STORM OF SHADOW
-oOo-
“Some people seemed to get all sunshine, and
some all shadow…”

Seekor gagak hitam melintasi
alam raya. Matanya sehitam langit larut malam, memantulkan secuil penglihatan
tentang jagad raya yang maha luas.
Memilah milah mana yang bisa
dijadikannya budak kegelapan. Ia mengincar anak bayi yang terlahir dengan
anomali. Tapi seringnya, si elang putih telah mendahului. Bah, elang putih itu!
ia akan meninggalkan begitu saja para Anomali yang hatinya bergejolak. Mana ada
orang yang hatinya murni terus!
Itu adalah fakta. Pikir si
Gagak hitam. Makhluk macam manusia, tidak bisa seluruhnya diharapkan untuk
berjalan di jalan yang lurus terus. Senantiasa mereka akan tergelincir,
tergoyahkan, terombang-ambing badai pilihan hidup.
Orang-orang terpilih telah
pergi sejak lampau. Para pembimbing yang tak akan ada lagi keberadaannya di
jaman yang sudah menggila ini.
Gagak terbang melintasi benua.
Mengitari kota-kota dan negara. Mencari-cari kandidat yang tepat.
Mungkin kali ini ia akan
berhasil mendapatkan satu.
Di negeri yang tandus, badai
pasir senantiasa menjadi santap sehari-hari penduduknya. Tak hanya tandus,
negeri itu tengah dilanda perang saudara. Perang antar golongan. Yang saling
mengutuk satu sama lain.
Salah satu anak, namanya Malek,
tak mengerti kenapa pertikaian ini terus terjadi.
Ia tak menyangka dunia sebegitu
kejamnya. Manusia begitu biadabnya. Di Kota Pasir nyawa begitu murah.
Sehari-hari, Malek bersembunyi di antara karung-karung gandum, melihat remaja
dan orang-orang dewasa di blok tempat tinggalnya menghadang tentara golongan
tirani.
Dar dor dar dor.
Mereka jatuh satu per satu.
Mati.
Darah menggenang tepat di depan
mata Malek. Kakaknya, mati.
Di tempat aman, di bawah tanah.
Lansia, wanita, dan anak-anak bersembunyi. Malek sebatang kara. Ibunya telah
tiada, begitu pula ayahnya, yang jatuh tertembak tentara tirani.
“Tentara itu bukan dari
golongan kita. Mereka orang luar!” kata seorang ibu yang dituakan di situ.
Malek mendengarkan.
“Baju mereka tak sama.
Loreng-loreng. Jelas bukan dari golongan sebelah. Agaknya senjata mereka
terlalu modern. Mereka turun ikut campur.”
Sisanya menggelengkan kepala,
mengutuk dan menderita.
Seorang perempuan remaja. Usia
lima belas tahun. Namanya Sahasrara. Menemukan Malek sedang bersembunyi di
balik guci. “Malek, kaukah itu? sudah makan kau?”
Malek tak menjawab. Tubuhnya
bergetar. Mendengar suara yang lirih menenangkan itu. Tak sanggup lagi ia
menahan.
“Kakakku mati.” Malek meledak
tangis.
Sahasrara segera mendekap
Malek.
“Kakakmu mati sebagai pahlawan,
Malek. Ia akan terbang ke surga.”
“Surga itu seperti apa? Apakah
di surga semua orang akan baik pada kakakku?”
“Tentu. Surga adalah segala hal
baik berada. Tak ada orang jahat di sana.”
“Kau yakin? Kau tahu dari
mana?”
“Aku yakin.”
“Kau tahu dari mana? Kau pernah
ke sana memangnya?” tuntut Malek.
“Aku belum pernah ke sana. Tapi
aku sangat ingin ke sana nanti jika aku sudah meninggal.”
“Jadi harus mati dulu?”
“Itu salah satu jalannya. Tapi
yang lebih penting, sebelum mati kau harus banyak berbuat baik dulu.”
