PENYINTAS JALANAN
-oOo-
Inilah mereka para penyintas jalanan. Hadir di setiap
pertigaan, perempatan, dan putar balik. Keberadaan mereka sering membantu,
dimaki, dimurkai, tak menutup kemungkinan pula kriminalis. Merekalah orang-orang
yang tersingkir, terbuang dari tatanan ‘layak’ sebagian besar anggapan orang. Bukan
berarti mereka tak mampu, hanya tak memperoleh kesempatan saja. Kurang kerja
keras? Mungkin. Hanya saja seberapa keras pun mereka berusaha tetap
tersingkirkan.
Mereka lahir di kubangan tak keberuntungan. Suatu kondisi
yang mau bagaimanapun mereka tetap tak beruntung. Serba berketerbatasan, fisik,
akal. Pada awal kemunculan mereka adalah orang-orang berusia setengah baya yang
terpaksa menyambung hidup hari demi hari. Daripada meminta-minta mereka ingin
berjasa. Walau jasa mereka kadang kurang dihargai bahkan dicemooh.
Lambat laun seiring berkembangnya jaman dan semakin
ketatnya persaingan hidup, mereka-mereka yang sudah tua seolah-olah mewariskan
tugas mereka ke kaum yang lebih muda. Kepada mereka yang lebih segar raganya. Estafet
itu terjadi ketika yang tua sudah meninggal, berhenti, atau terpaksa terganti. Seleksi
jalanan, yang tampak lebih mengancam dialah yang menang.
Keberadaan mereka adalah gambaran klise dari fungsi
Polantas “di manakah Polantas ketika kita membutuhkannya?” mengurai
kesemrawutan jalan demi sekeping koin.
Akhir-akhir ini profesi ‘penyintas jalanan’ ini semakin
beragam, dari yang hanya mengatur lalu lintas di perempatan, menolong mereka
yang hendak menyeberang, membantu mereka yang hendak melanggar aturan (istilah
populernya adalah Polisi Cepek), tukang parkir, joki 3in1 sampai pengamen
angklung (yang ini sangat menghibur-nanti akan saya tulis).
Meski kehadiran mereka adalah jawaban dari ketiadaan
petugas dan para pengguna jalan yang saling serobot, tidak jarang keberadaan
mereka justru mengganggu ketertiban, menambah hawa panas amarah di jalanan dari
para pengemudi yang tak mau mengalah. Apabila sudah seperti itu, para ‘penyintas
jalanan’ ini kadang malah ngamuk jika tidak diberi imbalan.
Juga, usia pelaku profesi ini semakin bervariasi. Kaum-kaum
muda yang seharusnya masih menikmati bangku sekolah pun ikut andil di jalanan. Merekalah
anak-anak yang tersingkir dalam arena pertandingan prestasi, yang tak begitu
cemerlang, yang sering dianggap oleh orang sebagai ‘anak bandel’
Bagi mereka yang tua mungkin masih bisa dibenarkan,
mereka melakukan semua itu demi perut. Para remaja ini apa motivasinya? Yah mungkin
demi rokok dan uang pulsa. Sulit bagi kita untuk membenarkan yang remaja ini
lakukan karena masa depan masih terbentang di depan. Kenapa memilih jalan ini? Belum
tentu mereka malas atau tak ingin yang lebih baik dari ini. Karena dengan cara
ini setidaknya uang bisa didapat dengan mudah. Dalam sehari cukuplah untuk beli
bensin buat ngedrag dan menraktir
cabe-cabean kala malam tiba.

Menariknya, jika dipandang dari segi pergaulan. Anak-anak
kecil ini seperti terinspirasi, terobsesi oleh kakak-kakaknya. Upaya mereka
seolah wujud dari ujian penerimaan masuk ke lingkup pergaulan yang lebih
dewasa. Supaya mereka diterima itulah yang harus mereka lakukan. Mereka ingin
melompati usia.
Ditelisik dari ‘kepantasan’ agaknya apa yang mereka
kerjakan ini salah kaprah. Anak-anak usia sekolah itu mengapa sampai bolos? Perlu
adanya turun tangan dari para pihak yang berwenang dalam hal ini. Baik itu
orangtua, guru, dan masyarakat. Anak-anak muda adalah generasi penerus bangsa
yang memerlukan pendidikan.
Kembali lagi ke diri masing-masing, kesadaran itu
perlu apalagi di jalanan yang kian macet karena berjibunnya jumlah kendaraan
yang melintas. Ketika para pengguna jalan sadar akan etika berkendara di jalan,
saat itulah mungkin mereka (polisi cepek) akan kehilangan pekerjaan dan
terpaksa mencari alternatif lain. Untungnya hal itu tidak akan terjadi dalam
waktu dekat. Namanya juga manusia.
Komentar
Posting Komentar