebak jin itu agar tak bisa muncul menembus alam manusia. Maka,
keuntungan yang disedot dari orang malang putus asa oleh dukun-dukun tak
bertanggung jawab itu putus, dan semua orang pun akhirnya tahu bahwa mereka
sudah ditipu daya.
Kira-kira dua ratus
tahunan Ki Warugan berusaha menghapus keberadaan dukun dari muka bumi.
Menghapus di sini bukanlah meniadakan nyawa pelakunya. Melainkan membuat
orang-orang tak memercayakan nasib kepada mereka lagi. Keberadaan mereka itu
lebih banyak mudarat daripada manfaat. Mereka itu lintah tak tahu diri.
Melanjutkan perjalanannya,
suatu waktu Ki Warugan baru tahu desas-desus bahwa sejawat mantan anggota
paguyuban sihir Randang Gageh satu per satu meninggal dengan cara misterius.
Hal itu pernah disaksikan sendiri, satu anggota yang dahulu selalu mengekor
padanya karena keirian terhadap sihir natural, mati mengenaskan di sebuah gubuk
di puncak bukit. Kematiannya adalah tepukan kesadaran bagi Ki Warugan bahwasanya
sihir hitam mulai merajalela. Petaka terakhir itu berlanjut. Kematian sejawat
sihirnya itu membikin orang-orang setempat yang menyaksikan menggigil ngeri dan
mimpi buruk tujuh hari tujuh malam. Tubuh penyihir itu tercerai berai. Terpisah
satu sama lain. Kepala menempel di dinding tempat pintu berada, kedua tangan
terpaku di sisi lain, kedua kaki menancap di sisi satunya lagi. Sedangkan badan
diberdirikan di tengah-tengah gubuk. Kesemua anggota badan itu dalam kondisi
seperti telah disedot habis darahnya. Suatu malam Ki Warugan menyatu dengan
ketiadatampakan udara, demi memeriksa tubuh sejawatnya yang malang itu.
Didapati olehnya jantung milik sejawatnya tidak berada di tempat. “Jantung
dibuat menjadi mustika.” Ki Warugan tahu.
Maka Ki Warugan
mempersiapkan diri. Jalurnya adalah jalur putih. Jalur yang tidak singkat.
Karena ilmu kebaikan sejati tidak dicapai dengan instan. Ilmu sihir naturalnya
digunakan untuk lebih banyak meringankan beban hidup rakyat jelata. Setiap
kebaikan yang membuat orang mengucap syukur kepada pencipta, memberi kekuatan
Ki Warugan. Berbeda dengan ilmu sihir natural yang didapat dengan cara instan.
Itulah, yang tengah dikhawatirkan Ki Warugan. Pelaku sihir hitam yang menyerang
sejawat-sejawatnya itu memperoleh kekuatan dahsyat yang keji dengan nyawa-nyawa
manusia malang yang direnggut jantung dan dihisap sari pati otaknya. Kekuatan
sihir hitam yang laknat, diperoleh dari kekuatan hidup makhluk. Apalagi bila
berasal dari manusia, apalagi bila berasal dari para penyihir! Sepuluh tahun Ki
Warugan melakukan kebajikan, rupa-rupanya tidak akan sanggup menandingi
kekuatan sihir hitam yang mampu memperoleh kekuatan setara hanya dengan
merenggut tiga nyawa manusia biasa.
Ki Warugan haruslah tenang
dalam menghadapi marabahaya ini. Sikap gegabah hanya akan menggoncang pasak
teguhnya. Maka di sinilah ia, di wilayah bernamakan Tanjung Wungu. Tempat di
mana bangunan-bangunan megah berdiri. Bagi orang-orang seberang, mungkin saja
mereka akan mengagumi betapa menakjubkannya Tanjung Wungu. Mereka akan bilang,
“Tanjung Wungu memiliki peradaban yang mumpuni!” itu hanyalah pandangan mata
buta yang cuma mampu melihat permukaan. Ki Warugan akan menolong penduduk
teraniaya di Tanjung Wungu tersebut.