“Dan memerangi orang jahat juga
bisa mengantarkan kita ke surga?”
“Entah. Sepertinya begitu.”
Tanah di atas mereka bergetar.
Ada kendaraan berat melintas. Tank! Kata orang. Seserpihan debu berjatuhan dari
langit-langit tempat aman ini. Orang-orang mendecit ketakutan. Malek menyusup
keluar. Dilihatnya tank-tank besar itu menggilas jalanan kota. Moncong
meriamnya menembakkan misil. Ledakan menggoncangkan seluruh kota. Sebuah gedung
ditumbangkannya.
Gedung itu tempat persembunyian
golongan sebelah.
Desas-desus terdengar. “Mereka
membela kita. Mereka menumpas orang-orang golongan sebelah.”
“Jangan terlalu yakin. Mereka
pasti punya kepentingan.”
“Aku dengar mereka menawarkan
senjata untuk golongan kita.”
“Pasti mereka ada maunya. Pasti
itu.”
Perdebatan itu membuat Malek
pusing. Kedatangan tentara berseragam loreng hijau itu malah menambah kisruh,
pendapat Malek. Mereka tidak menghentikan perang saudara yang telah berlangsung
puluhan tahun lamanya. Mereka justru memperkeruh keadaan. Mereka datang, perang
tetap berlanjut. Ledakan terdengar di mana-mana. Bom-bom dijatuhkan.
“Kita harus pergi dari sini.”
Kata Sahasrara pada Malek. “Sudah tidak aman.”
Malam hari mereka menyelinap
keluar. Ada pula yang ikut menyelinap keluar mencari tempat berlindung lain.
Tempat ini sudah tak aman lagi, karena jarak bom-bom jatuh itu terlalu dekat.
Malam larut membara. Langit
kejinggaan akibat ledakan bom. Sebuah jamur asap dan api yang melukis langit
tadi siang, yang Malek saksikan. Jilatan apinya masih melahap sisa-sisa
reruntuhan.
Susah payah Sahasrara dan Malek
berlari di gang-gang kota. Khawatir ada pasukan dari golongan sebelah yang
mencari gara-gara.
“Mau ke mana kita?” tanya
Malek.
“Sejauh-jauhnya dari tempat
ini.”
Sahasrara akhirnya bergabung
dengan para pengungsi kota lain. Mereka mencari perlindungan di negeri
seberang.
“Perang ini tak akan pernah
berakhir.” Kata Malek. Saat rombongan pencari suaka itu berhenti di tengah
jalan.
“Kenapa kau berpikir begitu?”
“Karena sudah pasti begitu.
Perang tak bisa dihentikan dengan perang.”
“Lalu dengan apa?”
“Ya gencatan senjata. Tapi itu
harapan kosong. Mana ada yang mau gencatan senjata. Setiap golongan mengaku
paling benar.”
“Gila ya dunia ini?”
“Kuharap ada satu keajaiban
yang bisa menghentikan semua ini.”
“Kuharap begitu, Malek. Yah,
setidaknya kita masih punya harapan. Walau sangat tipis kemungkinannya.”
Sahasrara dan Malek menahan
lapar sekuat tenaga. Mereka mendapatkan makanan kaleng yang harus mereka
hemat-hemat sepanjang perjalanan.
“Akan ada bantuan. Tenang.
Tenang.” Seorang pria berseru di antara kerumunan orang yang meminati
kardus-kardus makanan kaleng.
Ketika menyantap makanan
kaleng, Malek mendengarkan dua orang berbincang. “Sebetulnya apa sih masalah
golongan kita dengan golongan sebelah?”
“Perbedaan pandangan saja.
Entah mengapa bisa berujung begini. Padahal yang memulai hanya segelintir
orang. Banyak yang ikut terseret. Padahal kita sudah hampir mendekati situasi
kondusif. Tapi lalu ada yang menyulut lagi. Meledaklah seperti ini. Jamur jamur
api di angkasa.”
“Apakah kaupikir ini adalah
perbuatan intelijen?”
