JAMPI JAMPI IBLIS
Jampi Jampi Iblis

Satu malam aku diundang ke rumah seorang
kawan, yang amat tertarik mengenai alam gaib, ia menghendaki pengalamanku perihal
tubuh perantara. “Seorang perempuan cantik selayaknya bidadari kahyangan.”
Demikian katanya ketika memintaku.
Aku sendiri tidaklah terlalu
mempercayai kemunculan kembali para arwah, tapi, berpikir bahwa ini akan
menarik, maka aku mengiyakan untuk datang. Waktu itu aku baru saja kembali dari
perjalanan panjang ke luar negeri, dan kondisiku masih prima, gampang terbuai
oleh pengaruh luar, dan gugup luar biasa.
Pada jam yang ditentukan tersebut aku
telah berada di rumah kawanku itu, lalu diperkenalkan kepada orang-orang yang
telah berkumpul untuk menyaksikan fenomena yang bakalan terjadi. Beberapa dari
mereka yang berada di dekat meja itu sama asingnya denganku, lainnya yang
tampak sudah biasa mengambil tempat seperti pada pertemuan sebelumnya. Si tubuh
perantara belumlah tiba, dan selagi menunggu kedatangannya kami duduk dan membuka
ritual dengan sebuah jampi-jampi.
Kami baru saja melantunkan bait kedua
ketika pintu terbuka dan si perantara masuk, kemudian mengambil tempat kosong
di sebelahku, lalu bergabung dalam lantunan bait terakhir, setelah itu kami
semua duduk dalam hening dengan tangan di atas meja, menunggu kontak pertama
dari alam gaib.
Kini, meskipun aku beranggapan acara
ini sungguhlah konyol, ada sesuatu dalam keheningan dan cahaya redup, sebab
lampu minyak telah disetel rendah, dan ruangan serta merta tampak dipenuhi oleh
bayangan; sesuatu tentang sosok rapuh di sisiku, kepalanya yang menunduk,
membuatku bergidik akibat semburat rasa takut dan gigil yang belum pernah
kurasakan.
Ketika aku menengok untuk melihat si tubuh
perantara barulah aku tercenung; kemudian kurasakan embusan gelombang udara
dingin menembus otakku, mengambil alih, kemudian, suara-suara bising.
“Dia dirasuki,” bisik si tuan rumah
yang duduk di seberangku. “Tunggulah, dan dia akan berbicara, dan memberitahu
kita siapakah gerangan.”
Selagi kami duduk dan menunggu, meja
bergoncang beberapa kali, diiringi suara ketukan pada meja lalu merembet ke
seluruh ruangan. Ini acara yang aneh sekaligus bikin bergidik, membuatku
setengah ingin lari karena takut, juga setengah ingin menetap dan tertawa;
secara keseluruhan, kurasa, horor mencekam ini lebih-lebih telah merasuki
diriku sendiri.
Tiba-tiba perempuan itu mengangkat
kepala dan meletakkan tangannya di kepalaku, mulai berbicara dengan suara
monoton yang ganjil, suara yang jauh, “Ini adalah kunjungan pertamaku semenjak
kematian menjemputku, dan kalian telah memanggilku kemari.”
Aku mengigil ketika tangannya
menyentuh tanganku, namun tak kuasa menariknya dari cengkeramannya yang ringan
dan lembut.
“Akulah yang kalian sebut sebagai
jiwa tersesat; aku adalah kaum rendahan. Pekan lalu aku masih berada dalam raga
hidup, namun kemudian kematian merenggutku di jalanan Whitechapel. Bisalah
kalian sebut aku sebagai orang kena sial, aye, cukup celaka bahkan. Maukah
kalian mendengar bagaimana kematianku terjadi?”
Mata si perantara terpejam dan entah
itu imajinasiku atau bukan, dia tampak lebih tua dan keriput, atau itu hanya
disebabkan oleh tipuan cahaya, topeng kusut kisut seolah menggantikan sosok
yang jelita.
Tak ada yang berbicara, dan si tubuh
perantara melanjutkan: “Aku sedang berada di luar hari itu dan tanpa kemujuran
dan makanan, aku tergopoh-gopoh membawa tubuh ringkihku di sepanjang jalanan
salju mencair dan lumpur-lumpur, dan kuyup sekujur tubuh sampai merembes kulit,
menyedihkan, ah, sepuluh ribu kali menyedihkan daripada sekarang ini, sebab
bumi adalah neraka yang lebih jahanam dari nerakaku saat ini.
“Aku memelas kepada orang-orang yang
lewat selagi aku berjalan malam itu, namun tiada siapa pun yang membalasku,
sebab pekerjaan amat kurang mujur selama musim dingin, dan kurasa diriku
tidaklah tampak menggiurkan seperti dahulu; hanya seorang pria membalasku,
seorang bermuka gelap, bertubuh sedang, dengan suara pelan, dan berpakaian
lebih pantas dariku.
