STORM OF HEAT
-oOo-
“Do you feel cold and lost in desperation.. you build up hope but failures
all you’ve known. Remember all the sadness and frustation.. let it go... let it
go.”
― Linkin Park, Iridescent
― Linkin Park, Iridescent
Semua warga kota mengharap dan mendambakan musim panas
yang telah berlalu puluhan tahun lalu. Hari-hari indah, nyaman, tentram,
sebelum bencana besar itu melanda. Ribuan orang mati. Tersapu badai ombak
paling dahsyat yang pernah mereka saksikan seumur hidup. Menghancurkan segala
yang dilewati. Gedung-gedung tinggi dan megah rubuh seolah bukan apa-apa.
Belum cukup derita yang dialami kota itu, banjir bah
melanda, membenamkan dataran. Menyusul segera badai kedua menyerang. Badai es.
Membekukan banjir bah setebal lima belas meter. Dan tetap seperti itu. Suhu
dingin menusuk sum-sum. Mereka-mereka yang selamat berusaha bertahan hidup,
berlindung di dalam gedung-gedung yang beruntung tidak rubuh tersapu badai
ombak. Membangun kembali sisa-sisa puing harapan.
Tentu saja, tidak sedikit pula dari yang bertahan itu
akhirnya jatuh mati.
Semua pengharapan bencana bertubi-tubi ini untuk segera
berlalu pupus perlahan. Selama bertahun-tahun lapisan es bekas banjir bah itu
tidak segera mencair. Orang-orang menggila. Mencari sumber kehangatan.
Pemerintah membentuk sebuah badan yang dinamakan BPBA (Badan Penelitian Badai
dan Anomali) guna mencari jawaban terhadap apa yang menimpa mereka. Pula
menenangkan warga kota yang semakin ricuh berebut bantuan makanan. Pemerintah
mencari akal untuk membangun peradaban di atas tanah beku ini.
Puluhan tahun berselang.
Perlahan kehidupan mulai menjadi normal. Matahari sudah
nampak meski telah kehilangan kehangatannya. Orang-orang sudah berani
beraktifitas di luar gedung. Di hamparan tanah beku. Semua kemajuan teknologi
puluhan tahun lalu terbenam olehnya. Sebagai media transportasi kini mereka
mengandalkan kereta beroda cengkeram. Pakaian berlapis-lapis mereka kenakan
guna melindungi tubuh. Sebut saja kota ini kini dengan nama Kota Es.
Dan muncullah sebuah anomali baru.
Sebut dia, seorang pemuda botak, Atarjoe. Ia baru berumur
dua puluh tahun. Ia seorang pemusik. Vokalis dari grup band yang ia namakan
Heat Wave. Sebuah grup musik yang cukup terkenal dan disambut dengan baik oleh masyarakat.
Setidaknya ini adalah sebuah hiburan yang tidak mati termakan bencana. Bahwa
mereka masih mengenal dan menikmati musik pemicu harapan dan mimpi. Atarjoe dan
kawan-kawan telah naik panggung di gedung-gedung tempat tinggal ternama.
Sesekali mereka mengadakan pagelaran musik di luar. Dikepung udara dingin dan
angin yang bagai silet.
Ketika bermain di luar sana, Heat Wave membawakan
musik-musik cadas. Dengan filosofi yang dibawa oleh Atarjoe. “Mungkin musik
cadasku akan mengikis lapisan es tebal yang kita injak ini dan tanah yang kita
rindukan akan muncul!”
Sorak sorai menyambutnya.
Musik seperti itu membuat orang berlonjak-lonjak,
mengangguk-anggukkan kepala, irama menghentakkan jantung, memompa adrenalin,
dan hangat mengaliri tubuh. Kekhawatirannya hanya keringat yang mengalir akan
segera membeku. Tapi itu tidak menjadi masalah. Mereka akan semakin gila-gilaan
melonjak, menari, melompat di udara.
Seringkali yang terjadi. Konser mereka diberhentikan
secara paksa oleh BPBA. Dengan alasan, “yang kalian lakukan ini berbahaya.
