JAMPI JAMPI IBLIS

Jampi Jampi Iblis

Waktu itu merupakan masa-masa ketika klenik tengah digandrungi di Inggris, dan tak satu pun acara kumpul-kumpul berlangsung tanpa ritual pemanggilan arwah orang mati.

Satu malam aku diundang ke rumah seorang kawan, yang amat tertarik mengenai alam gaib, ia menghendaki pengalamanku perihal tubuh perantara. “Seorang perempuan cantik selayaknya bidadari kahyangan.” Demikian katanya ketika memintaku.

Aku sendiri tidaklah terlalu mempercayai kemunculan kembali para arwah, tapi, berpikir bahwa ini akan menarik, maka aku mengiyakan untuk datang. Waktu itu aku baru saja kembali dari perjalanan panjang ke luar negeri, dan kondisiku masih prima, gampang terbuai oleh pengaruh luar, dan gugup luar biasa.

Pada jam yang ditentukan tersebut aku telah berada di rumah kawanku itu, lalu diperkenalkan kepada orang-orang yang telah berkumpul untuk menyaksikan fenomena yang bakalan terjadi. Beberapa dari mereka yang berada di dekat meja itu sama asingnya denganku, lainnya yang tampak sudah biasa mengambil tempat seperti pada pertemuan sebelumnya. Si tubuh perantara belumlah tiba, dan selagi menunggu kedatangannya kami duduk dan membuka ritual dengan sebuah jampi-jampi.

Kami baru saja melantunkan bait kedua ketika pintu terbuka dan si perantara masuk, kemudian mengambil tempat kosong di sebelahku, lalu bergabung dalam lantunan bait terakhir, setelah itu kami semua duduk dalam hening dengan tangan di atas meja, menunggu kontak pertama dari alam gaib.


Kini, meskipun aku beranggapan acara ini sungguhlah konyol, ada sesuatu dalam keheningan dan cahaya redup, sebab lampu minyak telah disetel rendah, dan ruangan serta merta tampak dipenuhi oleh bayangan; sesuatu tentang sosok rapuh di sisiku, kepalanya yang menunduk, membuatku bergidik akibat semburat rasa takut dan gigil yang belum pernah kurasakan.

Aku bukanlah sosok pengkhayal atau yang cenderung memercayai takhayul, namun, semenjak perempuan muda itu memasuki ruangan, aku merasakan adanya tangan mengusap jantungku, tangan yang sedingin besi, kemudian mencengkeram, menyebabkan jantungku serasa berhenti berdetak. Indera pendengaranku pun menjadi lebih tajam dan sensitif, sehingga detak jarum arloji dalam kantong dadaku terdengar seperti hentakan mesin saling bertumbukan, dan hirup napas orang-orang di dekatku senyaring dan semengganggu dengkuran mesin uap.

Ketika aku menengok untuk melihat si tubuh perantara barulah aku tercenung; kemudian kurasakan embusan gelombang udara dingin menembus otakku, mengambil alih, kemudian, suara-suara bising.

“Dia dirasuki,” bisik si tuan rumah yang duduk di seberangku. “Tunggulah, dan dia akan berbicara, dan memberitahu kita siapakah gerangan.”

Selagi kami duduk dan menunggu, meja bergoncang beberapa kali, diiringi suara ketukan pada meja lalu merembet ke seluruh ruangan. Ini acara yang aneh sekaligus bikin bergidik, membuatku setengah ingin lari karena takut, juga setengah ingin menetap dan tertawa; secara keseluruhan, kurasa, horor mencekam ini lebih-lebih telah merasuki diriku sendiri.

Tiba-tiba perempuan itu mengangkat kepala dan meletakkan tangannya di kepalaku, mulai berbicara dengan suara monoton yang ganjil, suara yang jauh, “Ini adalah kunjungan pertamaku semenjak kematian menjemputku, dan kalian telah memanggilku kemari.”

Aku mengigil ketika tangannya menyentuh tanganku, namun tak kuasa menariknya dari cengkeramannya yang ringan dan lembut.

“Akulah yang kalian sebut sebagai jiwa tersesat; aku adalah kaum rendahan. Pekan lalu aku masih berada dalam raga hidup, namun kemudian kematian merenggutku di jalanan Whitechapel. Bisalah kalian sebut aku sebagai orang kena sial, aye, cukup celaka bahkan. Maukah kalian mendengar bagaimana kematianku terjadi?”

Mata si perantara terpejam dan entah itu imajinasiku atau bukan, dia tampak lebih tua dan keriput, atau itu hanya disebabkan oleh tipuan cahaya, topeng kusut kisut seolah menggantikan sosok yang jelita.

Tak ada yang berbicara, dan si tubuh perantara melanjutkan: “Aku sedang berada di luar hari itu dan tanpa kemujuran dan makanan, aku tergopoh-gopoh membawa tubuh ringkihku di sepanjang jalanan salju mencair dan lumpur-lumpur, dan kuyup sekujur tubuh sampai merembes kulit, menyedihkan, ah, sepuluh ribu kali menyedihkan daripada sekarang ini, sebab bumi adalah neraka yang lebih jahanam dari nerakaku saat ini.