“Dia bertanya ke mana aku hendak pergi,
lalu meninggalkanku begitu saja, menaruh sekeping koin di tanganku, padanya aku
berterima kasih. Pada saat aku menemukan sebuah kedai terakhir, aku bergegas,
namun ketika menuju bar dan menengok apa yang ada di tanganku, kudapati koin
itu merupakan koin asing, dengan gambar tak dikenali, yang pastinya si tuan
pemilik kedai tak akan menerima, maka aku keluar saja menembus kabut gelap
serta hujan, tanpa air untuk membasuh haus sama sekali.
“Tiada guna pergi lebih jauh lagi
malam itu. Aku kembali lagi ke arah tempat tinggal sementaraku, bermaksud
pulang dan tidur saja, sebab makanan tak kudapati. Saat kurasakan sesuatu
menyentuhku pelan dari belakang seolah ada yang menarik tudung kepalaku; aku
berhenti dan menengok untuk mencari tahu siapa itu.
“Aku sendirian, dan tanpa kutemukan
siapa pun dekat-dekatku, tiada apa pun kecuali kabut dan lampu redup penerangan
jalan. Tapi kurasakan sesuatu itu mencengkeramku, aku tak dapat melihat apa
pun, dan rasanya mereka seperti mengepungku.
“Aku mencoba menjerit, namun tak
dapat, karena tangan tak kasat mata itu mencengkeram dan mencekikku, dan aku
jatuh tak sadarkan diri seketika itu juga.
“Momen berikutnya aku terbangun, di
luar tubuhku yang dicincang secara keji, berdiri menyaksikan pembunuhan
berlangsung—seperti yang kalian lihat kini.”
Aku melihatnya selagi perantara
berhenti berbicara, sebuah tayangan mayat termutilasi tergeletak di jalan
berlumpur, dan serupa wajah iblis, kelam, dan bopeng menaunginya, dengan cakar
melengkung tajam, dan wujud tubuh yang serupa asap, seperti perwujudan tak
sempurna jaringan otot.
“Dialah yang melakukannya, dan akan
melakukannya lagi.” Ia berkata, “Aku mendatangi kalian untuk memburunya.”
“Apakah dia seorang pria Inggris?”
aku tercekat, dan penglihatan itu mulai mengaburkan diri dan ruangan kembali
terlihat jelas.
“Entah itu pria atau wanita, tapi dia
hidup, dia bersamaku sekarang dan akan datang malam ini juga, namun bila kalian
lebih mengharapkanku daripadanya, aku dapat mencegahnya, kalian hanya perlu
berdoa untukku dengan sungguh-sungguh”
Upacara pemanggilan roh ini makin
terasa mencekam, dan si tuan rumah bergegas menyalakan kembali lampu minyak,
kemudian aku melihat si gadis perantara, kini terangkat dari pengaruh rasukan
arwah jahat, dia gadis cantik berumur sembilan belas, dengan mata cokelat
teranggun yang pernah kulihat.
“Apakah kau tahu apa yang barusan kau
bicarakan?” aku bertanya padanya.
“Apa yang barusan?”
“Tentang perempuan korban pembunuhan.”
“Aku tidak tahu apa-apa. Aku cuma
tahu aku duduk di sini bersama kalian. Aku tidak menyadari aku sudah dirasuki.”
Apakah dia berkata yang sebenarnya? Mata gelapnya berkata jujur, maka aku
percaya. Malam itu ketika aku kembali ke penginapan aku kesulitan tidur. Entah mengapa
aku merasa gelisah dan khawatir, dan berharap aku tidak pernah datang ke acara
pemanggilan arwah lagi, mengucapkan jampi-jampi konyol itu. Aku lepas pakaian
dan buru-buru naik ke tempat tidur. Aku putuskan tadi itu adalah pertemuan sesat
terakhir yang bakalan aku ikuti.
Untuk pertama kalinya seumur hidup
aku tak berani memadamkan lampu minyak, kumerasa ruangan ini dikerubungi hantu,
seolah-olah penampakan si korban dan si pembunuh sedang menemaniku, seperti
sedang berlomba-lomba untuk merasukiku, jadilah, aku tarik selimut menutupi
tubuh, di malam yang dingin, sampai tertidur.
Pukul nol nol dini hari! Hari kelahiran
sang Kristus. Aku mendengar bunyi lonceng dari menara di ujung jalan dan
menghitung dentangnya, kemudian berangsur-angsur teredam, ku mendengar lonceng
menara gereja menyusul setelah yang satu itu berhenti, aku terjaga, aku
merasakan ada yang menungguiku di dini hari Natal dimulai.