Di Tanjung Wungu, kehidupan
rakyat kecilnya mengenaskan. Bangunan-bangunan megah itu dibangun di atas darah
dan keringat bahkan nyawa rakyat jelata. Mereka dipekerjakan secara tak manusiawai
oleh juragan-juragan konglomerat. Anak-anak muda yang masih naif biasanya jadi
sasaran para calo pemberi kerja. Anak-anak muda itu mudah dibuai dengan janji
manis mengenai hidup layak di kemudian hari bila mau diajak bekerja bersama
calo itu. “Juragan-juragan membutuhkan karya kalian, mereka akan memberi jatah
kekayaan tujuh turunan. Kalian akan sejahtera.” Awalnya begitu, di era ketika
para juragan itu merupakan pendatang dari negeri sebelah. Hampir seluruh pemuda
dari lima desa di kaki gunung berpamitan kepada para gadis pujaan hati untuk
pergi ke Tanjung Wungu. Mereka tidak tahu nantinya sisa hidup mereka akan
diperas demi kejayaan semu dan para gadis akan kehilangan perjaka dambaan hati.
Kejayaan yang hanya bisa diklaim oleh para juragan tersebut. Sementara mereka
akan tenggelam di dasar kesengsaraan.
Di masa-masa setelahnya
ketika para juragan menghendaki lebih banyak tenaga untuk diperas demi
kejayaan, perekrutan anak muda sudah tidak lagi menggunakan rayuan
kesejahteraan masa depan. Mereka datang dengan tangan besi yang menyekap ibu
dan adik atau orang tersayang, dengan memberi pilihan, “Mau menurut atau orang
tersayangmu mati?”
Penindasan itu telah
berlangsung selama setengah abad. Ki Warugan menyesali dirinya tidak datang
lebih awal untuk menghentikan tindak tanduk tak manusiawi para juragan. Ki
Warugan memasuki Tanjung Wungu dengan menyamar sebagai tua renta yang tersesat.
Dia ditolong oleh seorang perempuan tua yang mengaku kehilangan kekasihnya di
masa awal penindasan. Perempuan tua itu pun mengaku dia masih belum usai
berduka dan tidak mencari lelaki pengganti lain, dia masih penuh harap bahwa
kekasihnya masih hidup. “Aku ingat lelakiku berkata: aku tidak akan mati
sebelum aku terbebas dan menikah denganmu.”
Mereka tiada punya daya
upaya untuk memberontak. Betapa tidak? Para pemuda bertenaga dan orang tua yang
masih punya kekuatan, kesemuanya digiring menjadi budak. Anak-anak bayi lelaki
yang baru lahir langsung direbut untuk diasuh menjadi calon pekerja. Para
perempuan terlalu berduka untuk mengangkat senjata. Belum lagi
begundal-begundal berotot yang wara wiri membuat onar, membuat mereka makin
takut. Ki Warugan teriris hati mendengar semua derita itu. Hampir seluruh
rakyat jelata di bawah kaki gunung itu memiliki cerita yang sama.
Dalam ilmu sihir putih
yang ia tekuni, tipu muslihat demi kebaikan yang lebih besar itu diperbolehkan.
Kepalang tanggung, sebab kesengsaraan ini begitu masif adanya, maka Ki Warugan
mau tak mau harus berbuat lebih. Ki Warugan bersiasat dengan menyamar menjadi
juragan dari negeri seberang yang mengaku dapat membangun seribu candi dalam
waktu satu malam. Pada sebuah pertemuan akbar para juragan di pusat kota, Ki
Warugan menginterupsi.
“Hai kalian para juragan.
Bangunan yang kalian buat tidaklah lebih megah daripada milikku. Aku mampu
membangun seribu candi dalam waktu satu malam. Akan kubuktikan dan sebagai
gantinya kalian akan pergi dari sini.”
Ki Warugan pertama-tama
ditertawakan oleh mereka.
“Mana ada yang bisa
menandingi hasil karya kami? Seluruh dunia sudah mengakui. Kejayaan peradaban
ada di tangan kami.”
Ki Warugan membungkam
mulut mereka semua dengan satu gerakan tangan ke atas. Tempat pertemuan itu
adalah sebuah piramid dengan puncak emas. Keduapuluhtiga juragan itu duduk di
meja melingkar tepat di bawah titik pusat puncak piramid. Dengan gerakan yang
begitu lihai, Ki Warugan sudah mendarat di tengah-tengah meja pualam. Gemuruh
membuat tanah bergoncang. Seserpihan batu berjatuhan dari puncak piramid. Para
juragan itu mendongak ke atas dan mendapati penyebabnya. Puncak menara piramid
tengah diangkat dengan tangan raksasa tak kasat mata, diputar-putar,
menyebabkan struktur piramid itu kacau balau. Balok-balok batu pengunci
berjatuhan.
“Ini sihir!” salah satu
dari mereka berseru.