Pemerintah belum secara resmi mengumumkan aman atau tidak beraktifitas di luar
seperti ini. Penduduk Kota Es sangat sedikit nak, jangan kau membuat resiko
mereka mati di luar.” Orang-orang BPBA itu mengenakan pakaian yang mirip dengan
astronot. Kepala mereka dilindungi bola kaca.
Seperti biasa, Atarjoe cuma mengangguk-angguk saja,
sepenuhnya tidak menggubris. Konser kemudian dilanjut di atas gedung. Supaya
tetap merasakan udara dingin Kota Es. Penggemar Heat Wave semakin banyak. “Kita
tak boleh takluk oleh alam, kawan kawan! Yang kita lakukan ini adalah wujud
adaptasi kita oleh cuaca anomali ini. Kita makhluk tercipta istimewa, memiliki
kemampuan otak yang lebih dari makhluk lain. Kita bisa! Kita bisa beradaptasi!”
seru Atarjoe di seling lagu-lagu cadasnya.
“Yeah!”
“Kutunjukkan pada kalian bahwasanya adaptasi terhadap
cuaca ini bukanlah mustahil!”
Betotan bass berdentum melantunkan irama misterius yang
mengiringi persembahan.
Atarjoe secara mengejutkan melepas satu per satu jaket
tebalnya. Semua penonton berdecak kagum. Dan akhirnya tinggallah Atarjoe yang
bertelanjang dada, mengangkat tangan ke langit, memamerkan wajah penuh syukur
dan penghambaan terhadap sang penguasa jagad raya. Tubuhnya seolah memancarkan
kehangatan. “Lihat! Aku tidak apa-apa.” Atarjoe berlarian ke sekeliling panggung.
Mengitari rekan-rekan bandnya. Meminjam sebentar gitar listrik dan memainkan
gocekan cadas. Lalu ia melompat ke kerumunan penonton. Stage diving.
“Ya tuhan. Betul, dia hangat.”
“Tidak dingin sama sekali.”
“Atarjoe, kau istimewa.”
“Kau hebat!”
Tubuh Atarjoe mengapung di lautan tangan menggapai
penonton. Dikembalikan lagi ke panggung.
“Cobalah! Jika kita yakin mampu mengatasi cuaca dingin
ektrem ini, kita pasti bisa.”
Salah satu penonton mengacungkan tangan. “Akan kucoba!”
ialah seorang pria berjenggot tebal, pertama melepaskan tudung kepala, lalu
tiga jaket tebalnya. “Yeah!”
Ia mengepalkan tangan ke atas, berseru semangat. Tapi tak
lama kemudian ia berubah kaku. Menggigil luar biasa. Orang-orang dengan sigap
menutupi tubuh pria itu dengan jaket tebalnya, mengerumuninya secara dekat guna
menghilangkan rasa dingin menusuk. Pria itu pingsan, tubuhnya kaku beku.
“Oh.” Atarjoe melihat orang itu dengan perasaan tidak
percaya dan kecewa.
Dari udara sinar lampur helikopter menyoroti Atarjoe.
Suara berdengung dari megaphone. “Atarjoe. Kau dengan ini ditangkap dengan
tuduhan menghasut orang untuk bunuh diri.”
“Apa?” Atarjoe tidak terima.
Sekumpulan orang turun dari tangga tali helikopter.
Bersenjatakan lengkap. “Penonton semua, kembalilah, lindungi diri kalian di
dalam gedung.” Umum mereka. “Kalian semua ditangkap.” Kepada grup Heat Wave.
“Apa-apaan ini!” Atarjoe memberontak.
Awalnya penonton tidak mau menyingkir. Seorang agen BPBA
menembakkan peluru ke udara. Membuat semua serentak berlarian. Agen yang lain
memborgol tiga personil Heat Wave. Atarjoe yang masih bertelanjang dada
bertingkah, “Hei, jangan kau berani menangkap temanku!” Atarjoe membebaskan
diri dari cengkeraman seorang agen. Ia berlari, ikut menerobos keramaian. Tapi
ia tertembak pistol listrik. Atarjoe yang belum jauh berlari terjerembab dan
bergetar seluruh badannya.