“Maksudmu?”
“Maksudku jelas. Ada pihak yang
sengaja memancing kerusuhan ini. Ia menyulut sumbu yang tepat.”
“Oh, bisa jadi. Aku tahu,
orang-orang kita sebetulnya menghendaki damai. Kupikir juga begitu. Pasti ada
pihak lain yang punya agenda tersembunyi. Bisa kau menebak?”
“Tanah dan minyak negeri kita!”
“Wah, itu masuk akal.
Benar-benar kurang ajar ya.”
“Tapi percuma kita ikut
melawan. Ujung-ujungnya mati juga.”
Seperti kakakku.
Kata Malek dalam hati.
Tangannya terkepal meremas
dendam. Mendengus ia menahan sakit. Kilasan ingatan yang membekas, ketika
kakaknya tertembak, menembus dari dada ke punggung. Darah menciprat. Kakaknya
limbung, matanya menangkap mata Malek.
Arggh. Malek menengadah ke
langit.
Seekor gagak hitam melayang
tinggi di atas kepalanya. Andai Malek bisa terbang seperti gagak itu. Ia akan
pergi dari negeri suram ini.
“Kau melihat gagak itu?”
tiba-tiba Sahasrara muncul. “Gagak itu mengikuti kita sedari kemarin.”
“Ohya?”
“Iya. Aku selalu melihatnya.
Ketika kita berhenti ia pun ikut berhenti, terbang memutar-mutar di atas kepala
kita.”
Malek melambaikan tangan pada
gagak hitam itu.
“Percayakah kau jika kita
diikuti gagak hitam, maka sebentar lagi kita akan mati?”
“Malek! Hush! Jangan berkata
seperti itu. Tak mungkinlah itu benar.”
“Yang pernah kubaca berkata
demikian, barangkali itu benar. Aku atau kau akan mati. Atau di antara
rombongan ini.”
“Malek, hentikan. Jangan bicara
ngawur.”
“Yah, pada akhirnya nanti kita
juga bakal mati. Itu pasti.”
“Kau suram sekali, Malek.”
Sahasrara pergi.
Menjelang malam, pria pemimpin
rombongan itu membagikan kantung tidur. Mereka tidur di gedung tua tak
terpakai. Malek tak bisa tidur. Ia memikirkan si gagak hitam.
Akankah aku mati dalam waktu dekat ini? Tanyanya.
Tentu saja tidak.
Lho.. siapa itu yang menyahut?
Malek mencari-cari sumber suara. Itu bukan suara yang diucapkan seperti biasa.
Suara itu masuk ke dalam pikirannya. Menjawab pertanyaannya barusan.
Malek keluar dari kantung
tidurnya. Mengendap-endap keluar dari gedung tua.
Cacaw!
Malek tersentak mundur. Seekor
gagak hitam tengah mematuk-matuk sisa makanan kaleng di tong sampah.
“Kau gagak yang tadi siang.”
Malek menunjuk.
Gagak itu menggerakkan
kepalanya, matanya menyorot pada Malek. Seperti tertarik.
Yang membuat Malek terkejut
lagi adalah burung gagak itu mengepakkan sayap, melompat ke udara, rendah, lalu
berubah menjadi sesosok manusia berjubah hitam. Wajahnya seputih tengkorak.
Barisan giginya terpampang mengerikan. “Ya.”
Malek terbeliak. “Siapa kau?”
“Aku adalah rupa kematian.”
Jawabnya. Suaranya dingin menusuk, perlahan-lahan lirih.
“Ah. Kematian?”
“Ya. Aku adalah kematian, mengikuti
ke mana pun kau pergi. Karena kau dan aku adalah saling melengkapi.”
“Apa maksudnya?”
“Maksudnya adalah. Di mana pun
kau berada, akan ada kematian. Lihat besok pagi dan ada salah satu dari
rombonganmu yang mati.”
“Tunggu!”
Sosok itu telah berubah menjadi
gagak hitam dan terbang pergi.