“Cukup kisanak! Hentikan
perbuatanmu, sebelum nyawa berjatuhan akibat batu itu.”
Ki Warugan berhenti. “Lalu
apa arti nyawa rakyat jelata buatmu?”
“Demi kejayaan, apalah
arti nyawa rakyat jelata.”
Pernyataan itu membuat Ki
Warugan geram. Seumur-umur belum pernah ia seperti ini. Ini adalah pertama
kalinya ia mengkonfrontir para pelaku kebatilan secara langsung. Maka dengan
suara menggelegarnya ia menjawab pernyataan kurang ajar tersebut. “Aku beri
waktu kalian sampai tengah malam nanti. Bila kalian tidak segera membebaskan
para budak malang dan jika kalian tidak segera pergi dari Tanjung Wungu ini,
maka bangunan-bangunan megah kalian akan luluh lantak.” Sebagai permulaan atas
kebenaran ancaman itu, Ki Warugan mengerahkan sepersekian kekuatan sihirnya
untuk mengangkat puncak emas piramid dan melemparnya jauh menubruk sebuah
patung megaraksasa kucing duduk. Suara gelegar dan goncangan membuat para
juragan lari kalang kabut.
Namun semua itu
sesungguhnya hanyalah tipuan mata saja. Ki Warugan tidaklah gegabah akan
melemparkan benda sebesar itu, bisa jadi ada rakyat jelata yang lagi bekerja di
bawah sana dan tertimpa. Sepanjang malam Ki Warugan melancarkan tipu
muslihatnya, membuat seolah-olah bangunan-bangunan megah itu hancur lebur satu
per satu. Para juragan yang menyaksikan sampai lemas kaki dan pingsan. Kejayaan
setengah abad mereka hancur dalam semalam. “Ancaman itu benar. Sia-sia sudah
pekerjaan setengah abad ini.”
Ki Warugan tadinya
mengkhawatirkan bakalan adanya pembunuhan massal sebagai balasan atas
tindakannya ini. Untunglah para begundal tukang pukul juragan itu lari kalang
kabut takut terhadap gempa khayalan. Mereka sibuk menyelamatkan diri kabur dari
Tanjung Wungu. Para rakyat jelata pun dibuat heran, sebab mereka tidak
merasakan adanya gempa. Hal itu memberi mereka keberanian untuk mengusir dan
membalas tiap pukulan yang pernah diberi para begundal.
Keesokan paginya tidak
ditemukan seorang pun juragan di tengah kota. Rakyat jelata sorak sorai
menyambut kerabat mereka yang kembali dari perbudakan. Perempuan tua yang
menanti kekasih lamanya kembali bersuka cita, walau sebagian dari mereka telah
diketahui bahwa kekasihnya sudah lama mati akibat penindasan.
Ki Warugan memperoleh
kekuatan dari langit. Sebagai balasan laku kebajikannya.
Belum sampai kemerdekaan
yang rakyat jelata itu rayakan menyurut, Ki Warugan merasakan adanya marabahaya
menyusul dari balik kabut fajar. Adalah beberapa juragan yang demikian tahu ini
adalah tipu daya sihir, kembali bersama seseorang yang tak diduga-duga. Membuat
Ki Warugan lupa diri. Sampai lupa harus menjejak pada pandu keyakinan.
Dia adalah si penyihir
golongan natural satunya. Sayangnya, dia seorang perempuan. Seorang perempuan
yang menorehkan luka dalam di jantung Ki Warugan. Demi menghilangkan atau
menekan rasa sakit itu, Ki Warugan melakukan perjalanan panjang mencari suatu
cara menghentikan si perempuan penyihir natural beraliran hitam. Ilmu kuno
haruslah dilawan dengan ilmu kuno. Hanya saja, Ki Warugan tak menyangka babak
penentuan ini tiba begitu mendadak. Rasanya ia belum siap.
Penyihir perempuan itu
bernamakan Nyai Toreh. Kedatangannya yang diarak oleh para juragan yang marah
sebab baru ditipu mentah-mentah, membuat para rakyat jelata tercengang. Betapa
tidak, Nyai Toreh mengendarai tikar terbang!
Ki Warugan menyamar
menjadi tua renta dan berusaha menurunkan kadar aura penyihirnya. Sebab ia tahu
Nyai Toreh mampu membaui. Ki Warugan menyusup di antara kerumunan rakyat jelata
yang kebingungan.
“Katakan dengan sejujurnya
bahwa kalian telah menyewa seorang penyihir untuk memerdekakan kalian kan?”
suara Nyai Toreh begitu tenang namun juga memberi desakan yang tak mampu
ditolak.