Nguing Nguing Nguing Nguing. Baling-baling helikopter
berputar.
Hening.
Atarjoe pingsan.
Gelap.
Atarjoe membuka mata.
Ia mendapati dirinya sendirian di ruangan yang remang dan
sempit. Cermin besar di hadapannya. Satu lampu menggantung dengan sinar yang
mati hidup. Atarjoe sedang terduduk dengan tangan terborgol yang dikaitkan di
sebatang besi di meja. “Apa-apaan ini, kenapa aku ditangkap begini.” Atarjoe
mengeluh. Nyutt nyutt... kepala belakangnya berdenyut nyeri.
“Hei! Lepaskan aku! Ngapain aku ada di sini!” Atarjoe
berteriak. Menggedor-gedor meja besi. Ia lihat di cermin pakaiannya sudah
berganti dengan coverall berwarna
oranye.
“Hei! Aku tahu kalian ada di balik cermin itu! sini temui
aku, siapa pun dari kalian!”
Lama tak ada respon.
Atarjoe mengepalkan tangan. Geram. “Oke, jika kalian
maunya begini.” Aura hangat mulai menguar dari tangan Atarjoe. Melelehkan
perlahan borgol di tangannya. Panasnya semakin meningkat. Logam borgol itu meleleh
dan menetes-netes ke lantai. Tangan Atarjoe pun terbebas. “Mungkin kalian mau
aku meleburkan tempat ini?” ancamnya. Atarjoe mendekati cermin. Memelototkan
mata ke pantulan wajahnya sendiri.
Tangannya bergerak menyentuh cermin. Belum sampai jarinya
menempel di cermin, cklek, pintu membuka dan sebuah panah bius menancap di
leher Atarjoe. Ia terkulai lemas seketika. Dua orang agen BPBA mendudukkannya
lagi. Seorang yang membawa papan jalan berisi dokumen duduk di hadapannya.
“Atarjoe. Jangan ceroboh nak.” Kata orang itu.
Atarjoe terasa mengantuk. “Siapa kau?”
“Aku agen BPBA. Namaku Agen Jagarhit. Aku telah
mengawasimu sejak lama, Atarjoe.”
Atarjoe mendengus. Tertawa singkat. “Memata-mataiku
maksudnya?”
“Jika kau sebut demikian, ya.”
“Untuk apa aku ditangkap?”
“Masa kau tidak sadar? Kau membahayakan nyawa orang
banyak. Kau berpikir orang-orang sama sepertimu. Kau salah Atarjoe.”
“Aku memberi mereka harapan.”
“Harapan yang hanya kau sendiri yang punya, nak.”
“Ngapain kau panggil-panggil aku nak. Memangnya aku anakmu?”
Jagarhit yang memiliki kumis tebal menghirup napas
dalam-dalam tanda menunda kesal. “Bukan. Aku bukan siapa-siapamu.”
“Ya sudah, jangan panggil-panggil nak.”
“Atarjoe, apa kau tidak sadar perbuatanmu? Dan apa yang
kau miliki?”
“Memangnya apa?”
“Kau adalah sebuah anomali. Kau adalah dua hal. Entah itu
kutukan atau anugerah. Mungkin kau adalah jawaban atas anomali yang melanda
kota ini.”
Atarjoe menanggapinya dengan tertawa.
“Jangan kau anggap ini perkara lelucon, Atarjoe. Lihat
ini.” Jagarhit menyodorkan dokumen ke hadapan Atarjoe. Ia buka sebuah foto
laporan.
“Lho, ini kan penonton yang melepas jaketnya untuk
mengikutiku.”
“Ya. Dan kini dia terserang penyakit dingin akut. Usianya
tinggal menunggu hitungan jam. Karena telah berlama-lama di udara lepas yang
dingin itu. Kau seharusnya mendengarkan kami. Kau tahu pemerintah sedang
mencari cara mencairkan lapisan es beku untuk mengembalikan kehidupan yang
dahulu. Kau mengacaukannya Atarjoe.”
Atarjoe melihat foto itu dengan perasaan tidak percaya.
“Ya tuhan. Apa yang kulakukan.”
