KAWINAN ABANG (adaptasi dari scene Red Wedding -- citarasa Jawa)
KARTI
(Kawinan Abang)
Ditulis dalam rangka mengikuti Giveaway grup PNFI
Acara kawinan ini dijejali banyak
hadirin dan panggung musik aneka rupa. Musiknya berasal dari tabuhan hadrah,
marawis, gong, drum-drum besar yang dipukul pakai pemukul bedug, Lalu menyusul
iringan gamelan, kentrung, angklung, ukulele, semua jadi satu, merusak harmoni,
menggerogot gendang telinga. Sampai berdenging, Karti Sutarko mendengarkan. Tak
kuat ia barang dua tiga jam lagi di acara kawinan ini. Pusing. Ki Waldino Priyo
pasti edan jika menganggap irama tak karuan ini sebagai musik. Duh biyung, Karti
mengeluh dalam hati, masih berapa lama lagi ini. Hatinya mencelos
mengetahui setelah gambrengan musik acakadut akan digelar pagelaran ludruk
hikayat “Ramayana”
Gadis cilik anak dan juga merupakan
istri kesekian Ki Waldino, Perkutut, sedang menari-nari tak jelas di bawah
panggung. Ki Waldino sendiri dengan cuek dan serakah melahapi hidangan yang
tersaji. Karti melirik ke sebelah, adiknya, Wadimur Tulodo tengah cekikian
bersama pengantin barunya, gadis anak Ki Waldino Priyo yang amat cantik.
Namanya Rusmini Priyati. Masih segar dalam kenangan, Wadimur bersikukuh
menentang perjodohan ini. Karti paham betul mengapa, tahulah Ki Waldino itu
buruk rupa, anak gadisnya kebanyakan berwajah tak sedap. Karti pun paham
mengapa demikian, Ki Waldino suka mengawini putrinya sendiri, perkawinan yang
seperti begitu melahirkan anak-anak cacat fisik.
Perkawinan ini adalah buah hasil dari
perbuatan tak hormat yang dilakukan oleh putranya, Robayan Sutarko. Bocah
pemimpin itu, seharusnya menikahi Rusmini ini, atau anak gadis Ki Waldino yang
lain yang ia kehendaki. Itu adalah perjanjian yang ditawarkan Ki Waldino
sewaktu Robayan dan para pendekarnya hendak menyeberang untuk menaklukkan
pasukan pendekar arahan musuh, suruhannya Ki Tisno Lamtoro. Namun apa daya,
namanya pula laki-laki, sudah kodratnya suka melanggar janji, mudah tergoda
iman. Sewaktu di pertempuran di desa Tembeling, Robayan bertemu seorang gadis
putri Ki Margio, namanya Tariyem Margio. Robayan jatuh cinta, dan menikahi
diam-diam si Tariyem ini. Ingin rasanya Karti menampar putranya keras-keras
atas keputusannya itu. Namun urung karena ia melihat cinta yang begitu
menggelora, mengingatkannya tentang kisahnya dahulu bersama mendiang suaminya,
Edino Sutarko. Yang mati dipenggal di daerah Kidul, atas perintah Tuwan Jupri
Subandono. Dituduh berkhianat dan menghina si Tuwan kecil tengik itu. Karena
itulah, Robayan mengumpulkan segala kekuatan para Pendekar pendukung dari
daerah Lor. Untuk membalas dendam!
Ki Waldino sudah pasti tak terima
dengan pengingkaran janji yang dilakukan Robayan ini. Karti begitu menyesalkan,
hatinya seperti dibelit dengan tambang besar, ditarik kuat-kuat oleh sekumpulan
kebo bule. Ia mengkhawatirkan nasib putranya ini. Ki Waldino dikenal mudah
marah dan tersinggung, dan bila itu terpicu, maka tak amanlah bagi siapapun
jua. Karti bersama Ki Rustam Bondo, mengusulkan agar Robayan meminta maaf atas
kelancangannya kepada Ki Waldino. Maka dari itu, terusullah putri Ki Waldino
akan dinikahi oleh pamannya, Wadimur Tulodo sebagai ganti. Supaya kerja sama
tetap terjalin.
Di luar sedang hujan. Tapi di dalam
aula pesta ini udara begitu tebal dan menggerahkan. Pria-pria berjejalan
memenuhi meja hidangan. Sampai-sampai siapapun yang hendak mengangkat
gelas-gelas bambu saling menyodok satu sama lain. Karti duduk di sebelah Rustam
Bondo dan pamannya, Iwakireng. Kedua pria itu menyantap kue-kue hidangan
pelan-pelan, lebih banyak menenggak tuwak, legen, dan dawet. Kombinasi yang
aneh bila diminum berbarengan begitu, pikir Karti. Karti sendiri, tidak nafsu.