“Ada penyihir di antara
kalian! Maka kami bawa penyihir terkuat sedunia untuk melawannya. Kalian tidak
akan pernah bebas. Sekali budak tetap budak.” Kata seorang juragan yang
berjanggut panjang dan dipilin serta diminyaki.
Kerumunan rakyat jelata
saling pandang takut-takut, dilingkupi kebingungan. “Apa maksud perkataan Nyai
itu? penyihir? Jaman sekarang masih ada penyihir?”
“Aku satu-satunya penyihir
di dunia. Telah kutaklukkan semua penyihir yang ada. Dari kejadian ini berarti
kutahu masih tersisa satu penyihir lagi di dunia. Seorang yang kukira sudah
mati. Ungkapkan jati dirimu, Kisanak!” Nyai Toreh melayang perlahan dari tikar
terbangnya, makin naik ke langit. Baik rakyat jelata dan para juragan
melihatnya dengan tercengang.
“Sihir masih ada. Sihir
itu nyata.” Gumam di antara mereka.
“Kisanak. Aku tahu jati
dirimu. Muncullah. Kaulah satu-satunya yang belum kubasmi dan kurenggut
jantungmu biar jadi mustika kekuatan. Mau kau aku bantai rakyat jelata ini biar
kau muncul?” Pasang mata Nyai Toreh sudah menyala seperti kilat waktu badai. Tubuhnya
yang dililit selendang aneka warna, jalinan mustika yang mengalungi leher dan
pinggangnya, serta mahkota bertatahkan rubi merah bertuah, ikut menyala. Dari
jemarinya muncul jalaran petir yang menjilat udara. Langit sekitar pun menjadi
suram.
Ki Warugan tak bisa
membiarkan ini berlanjut. Tak mau secuil nyawa melayang sia-sia. Maka ia
terpaksa membuka aura sihirnya dan mengirim secara telepati sebuah pesan kepada
Nyai Toreh. “Bukan rakyat jelata yang kau inginkan. Akulah yang kau cari. Bila
kau menghendaki mustika jantungku, maka hentikan semua ini. Mari beradu bila
yang kau inginkan adalah itu. Beradulah denganku. Sebab tinggal kita berdua
penyihir natural yang masih hidup.”
Nyai Toreh meredupkan
kilatan di langit mendung. Mata menyalanya menengok ke satu orang, ke seorang
tua renta berbadan ringkih dengan tulang menonjol, sorotan mata itu menjawab
melalui telepati pula. “Kau menantangku duel, Kisanak Warugan? Petaka terakhir
tidak menggentarkanmukah?”
“Hentikan semua ini dan
mari kita beradu. Sudah terlalu banyak nyawa rakyat jelata yang melayang
sia-sia.”
“Baik jika itu yang kau
maui, Kisanak. Omong-omong, aku pun rindu padamu.”
Perkataan itu membuat luka
di hati Ki Warugan terbuka kembali.
Kemudian langit kembali
seperti semula dan Nyai Toreh turun dan duduk anggun kembali di tikar
terbangnya. Kepada para juragan ia menyampaikan, “Akan ada duel malam ini.”
Lalu ia melayang pergi, ekor tikarnya berkelebat meninggalkan awan putih
menggantung di udara. Para juragan terbengong tak mendapatkan kepastian apakah
mereka bakal memperoleh kejayaan kembali atau tidak nantinya. Sebab mereka
sudah jauh-jauh dan menggelontorkan keping emas yang tidak sedikit demi
mengundang Nyai Toreh yang termashyur kesaktiannya.
Luka yang terbuka kembali
itu membuat Ki Warugan pikirannya mengembara ke peristiwa petaka terakhir.
Menjadi anggota paguyuban
sihir Randang Gageh adalah pencapaian teristimewa bagi para penyihir. Banyak
terdapat paguyuban sihir di dunia, namun Randang Gageh ini yang paling ternama.
Dahulu kala, penyihir yang tergabung kebanyakan berasal dari golongan penyihir
natural. Namun seiring jaman, penyihir natural makin berkurang. Rupanya Raja
Langit makin pilih-pilih untuk menganugerahkan.
Paguyuban sihir Randang
Gageh terdiri dari penyihir mumpuni baik laki-laki maupun perempuan. Semenjak
berdirinya, terdapat satu pantangan paling utama di paguyuban tersebut.
Penyihir Randang Gageh tidak dibolehkan saling jatuh cinta!