Pagi-pagi buta seseorang
berteriak kencang. Membangunkan yang lain.
“Ada apa?”
“Pak ketua meninggal!” jerit si
wanita histeris.
Malek membeliak. Gagak itu benar.
Aku adalah pelengkap kematian. Ke mana pun aku pergi, akan ada orang yang
mati. Seperti kakakku.
Malam berikutnya, Malek
menyelinap keluar tanpa pamit Sahasrara. Ia pergi memisahkan diri dari
rombongan. Sebaiknya aku sendiri saja.
Supaya tak ada yang mati karenaku.
Seorang bocah sepuluh tahun.
Berjalan sendirian di tengah malam buta. Gelenyar api membara di kejauhan,
melukai langit. Getaran-getaran akibat bom terasa di jejak kakinya.
“Benar kataku.” Tetiba si sosok
kematian muncul di samping Malek. Berjalan menemaninya.
“Kurang ajar kau! Apa yang kau
perbuat padaku?” raung Malek.
“Yang terjadi padamu, tak dapat
dihindari. Sejak lahir kau telah memiliki tanda.”
“Tanda apa!”
“Tanda kegelapan. Tanda
kematian. Di tanganmu, tergolek nasib-nasib orang.”
Malek geram. Ia menerjang si
sosok kematian. Tapi tembus bagaikan tak berwujud. Malek tersungkur di tanah.
“Tapi kau bisa memanfaatkannya.
Menggunakannya untuk tujuan yang mulia.” Kata si sosok kematian.
“Bagaimana?”
“Kau bisa menghentikan
orang-orang jahat berbuat jahat. Dengan memanfaatkan anugerahmu sejak lahir.”
“Apa anugerahku?”
“Kegelapan. Kau lahir bersama
kegelapan. Dengan kemampuanmu nantinya, kau bisa membalas kematian kakakmu.
Membalas segala apa yang mereka perbuat pada golonganmu.”
“Kakakku mati karena aku.
Seperti kau bilang, orang-orang akan terus mati jika ada aku.”
“Tidak. Lupakan perkataanku
tentang itu. kakakmu mati karena orang jahat berbuat jahat. Pak ketua mati
karenaku. Karena sudah waktunya bagiku untuk mencabut nyawanya.”
“Kurang ajar kau!” Malek
menghantamkan bogemnya tapi tak mengenai apa pun. Hanya sensasi menembus
lapisan asap hitam.
“Kau bisa menciptakan kedamaian
di dunia. Kau bisa menghentikan orang jahat. Kau akan menjadi pahlawan.”
“Dan masuk surga?”
“Kenapa tidak?”
Malek berpikir. “baiklah, aku
mau jadi pahlawan. Tunjukkan bagaimana caraku menggunakan kekuatan kegelapan
ini.”
“Tentu saja. Biar kuaktifkan
kekuatanmu.” Si sosok kematian menyentuhkan jari dinginnya di pusat kening dan
dada Malek. Hanya sepersekian detik saja. “Sudah.”
Malek memperhatikan tangannya.
Dari sela-sela jarinya menguar seperti asap padat, kehitaman yang teramat
pekat. Meliuk-liuk bergabung ke udara. “Aku bisa menghentikan penjahat dengan
ini.”
“Ya. Tentu saja. Kau akan
bertemu dengan pelengkapku yang lain. Kau ikuti dia. Niscaya kau bisa
menghentikan orang-orang jahat itu.”
“Baiklah.”
“Selamat menyelamatkan dunia,
Malek.” Sosok kematian berubah lagi menjadi gagak dan pergi membumbung ke
langit, hilang ditelan kegelapan.
Malek mempelajari kekuatan
kegelapan-nya. Sepanjang perjalanan ia menjalari diri dengan selimut kegelapan.
Hingga malam tampak begitu pekat di sekitarnya.
Siang hari Malek bersembunyi di
gedung-gedung tua. Di sana ia mempelajari lebih lanjut kekuatannya. Ia bisa
mematikan cahaya sekitar. Menyerap energi. Dan membuat orang lain tertidur. Itu
ia coba ketika menyusup ke rombongan lain.