Makanan yang tersaji begitu hambar tak sedap, sampai-sampai ia berpikir hidangan
ini dimasak dari bahan-bahan busuk. Robayan duduk bersama Tariyem yang tengah
hamil muda, memakan hidangan tanpa protes.
Karti mengamati Rusmini, senyumnya
begitu kaku dan takut-takut. Ah, itu wajar. Dahulu ia sendiri pun begitu ketika
menikahi Edino. Wadimur dan Rusmini saling menyuapi, bertukar cium, makan dari
piring yang sama. Tapi Karti melihat siratan horor dari wajah Rusmini. Tak
yakin apakah itu, mungkin gugup karena malam ini juga orang-orang akan
menyaksikan untuk pertama kalinya Rusmini menanggalkan mahkota perawan. Atau
ada hal lain? Yang tak bisa Karti terka. Tetiba perutnya melilit.
Para pendekar pendamping Robayan
tengah asik bersenda gurau dengan pendekar-pendekar bawahan Ki Waldino. Bermain
gaple, adu dadu, dengan taruhan corengan kapur di muka atau meminum setenggak
arak busuk. Ketika angklung dan gamelan berpadu satu, dihentaki pukulan
gendang, Robayan mengajak menari satu per satu putri Ki Waldino. Setidaknya
bila Robayan tidak menikahi satu gadis Ki Waldino, bolehlah ia mengajak menari
semua putri Ki Waldino. Itu permintaan khusus Ki Waldino sebelum acara kawinan
ini digelar. Robayan menyanggupi dan tampaknya ia sama sekali tak keberatan,
malah dengan senangnya ia menari jingkat sana jingkat sini. Bahkan ibu-ibu,
nenek-nenek sampai putri ingusan Ki Waldino pun ia ajak menari. Barulah giliran
bersama istrinya sendiri tiba. Robayan tak ada capeknya menari. Sampai semua
perempuan ia telah ajak menari dan tersisa Karti. “Bu, ayo menari.”
“Emoh le. Ibu lagi malas menari.”
Karti menolak.
Akhirnya Robayan mengajak menari
istri Rustam Bondo, yang juga adalah putri Ki Waldino. Bernama Ndut Walida.
Musik campuran itu mereda. Gendang
masih dipukul. Dum. Dum. Dum. Menandai pagelaran ludruk dagelan hikayat
“Ramayana” dimulai. Baru permulaan babak, paman Karti, Iwakireng, mengundurkan
diri. “Aku mau pipis dulu.”
Karti jengah menyaksikan ludruk yang
sama saja kualitasnya dengan musik acakadut tadi. Sama-sama berantakan dan
kacau isinya. Herannya, hadirin kawinan ini tertawa terpingkal-pingkal acapkali
seorang lakon terjatuh dari panggung. Karti memalsukan senyum supaya tidak
dinilai kurang ajar oleh Ki Waldino. Robayan ikut terbahak bersama
istrinya.
Di luar hingar bingar itu, Karti baru
teringat sesuatu. Anjing besar peliharaan Robayan tak tampak di aula kawinan
ini. Meskipun ada anjing-anjing kecil yang berebut makanan sisa di sudut aula.
Anjing yang dinamai Abuangin itu adalah pelindung yang amat setia bagi Robayan.
Kehadiran Abuangin, walau membikin bulu kuduk Karti sering berdiri, membuat keselamatan
Robayan aman terjaga. Baru musuh atau bahaya mendekat, Abuangin telah lebih
dulu mengkoyak leher si musuh. Ki Waldino, melarang Abuangin masuk ke aula.
“Dengar-dengar asumu itu doyan daging manusia, suka mengkoyak-koyak, ngek?” Ki
Waldino berkata. “Merobek tenggorokan, ya tho. Aku emoh ada kirik itu di
kawinan Rusmini-ku tersayang, di antara wadon-wadon dan anak kecil, semua gadis
manisku. Ora boleh.”
“Abuangin bukan ancaman, Ki.” Robayan
bertukas. “Tidak kalau saya ada di sini.”
“Kowe kan dulu di gerbangku, toh?
Asumu itu nyerang putu(cucu)ku yang kukirim buat nyambut kowe? Aku dengar lho,
jangan pikir aku ora dengar, ngek.”
“Tidak ada yang disakiti.” Robayan
mengelak.
“Ora sakit, Tuwan bilang? Ora sakit?
Putut jatuh dari jaran, jatuh. Wadonku mati juga sama begitu, jatuh. Lehernya
patah. Apa yang Tuwan mau kata kalau misal Putut jatuh juga patah lehernya,
ngek? Mau minta maaf lagi? Ora, ora, ora iso. Boleh saja sampeyan itu Tuwan,
aku tak bisa bilang tidak, sampeyan Tuwan daerah Lor, ngek, tapi di bawah
atapku, aturanku. Pilih asu atau kawinan ini, Tuwan. Tak bisa keduanya.”