Adalah Nyai Toreh yang
merebut hati Ki Warugan. Kecantikannya yang memukau. Lakunya yang lemah lembut
(setidaknya pada masa itu). Tak dapat dibendung, Ki Warugan mengungkapkan rasa
cintanya itu. Nyai Toreh menerimanya. Namun mereka harus melakukannya secara
diam-diam. Mereka memadu kasih dalam sambungan telepati. Sebuah keistimewaan
bagi penyihir natural. Namun begitu, tetaplah jalinan cinta itu dapat tercium
oleh anggota lain yang begitu sangat taat terhadap manifesto paguyuban. Mereka
berdua dipisahkan selama kurun waktu puluhan tahun. Dalam masa-masa pisah itu
Ki Warugan selalu khawatir terhadap Nyai Toreh. Yang tidak Ki Warugan ketahui
adalah, Nyai Toreh memanfaatkan masa pengasingan itu dengan mengembara ke
wilayah dengan sihir kuno. Kebanyakan sihir kuno, lebih berbahaya daripada
sihir modern. Nyai Toreh menggeluti lembaran-lembaran lontar berisi mantra dan
petunjuk mendapatkan kesaktian sihir tertinggi dengan instan.
Puluh tahun pengasingan
itu usai. Keduanya diperkenankan kembali dengan syarat: jangan mengulang jatuh
cinta! Ki Warugan terpaksa mematuhi sebab bila tidak, dewan tinggi sihir akan
mencabut kemampuan sihirnya. Namun di satu pertemuan dengan Nyai Toreh,
perempuan itu menyatakan sesuatu yang lain. “Cinta itu harus diperjuangkan,
Kisanak.”
“Situasi kita tak
memungkinkan.”
“Maka akan kubuat
mungkin.”
Ki Warugan was was
terhadap apa yang direncanakan Nyai Toreh. Dari situ ia sudah sedikit mencium
bau tidak becik dari niatan Nyai Toreh. Benar disangka, pada pertemuan triwulanan
penyihir paguyuban Randang Gageh. Nyai Toreh membantai penyihir yang ada dengan
kekuatan kegelapan dan petir yang mengerikan. Hanya segelintir yang berhasil
melenyapkan diri kabur. Ki Warugan barulah menyadari, Nyai Toreh menjalani laku
sesat. Ki Warugan segera menuju satu pusaka utama Randang Gageh dan
menyelamatkannya sebelum Nyai Toreh menguasai benda tersebut. Benda tersebut
kini bersemayam di jantung Ki Warugan, sebuah mustika putih nagajawa.
Amukan Nyai Toreh
mengakhiri keberadaan paguyuban sihir Randang Gageh yang berdiri di atas angin.
Sebelum bertemu malam duel
penentuan, Ki Warugan menyempatkan diri bersemedi mendalam. Esensi jiwa Ki
Warugan melebur masuk ke dalam mustika putih nagajawa. Di dalam situlah, esensi
jiwa para penyihir jaman dahulu menyatu, secuil jiwa mereka yang dititipkan
demi paguyuban Randang Gageh sebelum mereka moksa. Ki Warugan mencari petunjuk
demi mengalahkan Nyai Toreh. Mengakhirkan kejahatan tak terperi yang
dilakukannya.
Bagaimana mengalahkan
seorang penyihir jahat yang telah menelan jiwa-jiwa manusia dan penyihir?
Seorang penyihir yang mampu mengekstrak jiwa untuk kemudian dijadikan nutrisi
kekuatan sihir hitamnya. Ki Warugan bertanya, mereka menjawab, “Janganlah kau
hadapi si perempuan sesat itu. Kau akan mati sia-sia.”
Jawaban itu merupakan
jalan buntu. Ki Warugan memilih untuk mengolah pikir sendiri. Lama-lama
akhirnya ketemulah jawabannya. Ki Warugan mendapatkan kemantaban pandu. Kali
ini, dirinya tak lagi bergoncang akibat luka lama itu. “Malam ini, semua
tentangmu akan tuntas Nyai Toreh.” Begitu ia berkata kepada Nyai Toreh yang
sudah bersiap di gelanggang megah terbuka tempat budak diadu pakai kereta kuda.
“Kau begitu yakin,
Kisanak. Kau mungkin lupa bahwa semua kekuatan penyihir telah berada di
genggamanku.”