Orang yang si gagak sebut-sebut
tak kunjung muncul. Malam-malam Malek melanjutkan perjalanan tapi tak
ditemuinya tanda-tanda ada orang yang mencarinya.
Sementara itu, gatal menjalari
tangan dan sekujur tubuh Malek. Rasanya seperti ada sesuatu bergejolak dalam diri
Malek. Sesuatu yang harus dilampiaskan. Jika tidak ia akan memampat dan
memenuhi otaknya. Bisa jadi pecah kepalanya.
Malek merentangkan tangan ke
udara. Sulur-sulur kegelapan keluar dari pori-pori tubuhnya. Meledak. Seluruhnya
menjadi gelap. Menjalar ke setiap penjuru negeri. Yang sedang bertikai tetiba
berhenti. Rombongan pencari suaka limbung jatuh tertidur.
Argghhh.... Malek tak mampu
mengatasinya.
“Nak.” Seseorang menghampiri. Entah
muncul dari mana. Tampaknya ia tak terpengaruh jalaran kegelapan dari tubuh
Malek. Wajahnya tertutupi topeng.
“Pergi dari sini!” seru Malek. “Kau
bisa tewas. Aku tak bisa mengendalikan ini.”
“Aku bisa.”
Argghhh...
Bruk. Malek tersungkur. Panah kecil
serum menancap pada lehernya.
Bangun-bangun Malek sudah
berada di dalam pesawat jet pribadi. “Di mana aku?”
“Kau akan menuju takdirmu,
Malek.”
“Takdir?”
“Ya. Kau tadi salah sasaran. Jangan
kau menyerang negeri dan golonganmu sendiri.”
“Siapa kau?”
“Aku adalah yang si Gagak
sebut. Aku yang akan menuntunmu pada takdirmu. Penuntasan misimu masuk ke
surga. Kau akan mencegah orang jahat berbuat jahat.”
“Oh, jadi kau. Baiklah, ke mana
kita menuju?”
“Ke musuh kita yang sebenarnya.
Yang menyebabkan perpecahan dalam negeri kita. Musuh yang menyerupa, menyelinap
ke dalam masyarakat kita, lalu menyulut sumbu permusuhan. Mereka harus
dihentikan. Semuanya.”
“Kau dari golonganku?”
“Betul. Aku adalah pemimpin
golongan sebelah. Jangan kaget. Aku pun tak menginginkan pertumpahan darah ini.
Aku menyadari beberapa hal janggal dalam pertikaian kita semua. Kami tak
menyadari adanya campur tangan pihak ketiga yang mempunyai agenda tersendiri. Aku
dan pemimpin golonganmu telah bersepakat. Dan kau adalah senjata kita semua
untuk menghentikan orang-orang jahat itu.”
“Ya.” Malek memukul kepalannya
pada paha. “Mereka harus diberi pelajaran.”
Malek tahu tugasnya.
“Sebarkan kegelapanmu pada
negeri di seberang lautan. Mereka semua jahat. Orang jahat harus dihentikan. Kau
mengerti?”
Malek mengangguk.
“Taruh mereka dalam kubangan
kegelapan yang tak ada ujungnya.”
“Itu rencanaku sejak mula.”
“Bagus.”
Pesawat jet mendarat. Malek
diantarkan dengan mobil ke sebuah tempat di pusat keramaian. Sebuah monumen
patung raksasa menggenggam obor.
“Kegelapan akan mudah menyebar
dari sini.” Kata pria itu.
“Aku tahu.” Jawab Malek. Ia diantarkan
menuju puncak monumen.
Dan badai kegelapan menyerbu
negeri itu. Menenggelamkan cahaya kota. Meninabobokan semua warga dalam tidur
tak berkesudahan. Bayang-bayang merajalela. Orang-orang jahat harus dihentikan.
Malek mau masuk surga.
Komentar
Posting Komentar