“Atarjoe. Kau memiliki kelainan genetika. Kau sebuah
anomali yang perlu pemerintah teliti.”
“Maksudmu aku ini mau dijadikan kelinci percobaan,
begitu?”
“Tidak. Tidak begitu. Kami hanya perlu mengawasimu,
memahamimu. Ingatkah kau peristiwa-peristiwa ganjil sewaktu kau masih kecil? Di
manakah dan masih kenalkah kau dengan orangtuamu?”
Atarjoe terdiam. Ia menggelengkan kepala sekaligus
mengangguk sedikit.
“Kita dalam masa sulit selama puluhan tahun. Tapi kita
tidak menyerah, kita terus berusaha mengatasi anomali cuaca ini. Di lain tempat
pun mengalami hal yang serupa dengan Kota Es ini. Mungkin orang-orang sepertimu
juga bermunculan di sana.”
“Apa peristiwa di masa kecilku? Aneh, aku tidak ingat
sama sekali.”
“Itu karena kami menghapusnya dari memorimu.”
Atarjoe tidak terima. “Beraninya kau!”
“Demi keselamatan dirimu sendiri dan orang-orang di
sekitarmu. Orangtuamu yang menyerahkan kau pada kami.”
“Tidak.”
“Betul. Itulah kenyataannya.”
“Kenapa kau menghapus memori itu?”
“Karena jika kau tetap menyimpannya, kau akan kehilangan
kendali. Kau seperti bom waktu, Atarjoe.”
“Tidak.”
Jagarhit mengeluarkan sebuah layar kecil dari kantongnya.
Memutar video rekaman. “Ini kau.”
Atarjoe melihat. Seorang bayi berumur sepuluh bulan
sedang bermain dengan mainannya. Ia sedang belajar berjalan. Namun terjatuh. Ia
menangis. Orangtuanya tidak segera datang menenangkannya. Tangisannya
menjadi-jadi. Tangannya berubah merah. Memancarkan panas. Mainan, tempat tidur,
karpet dan dinding terbakar seketika. Alarm kebakaran berbunyi dan menyemburkan
air otomatis. Tapi malah jadi uap.
Video kedua. Atarjoe kecil ketika usia tujuh tahun. Hari
pertama masuk sekolah. Ia mengenakan sarung tangan tebal. Siang hari seorang
anak lain menjahilinya. Atarjoe mengamuk. Memukul anak itu. Anak itu membalas.
Keduanya tidak mau kalah. Sampai anak itu memukul mengenai bibir Atarjoe sampai
berdarah. Atarjoe mengambuk dan melepaskan sarung tangannya. Anak itu meleleh
seketika.
Video ketiga. Atarjoe sudah menginjak remaja. Kira-kira
lima belas tahun. Di dalam gedung. Jasad laki-laki tua terbujur damai di dalam
peti. Itu ayahnya. Atarjoe menahan airmata tidak jatuh dari matanya. Tangannya
mengepal kuat-kuat, mengenakan sarung tangan tebal.
“Ayahmu menderita kanker kulit.”
“Biar kutebak. Karena anomaliku?”
Jagarhit mengangguk.
Atarjoe menyaksikan kelanjutan videonya. Si ibu berdiri
agak jauh dari Atarjoe. Menangis tersedu-sedu. Ketika Atarjoe hendak menyentuh
jasad ayahnya, si ibu melarang, menghardiknya, menyalahkannya, mengusirnya.
Atarjoe tidak terima. Ia mengamuk. Ia lepas sarung tangannya. Seluruh ruangan
dalam gedung itu terbakar. Atarjoe membunuh ibunya.
“Oh tidak.” Atarjoe membanting layar itu. “Ini bukan
aku.”
“Sayang sekali. Itu kau Atarjoe. Setiap kali kejadian
seperti itu, orangtuamu menyerahkan kau pada kami untuk diberi suntikan
penenang dan penekan anomalimu, serta bimbingan psikiater untuk menolongmu.