Karti bisa merasakan amarah di wajah
Robayan, tapi ia menuruti kata Ki Waldino dengan kepatutan seorang Tuwan. Jika
itu bikin Ki Waldino senang untuk menyajikanku sup gagak yang dibaluri
belatung, Robayan berbisik ke Karti, aku akan makan dan minta nambah.
Ludruk dagelan itu makin tak tentu
arahnya. Melenceng akibat guyonan tak bermutu yang entah mengapa sukses
mengundang deru tawa. Ah, mungkin pengaruh mabuk arak. Ki Waldino hanya
mengangguk-angguk sambil mulutnya penuh sosis solo. Matanya memicing melihati
hadirin. Lalu tangannya mengangkat ke udara. Menghentikan segala dagelan dan
tabuhan gendang dan gamelan.
“Tuwanku.” Ki Waldino memanggil
Robayan. “Penghulu sudah mensahkan, janji suci sudah terucap, dan Ki Wadimur
sudah menyelimuti Rusmini dengan jubah gambar ikan Guramenya, tapi mereka belum
sah jadi suami dan istri. Pedang butuh sarungnya, ngek, dan kawinan butuh
kenthu (senggama). Apa pendapat Tuwan? Apa sekarang waktunya kita kenthu-kan
mereka?”
Para pendekar seketika meriuh
antusias. “Kenthu! Kenthu! Kenthu!” muka Rusmini berubah pucat. Entah apa yang
membuatnya sebegitu ketakutan, gagasan tentang kehilangan perawanannya atau
tentang kawinan ini sendiri, dengan begitu banyak saudara sedarah, seharusnya
ia sudah tak malu lagi dilihat bentuk tubuhnya. Karti ingat malam kenthu-nya
bersama Edino. Jono Kasno yang merobek gaunnya, dilanjutkan oleh saudaranya
yang lain, menanggalkan baju Karti sampai bulat telanjang. Lalu mereka diarak
menuju kasur kawin. Dan disaksikan ramai-ramai.
Robayan mengangkat tangan. “Jika
memang sudah saatnya, Ki Waldino. Dengan segala maksud, ayo kenthu-kan mereka!”
Seorang pendekar Ki Waldino berseru.
“Dengar-dengar orang Tulodo punya Gurame besar di selangkangan mereka alih-alih
kontol.” Lalu dilanjut “Apakah butuh cacing buat bikin dia ngaceng?” disusul
tawa. Lalu dibalas oleh pendekar Lor. “Dengar-dengar wadon Priyati punya dua
gerbang di satu lubang?” lalu disusul. “Nggih, tapi keduanya tertutup buat
piyik kayak kowe!” ledakan tawa menyambut. “Ayo kenthu! Kenthu! Kenthu!”
Raungan setuju menggema di aula.
Segera saja para wadon (perempuan) Ki Waldino menyeret Wadimur dari meja makan.
Pendekar-pendekar Lor menjunjung Rusmini yang tertawa gugup. Iring-iringan itu
menuju pintu aula, dijeblakkan oleh pelayan. Selagi diiring dan dijunjung,
pasangan pengantin itu dilucuti pakaiannya satu per satu, sehingga meninggalkan
jejak pakaian di lantai. Si Perkutut meloncat-loncat di depan panggung,
melanjutkan dagelan yang terhenti.
Karti berharap Wadimur lembut
memperlakukan Rusmini. Kasihan gadis itu. Karena keantusiasan acara kenthu itu,
aula mendadak sepi. Hanya segelintir saja yang tetap tinggal. Termasuk Karti,
Robayan dan istrinya, dan Rustam Bondo. Karti celingukan mencari pamannya,
Iwakireng. Belum balik juga. Tinggalnya Robayan di aula membuat khawatir Karti.
Takut jika ini dianggap tindakan kurang ajar kepada Ki Waldino. Robayan tak mau
menyaksikan kenthu-nya Rusmini, ngek?
Suasana menjadi senyap. Hanya
terdengar sekali dua tabuhan gendang. Membuat Karti jadi menggigil entah
kenapa. Lalu sayup-sayup dimulailah tembang “Udan-udanan ning Kaliaren” yang tambah bikin menggigil Karti, menyayat
hati. Ia menengok ke Rustam Bondo, wajahnya dingin dan begitu tenang seperti
suasana sebelum badai. Karti memeriksa pergelangan tangan Rustam. Ia memakai
dalaman jalinan rantai pelindung. Seketika Karti tahu maksudnya. Dengan geram
ia menampar pipi Rustam. Lalu bangkit dari meja. Seketika itu ia melihat
panah-panah telah menancap di punggung dan paha Robayan.