“Aku memelas kepada orang-orang yang lewat selagi aku berjalan malam itu, namun tiada siapa pun yang membalasku, sebab pekerjaan amat kurang mujur selama musim dingin, dan kurasa diriku tidaklah tampak menggiurkan seperti dahulu; hanya seorang pria membalasku, seorang bermuka gelap, bertubuh sedang, dengan suara pelan, dan berpakaian lebih pantas dariku.

“Dia bertanya ke mana aku hendak pergi, lalu meninggalkanku begitu saja, menaruh sekeping koin di tanganku, padanya aku berterima kasih. Pada saat aku menemukan sebuah kedai terakhir, aku bergegas, namun ketika menuju bar dan menengok apa yang ada di tanganku, kudapati koin itu merupakan koin asing, dengan gambar tak dikenali, yang pastinya si tuan pemilik kedai tak akan menerima, maka aku keluar saja menembus kabut gelap serta hujan, tanpa air untuk membasuh haus sama sekali.

“Tiada guna pergi lebih jauh lagi malam itu. Aku kembali lagi ke arah tempat tinggal sementaraku, bermaksud pulang dan tidur saja, sebab makanan tak kudapati. Saat kurasakan sesuatu menyentuhku pelan dari belakang seolah ada yang menarik tudung kepalaku; aku berhenti dan menengok untuk mencari tahu siapa itu.

“Aku sendirian, dan tanpa kutemukan siapa pun dekat-dekatku, tiada apa pun kecuali kabut dan lampu redup penerangan jalan. Tapi kurasakan sesuatu itu mencengkeramku, aku tak dapat melihat apa pun, dan rasanya mereka seperti mengepungku.

“Aku mencoba menjerit, namun tak dapat, karena tangan tak kasat mata itu mencengkeram dan mencekikku, dan aku jatuh tak sadarkan diri seketika itu juga.

“Momen berikutnya aku terbangun, di luar tubuhku yang dicincang secara keji, berdiri menyaksikan pembunuhan berlangsung—seperti yang kalian lihat kini.”

Aku melihatnya selagi perantara berhenti berbicara, sebuah tayangan mayat termutilasi tergeletak di jalan berlumpur, dan serupa wajah iblis, kelam, dan bopeng menaunginya, dengan cakar melengkung tajam, dan wujud tubuh yang serupa asap, seperti perwujudan tak sempurna jaringan otot.

“Dialah yang melakukannya, dan akan melakukannya lagi.” Ia berkata, “Aku mendatangi kalian untuk memburunya.”

“Apakah dia seorang pria Inggris?” aku tercekat, dan penglihatan itu mulai mengaburkan diri dan ruangan kembali terlihat jelas.

“Entah itu pria atau wanita, tapi dia hidup, dia bersamaku sekarang dan akan datang malam ini juga, namun bila kalian lebih mengharapkanku daripadanya, aku dapat mencegahnya, kalian hanya perlu berdoa untukku dengan sungguh-sungguh”

Upacara pemanggilan roh ini makin terasa mencekam, dan si tuan rumah bergegas menyalakan kembali lampu minyak, kemudian aku melihat si gadis perantara, kini terangkat dari pengaruh rasukan arwah jahat, dia gadis cantik berumur sembilan belas, dengan mata cokelat teranggun yang pernah kulihat.

“Apakah kau tahu apa yang barusan kau bicarakan?” aku bertanya padanya.

“Apa yang barusan?”

“Tentang perempuan korban pembunuhan.”

“Aku tidak tahu apa-apa. Aku cuma tahu aku duduk di sini bersama kalian. Aku tidak menyadari aku sudah dirasuki.” Apakah dia berkata yang sebenarnya? Mata gelapnya berkata jujur, maka aku percaya. Malam itu ketika aku kembali ke penginapan aku kesulitan tidur. Entah mengapa aku merasa gelisah dan khawatir, dan berharap aku tidak pernah datang ke acara pemanggilan arwah lagi, mengucapkan jampi-jampi konyol itu. Aku lepas pakaian dan buru-buru naik ke tempat tidur. Aku putuskan tadi itu adalah pertemuan sesat terakhir yang bakalan aku ikuti.

Untuk pertama kalinya seumur hidup aku tak berani memadamkan lampu minyak, kumerasa ruangan ini dikerubungi hantu, seolah-olah penampakan si korban dan si pembunuh sedang menemaniku, seperti sedang berlomba-lomba untuk merasukiku, jadilah, aku tarik selimut menutupi tubuh, di malam yang dingin, sampai tertidur.

Pukul nol nol dini hari! Hari kelahiran sang Kristus. Aku mendengar bunyi lonceng dari menara di ujung jalan dan menghitung dentangnya, kemudian berangsur-angsur teredam, ku mendengar lonceng menara gereja menyusul setelah yang satu itu berhenti, aku terjaga, aku merasakan ada yang menungguiku di dini hari Natal dimulai.