“Aku tidak lupa tentang
itu Nyai. Justru aku mengaku kalah. Sia-sia memang menghamburkan kekuatan untuk
menghadapimu. Ilmu yang kuperoleh melalui kebajikan tidak akan pernah mampu
menandingi kekuatan pintasmu itu. Maka jika kau memang menginginkan diriku
sebagai penyihir natural terakhir, maka ambillah.”
Rakyat jelata yang
menyaksikan merasa kecewa. Pahlawan dadakan itu mengapa malah menyerahkan diri?
Sementara para juragan tertawa puas. Negeri Tanjung Wungu akan kembali ke
tangan mereka.
“Ah kau mengecewakanku,
Kisanak. Aku mengharapkan perlawanan.”
“Sudah kubilang, Nyai.
Percuma melawanmu.”
Nyai Toreh membumbung ke
angkasa. Tangan merentang dan menjadikan langit mendung dan menggelegarkan
petir. Suaranya membahana, “Pahlawan kalian menyerah, lihat itu! Tidak ada yang
mampu menandingiku.” Nyai Toreh melancarkan serangan samberan petir tepat ke
jantung Ki Warugan.
Sebelum sampai ujung petir
maut itu menyentuh dadanya, Ki Warugan telah melancarkan seni sihir kuno. Sihir
kuno aliran putih yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup raga si pelakon.
Namun ini adalah satu-satunya cara menuntaskan Nyai Toreh. Petir menerabas
tubuh Ki Warugan sampai ludes. Kini partikel jiwanya terhisap masuk ke dalam
raga Nyai Toreh.
Inilah tujuan Ki Warugan.
Ia melebur ke dalam diri Nyai Toreh untuk membebaskan jiwa-jiwa manusia dan
penyihir yang dibunuh. Di dalam tubuh Nyai Toreh, Ki Warugan melakukan serangan
dari dalam. Sejurus lalu dirinya melebur menjadi partikel kecil untuk kemudian
menyatu kembali di dalam. Serangan petir itu sesungguhnya tidak mengenai
dirinya sama sekali. Sebab tubuh yang tadi disamber petir dahsyat Nyai Toreh
adalah tubuh kosong yang dibuatnya dari seni sihir mengendalikan partikel. Ki
Warugan mengondisikan dirinya moksa separuh. Kesempatan masuk ke dalam tubuh
Nyai Toreh adalah melalui serangan maut tersebut.
Dari dalam tubuh Nyai
Toreh, Ki Warugan berkata, “Kebiasaan watak para penyihir yang menyangka
dirinya mumpuni adalah kelengahan dalam kepongahan. Matilah kau Nyai Toreh!”
Ki Warugan mengaktifkan
mustika putih nagajiwa. Sinar pusaka peninggalan dewan sihir dunia itu
membebaskan jiwa-jiwa manusia dan penyihir yang terkurung dalam cengkeraman
penyerap kekuatan dalam tubuh Nyai Toreh.
Nyai Toreh yang tengah
melayang di atas angin kebingungan. “Ada apa ini?” Tubuh fisiknya berlubang dan
memancarkan sinar putih. Bersamaan dengan sinar putih yang menghabisi raganya
itu jiwa-jiwa malang terbebaskan, ada yang langsung menuju ke langit ada pula
yang masuk ke alam kubur. “Tidaak! Kekuatanku!”
Para juragan laknat
menyaksikan itu dengan bingung. Lebih bingung dan panik lagi sebab rakyat
jelata telah mengangkat senjata dan mengepung mereka.
Makin lama tubuh Nyai
Toreh habis karena lubang menganga kian besar melahap fisiknya. Sementara
esensi jiwa Nyai Toreh melesak masuk ke dalam mustika nagajiwa ketika semua
jiwa-jiwa malang korban pembunuhan Nyai Toreh telah terbebaskan semua. Ki
Warugan yang separuh moksa membentuk kembali dirinya dalam wujud yang setengah
transparan. Tugasnya selesai di Tanjung Wungu. Rakyat jelata akan merebut hak
hakiki mereka sebagai manusia merdeka.
Jika tak mampu melawan
dari luar, lawanlah dari dalam.
Perjalanan Ki Warugan tetap berlanjut. Upaya untuk
mengutuhkan kembali wujudnya terbentang panjang ke depan. Setelah semua itu
tercapai, barulah dia akan moksa sempurna. Sementara itu, ia akan tetap
mengelana membantu para manusia kurang mujur yang ditindas oleh ketidakadilan.
Dalam jantungnya, mustika putih nagajiwa dengan kuat mengurung esensi jiwa Nyai
Toreh.
Komentar
Posting Komentar