Pada video terakhir itu kau sangat lepas kendali. Badai panas yang keluar dari
tubuhmu melenyapkan seluruh gedung. Lalu kami kehilangan jejakmu. Kami
mencarimu, dan pada saat kami menemukanmu, kau sudah berulah lagi, kau
melelehkan lapisan es di suatu tempat, membuatnya jadi genangan air kolam. Kami
menangkapmu dan menghapus ingatanmu saat itu juga. Kami pantau kau tanpa lepas.”
“Aku kini sudah menguasainya.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja. Aku bisa mengatur skala panasnya dengan
lebih mudah.”
“Itu apabila kondisi batinmu sedang bagus. Bila tidak,
kejadian-kejadian di video itu akan terulang kembali. Banyak orang
bertanya-tanya tentangmu. Kami meredamnya. Orang-orang belum siap menerimamu,
Atarjoe.”
“Seperti yang kau bilang, mungkin aku adalah jawaban atas
anomali cuaca di kota ini. Aku bisa mencairkan es!”
“Mari jangan gegabah dulu, Atarjoe. Kita sama-sama tidak
tahu apa yang bakal terjadi jika kau lakukan itu.”
“Maksudmu?”
“Volume air laut yang membeku menjadi lapisan es setebal
lima belas meter itu, yang melingkupi wilayah besar kota kita, apabila mencair
akan menjadi berbahaya bagi wilayah lain.”
“Ya daripada tidak melakukan apa-apa! Akulah jawaban atas
bencana ini. Percayalah!”
“Jangan gegabah Atarjoe. Pemerintah harus berhati-hati
menangani orang sepertimu.”
“Orang sepertiku? Jadi ada yang lain sepertiku di sini?”
“Tidak. Aku tidak bilang begitu.”
“Hanya ada satu cara untuk membuktikan ini.”
“Jangan Atarjoe!”
Blarrr!!!!
Ledakan hawa panas melumat ruangan itu. Segalanya melumer
di setiap langkah Atarjoe. Ia menuju atap gedung BPBA. Senjata para agen
melumer sebelum bisa melontarkan peluru bius. Gelombang panas menguar dari
tubuh Atarjoe. Membakar baju oranyenya. Lapisan es mencair dan menguap di
setiap langkahnya menjejak atap gedung. Ia berdiri di tepian. Mengangkat tangan
ke langit.
“Kota Es! Akulah penyelamatmu! Aku lah anugerah dari Sang
Penguasa Jagad Raya. Jawaban atas bencana yang menimpa kota kita selama puluhan
tahun ini. Biarkan aku membuktikan pada kalian!”
Ada helikopter berkamera yang merekam aksi Atarjoe. Agen BPBA
yang ikut di helikopter itu menembakkan peluru bius, namun di jarak lima meter
mendekati Atarjoe, peluru itu terlumatkan.
“Aku bisa mengembalikan kota kalian seperti sedia kala.
Bersiaplah! Masuklah ke dalam gedung. Berpegangan pada sesuatu kuat-kuat.”
Atarjoe membara. Ia meloncat dari tepi atap gedung.
Atarjoe meluncur bagai komet membara. Gelombang panas
yang melingkupinya berdentam-dentam menghancurkan kaca-kaca gedung. Helikopter tidak
mampu merekam lebih dekat lagi karena mesinnya mulai bermasalah ketika ia
bergerak turun. “Pergi sejauh mungkin!” teriak si agen BPBA.
Pilot helikopter menuruti. Ia terbang menjauh.
Tapi terlambat. Atarjoe yang membara dahsyat telah
menghantam ke lapisan es beku. Badannya tenggelam di es yang mencair seketika
lima meter sebelum Atarjoe mencapainya.
Orang-orang menyaksikan dari kaca gedung. Atarjoe bagai
bola merah yang tenggelam ke dalam air. Suhu dingin yang menusuk dan melingkupi
seluruh kota mendadak menghangat. Tapi menjadi terlalu panas.
Blarr!!
Gelombang panas Atarjoe sudah terlalu dahsyat. Ia kehilangan
kendali. Radius lima puluh meter dari tempat tubuh membaranya berada, air
menguap. Gelombang panas mendorong sisa genangan air bah itu. Atarjoe berubah
menjadi bom atom. Badai panas melumat keseluruhan Kota Es.
Komentar
Posting Komentar