Itulah, selagi aku bertanya-tanya apa sebab aku bangun semendadak ini, rasanya aku mendengar suara jauh yang memanggil “Kemarilah.” Pada saat bersamaan, ada yang menarik selimutku hingga jatuh ke lantai.

“Apakah itu kau, Polly?” aku berseru, teringat acara pemanggilan arwah, dan nama itu adalah yang diperkenalkan oleh si arwah ketika merasuki gadis perantara.

Tiga ketukan datang dari sandaran tempat tidurku, sebuah tanda untuk “Ya.”

“Bisakah kau bicara padaku?”

“Ya,” lebih seperti gema daripada suara balasan, sementara bulu kudukku mulai berdiri, aku 
 harus memberanikan diri.

“Bisakah kumelihatmu?”

“Tidak!”

Tiba-tiba ada tangan tak kasat mata yang terasa dingin lagi menyentuh wajahku.

“Demi Tuhan, apa yang kau inginkan?”

“Untuk menyelamatkan gadis yang kurasuki tadi. Si pembunuh sedang menujunya dan akan membunuhnya jika kau tidak segera pergi cepat-cepat.”

Segeralah aku beranjak dari tempat tidur, dan memakai baju secara sembrono, sekaligus gemetaran akibat takut, seakan Polly tengah membantuku berpakaian. Di mejaku terdapat sebuah pisau Kandian yang aku bawa dari Ceylon, sebuah pisau tua yang kubeli karena keantikan dan rancangannya, kubawa pisau itu keluar kamar, dipandu oleh tangan tak terlihat aku keluar rumah dan menyusuri jalanan yang tertimbun salju.

Aku tidak tahu di mana si gadis perantara itu tinggal, tapi aku ikuti saja tangan tak terlihat yang menuntunku menembus hujan salju, berbelok di pojokan dan lewat jalan pintas, aku menundukkan kepala sebab kepingan salju menghujaniku, sampai aku tiba di sebuah blok sepi dan di depan sebuah rumah yang kurasa harus aku masuki.

Di seberang jalan aku mendapati seorang pria sedang berdiri memandangi sebuah jendela berpenerangan redup, namun aku tak dapat melihatnya lebih jelas dan aku tak begitu menggubrisnya. Aku bergegas menaiki tangga pintu depan dan masuk ke dalam rumah itu, tangan tak terlihat masih menuntunku.

Entah bagaimana pintu itu bisa terbuka, aku tidak mau tahu, yang kutahu aku berhasil masuk seolah memasuki tempat-tempat dalam mimpi, kunaiki tangga kemudian masuk ke sebuah kamar dengan lampu redup.

Itu adalah kamar si gadis, dan dia tengah berjuang melepaskan diri dari cekikan cakar iblis yang separuh tubuhnya tampak samar-samar.

Aku melihatnya sekilas, si gadis yang setengah telanjang, dengan selimut berhamburan, si iblis dengan wujud tak sempurna itu mencengkeram leher si gadis, seketika aku merasakan angkara murka menggelegak dan kusabetkan pisau Kandian itu ke cakar dan wajah si iblis. Darah mengucur mengotori bilah pisauku, sampai si iblis berhenti bergerak dan lenyap ditelan udara, si gadis terbebaskan dari cekikan, kemudian membangunkan seisi rumah dengan jeritannya, dari tangannya jatuhlah sekeping koin, untuk kemudian aku ambil.

Aku pergi dari situ, sebab tugasku sudah usai, menuruni tangga dan berusaha tidak menarik perhatian para penghuni rumah yang bergegas dalam baju tidur mereka menuju kamar jeritan itu berasal.

Kembali ke jalan, dengan koin itu di tanganku dan pisau di tangan satu lagi aku bergegas pergi, kemudian aku teringat seorang pria yang kulihat tadi sedang menatap jendela kamar si gadis. Masihkah dia di sana? Dia di sana, tergeletak di atas genangan gelap di atas permukaan salju seolah dia baru saja diserang orang.

Aku menghampirinya dan memeriksa. Apakah dia mati? Ya. Aku membalik tubuhnya dan kulihat lehernya tergorok hampir putus, dan wajahnya—wajah yang gelap, pucat, bopeng, dan tangan bercakar, sama seperti yang barusan kusabet menggunakan pisau Kandian. Kulihat timbunan salju putih di sekelilingnya mulai digenangi merah darah.    Lonceng menara berdentang satu kali, disusul dengan lagu pujian, aku berbalik dan berlari pergi masuk ke kegelapan.

Diterjemahkan dari cerita pendek horor karya Hume Nisbet berjudul Demon Spell


               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INSOMNIAC SLEEPING BEAUTY

LOKA / LOCA? -- Part 1 "SELEKSI"

KI BONGKOK, POHON AJAIB, PUTRI ANGSA