Itulah, selagi aku bertanya-tanya apa
sebab aku bangun semendadak ini, rasanya aku mendengar suara jauh yang
memanggil “Kemarilah.” Pada saat bersamaan, ada yang menarik selimutku
hingga jatuh ke lantai.
“Apakah itu kau, Polly?” aku berseru,
teringat acara pemanggilan arwah, dan nama itu adalah yang diperkenalkan oleh
si arwah ketika merasuki gadis perantara.
Tiga ketukan datang dari sandaran
tempat tidurku, sebuah tanda untuk “Ya.”
“Bisakah kau bicara padaku?”
“Ya,” lebih seperti gema daripada
suara balasan, sementara bulu kudukku mulai berdiri, aku
harus memberanikan
diri.
“Bisakah kumelihatmu?”
“Tidak!”
Tiba-tiba ada tangan tak kasat mata
yang terasa dingin lagi menyentuh wajahku.
“Demi Tuhan, apa yang kau inginkan?”
“Untuk menyelamatkan gadis yang
kurasuki tadi. Si pembunuh sedang menujunya dan akan membunuhnya jika kau tidak
segera pergi cepat-cepat.”
Segeralah aku beranjak dari tempat
tidur, dan memakai baju secara sembrono, sekaligus gemetaran akibat takut,
seakan Polly tengah membantuku berpakaian. Di mejaku terdapat sebuah pisau
Kandian yang aku bawa dari Ceylon, sebuah pisau tua yang kubeli karena
keantikan dan rancangannya, kubawa pisau itu keluar kamar, dipandu oleh tangan
tak terlihat aku keluar rumah dan menyusuri jalanan yang tertimbun salju.
Aku tidak tahu di mana si gadis
perantara itu tinggal, tapi aku ikuti saja tangan tak terlihat yang menuntunku
menembus hujan salju, berbelok di pojokan dan lewat jalan pintas, aku
menundukkan kepala sebab kepingan salju menghujaniku, sampai aku tiba di sebuah
blok sepi dan di depan sebuah rumah yang kurasa harus aku masuki.
Di seberang jalan aku mendapati
seorang pria sedang berdiri memandangi sebuah jendela berpenerangan redup,
namun aku tak dapat melihatnya lebih jelas dan aku tak begitu menggubrisnya. Aku
bergegas menaiki tangga pintu depan dan masuk ke dalam rumah itu, tangan tak
terlihat masih menuntunku.
Entah bagaimana pintu itu bisa
terbuka, aku tidak mau tahu, yang kutahu aku berhasil masuk seolah memasuki
tempat-tempat dalam mimpi, kunaiki tangga kemudian masuk ke sebuah kamar dengan
lampu redup.
Itu adalah kamar si gadis, dan dia
tengah berjuang melepaskan diri dari cekikan cakar iblis yang separuh tubuhnya
tampak samar-samar.
Aku melihatnya sekilas, si gadis yang
setengah telanjang, dengan selimut berhamburan, si iblis dengan wujud tak
sempurna itu mencengkeram leher si gadis, seketika aku merasakan angkara murka
menggelegak dan kusabetkan pisau Kandian itu ke cakar dan wajah si iblis. Darah
mengucur mengotori bilah pisauku, sampai si iblis berhenti bergerak dan lenyap
ditelan udara, si gadis terbebaskan dari cekikan, kemudian membangunkan seisi
rumah dengan jeritannya, dari tangannya jatuhlah sekeping koin, untuk kemudian
aku ambil.
Aku pergi dari situ, sebab tugasku
sudah usai, menuruni tangga dan berusaha tidak menarik perhatian para penghuni
rumah yang bergegas dalam baju tidur mereka menuju kamar jeritan itu berasal.
Kembali ke jalan, dengan koin itu di tanganku
dan pisau di tangan satu lagi aku bergegas pergi, kemudian aku teringat seorang
pria yang kulihat tadi sedang menatap jendela kamar si gadis. Masihkah dia di
sana? Dia di sana, tergeletak di atas genangan gelap di atas permukaan salju
seolah dia baru saja diserang orang.
Aku menghampirinya dan memeriksa. Apakah
dia mati? Ya. Aku membalik tubuhnya dan kulihat lehernya tergorok hampir putus,
dan wajahnya—wajah yang gelap, pucat, bopeng, dan tangan bercakar, sama seperti
yang barusan kusabet menggunakan pisau Kandian. Kulihat timbunan salju putih di
sekelilingnya mulai digenangi merah darah. Lonceng menara berdentang satu kali, disusul
dengan lagu pujian, aku berbalik dan berlari pergi masuk ke kegelapan.
Diterjemahkan dari cerita pendek
horor karya Hume Nisbet berjudul Demon Spell
Komentar
Posting Komentar