Begitu cepat terjadi. Pendekar Ki
Waldino membunuhi pendekar Lor yang ada di aula. Darah memuncrat dan menyembur.
Pisau-pisau beterbangan di udara. Panah mendesing. Sementara Rustam Bondo
beranjak dari mejanya dengan tenang. Ngeri membayangi mata Karti. Tariyem….
Yang tengah hamil muda.. perutnya dihunjami tusukan berkali-kali. Sakit dan
horor tak bersuara. Darah merembes dari balik gaun. Gelegak darah mengalir dari
mulut. Tariyem limbung dari meja dan kepalanya menghantam lantai terlebih
dahulu. Bersamaan dengan itu Robayan pun jatuh, menyadari apa yang terjadi.
“Robayan!” Karti berteriak. Ia
mencari-cari pisau. Ia dapatkan di lantai, mungkin dari salah satu milik
pendekar Lor. Ki Waldino dengan tenang dan mata serakah melihat pembunuhan yang
terjadi. Seringainya menandakan kepuasan. Kepuasan terhadap janji yang
teringkar kini terbalas.
Karti ingin sekali membunuh Ki
Waldino dengan tangannya sendiri. Namun jaraknya terlalu jauh, panah-panah
masih mendesing. Yang paling mudah dijangkau adalah si Perkutut yang
bersembunyi di bawah meja. Gelagapan Karti menyergap Perkutut. Pisau mendarat
di leher gadis cilik itu. “Ampun Ki!” Karti berteriak. “Ki Waldino! Ki
Waldino!” suara tabuhan gendang dan gamelan menyamarkan teriakannya.
Robayan perlahan bangkit. Menatap
pucat dan ngeri. “Ngek. Tuwan Lor bangkit. Tampaknya kita tak sengaja membunuhi
pendekar Lor, Tuwan. Oh, tapi saya minta maaf, itu bakal membereskan semuanya,
ngek.”
“Ki Waldino! Ki Waldino! Cukup!
Sudahi semua ini. Sampeyan sudah membalas pengkhianatan dengan pengkhianatan.”
Karti menekan pisaunya ke leher Perkutut. “Kumohon. Dia putraku. Putra
pertamaku, dan yang terakhir. Biarkan dia pergi. Biarkan dia pergi dan aku
bersumpah akan melupakan semua ini, melupakan apa yang kau perbuat di sini. Aku
bersumpah atas tuhan lama dan baru… kami
tidak akan membalas dendam..”
“Hanya orang goblok yang bakal
percaya katamu. Apa kau anggap aku ini goblok, eh nyonya?”
“Tawan aku sebagai gantinya, Ki.
Wadimur juga jika kamu belum membunuhnya. Tapi biarkan Robayan pergi.”
“Bu, jangan.” Robayan berkata pelan.
“jangan bu.”
“Iya, Robayan, bangunlah. Bangun dan
pergilah, kumohon, kumohon. Selamatkan dirimu.”
Ki Waldino mengolok. “Dan kenapa aku
harus biarkan dia pergi?”
Karti menekan lebih dalam pisau di
leher Perkutut. “Wibawaku sebagai Tulodo, wibawaku sebagai Sutarko. Aku akan
tukar nyawa putrimu ini demi Robayan. Anak untuk anak.” Tangan Karti bergetar
hebat memegang pisau di leher Perkutut.
“Anak untuk anak, ngek? Tapi dia itu
cucu. Dan tak ada gunanya pula.”
Tiba-tiba saja muncul sesosok
berjubah hitam. Menghunjamkan pedang dari punggung Robayan hingga tembus ke
dada. “Jumari Lamtoro titip salam.” Bisiknya,
lalu Robayan jatuh tak berdaya tak bernyawa.
Karti menyembelih leher Perkutut.
Lalu pasrah, pisau dijatuhkan. Diambil oleh pendekar Ki Waldino. Menyayatkan
pisau itu di pipi Karti, membentuk garis-garis. Darah membanjir hangat. Si
sosok hitam kemudian menerima pisau itu. Menjambak rambut Karti. Jangan,
jangan rambutku. Edino suka rambutku. Kemudian pisau itu mendarat di
lehernya, sayatannya begitu berdarah dan dingin.
(Cately Stark = Karti Sutarko, Robb
Stark = Robayan Sutarko, Walder Frey = Waldino Priyo, Roose Bolton = Rustam Bondo,
Edmure Tully = Wadimur Tulodo, Roslyn Frey = Rusmini Priyati, Blackfish =
Iwakireng, Joffrey Baratheon = Jupri Subandono, Tywin Lannister = Tisno
Lamtoro, Jaime Lannister = Jumari Lamtoro, Eddar Stark = Edino Sutarko, Talisa
Maegyr = Tariyem Margio, Rain of Castamere = Udan-udanan ning Kaliaren)
Komentar
Posting Komentar